Kenisbian Risiko

- Editor

Rabu, 5 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kawah Sileri di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, tibatiba erupsi pada Minggu (2/6). Fenomena ini lumrah mengingat kawah gunung api ini tergolong aktif. Masalahnya, saat erupsi terdapat 18 pengunjung di radius 15 meter dari kawah dan karena erupsi itu 11 orang di antaranya terluka.

Sekalipun tak menimbulkan korban jiwa, peristiwa ini memberi pelajaran penting perihal diskursus penanggulangan bencana di Indonesia, terutama di kawasan gunung api aktif yang ramai wisatawan. Apalagi, fenomena ini ibarat puncak gunung es dan berpotensi menimbulkan korban lebih besar.

“Jika saja lumpur yang terlontar dalam erupsi dari Kawah Sileri kemarin suhunya tinggi, tentu ceritanya berbeda. Masih untung suhunya hanya berkisar 50 derajat celsius,” kata Hendra Gunawan, Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jauh hari, PVMBG telah merekomendasikan kepada pengelola wisata dan pemerintah daerah agar membatasi pengunjung minimal hingga radius 100 meter dari kawah Sileri. Rekomendasi ini dibuat menyusul beberapa kali letusan sebelumnya, tetapi ternyata tak direspons serius, baik oleh pengelola wisata maupun pengunjung (Kompas, 4 Juli 2017).

Fenomena ini sebenarnya telah berulang terjadi. Penelitian Agustan bersama Devi Kausar, dan Estu Kriwati (2016) menyimpulkan, peringatan PVMBG cenderung diabaikan pengelola wisata gunung api. Pengelola wisata tentu berkepentingan dengan pemasukan dari wisatawan. Namun, benarkah masyarakat Indonesia cenderung abai dengan risiko bencana?

Mengacu pada konsep rumusan Brian Ward (1999), risiko bencana merupakan hasil dari bahaya (hazard) dikalikan kerentanan (vulnerability) dan dibagi kapasitas (capacity). Dengan rumusan ini, upaya pengurangan risiko bencana bisa dilakukan dengan meminimalkan bahaya.

Tak semua bahaya bisa direduksi kekuatannya. Karena itu, peluang terbaik untuk mengurangi risiko adalah mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas. Misalnya, untuk mengurangi risiko tsunami dengan memindahkan permukiman dari kawasan pesisir. Untuk menghadapi gempa dengan menguatkan konstruksi bangunan.

Dalam praktiknya, upaya mengurangi kerentanan dan peningkatan kapasitas tidaklah gampang karena hal ini sangat dipengaruhi oleh persepsi terhadap risiko. Sebagai konstruksi sosial, persepsi risiko bersifat relatif dan sangat dipengaruhi pengalaman dan sejarah individu maupun komunitas.

Bagi sebagian orang, mudik bersepeda motor hingga ratusan kilometer sambil memboncengkan anak-istri dianggap lebih kecil risikonya daripada hukuman sosial jika tidak pulang kampung. Menguatkan struktur bangunan agar tahan gempa bagi sebagian orang bukanlah prioritas dibandingkan dengan kebutuhan menghias rumah dengan keramik ataupun pilar-pilar. Boleh jadi, bagi sebagian orang, risiko berswafoto di dekat kawah aktif dianggap sepadan dengan pujian yang akan diperoleh di media sosial.

Persepsi terhadap risiko sangat menentukan respons seseorang dalam menyikapi ancaman bahaya. Bahkan, bagi Greg Bankof (2010), tak ada yang namanya bencana alam karena dominannya dimensi sosial di dalamnya. Gunung yang meletus hebat, tetapi tak menimbulkan korban atau kerugian ekonomi, tak akan disebut bencana.

Jadi, gempa dengan kekuatan sama, tsunami dengan ketinggian serupa, ataupun letusan gunung api dengan skala sama bisa berdampak berbeda di komunitas yang berbeda. Misalnya, gempa berkekuatan M 7,8 di Kota Amberley, Selandia Baru, 13 November 2016, hanya menimbulkan dua korban jiwa, sedangkan gempa M 6,5 di Pidie Jaya, Aceh, 6 Desember 2016, menimbulkan 104 korban jiwa. Padahal, dua gempa ini sama-sama terjadi di kawasan padat permukiman dengan kedalaman sumber relatif sama.

Kekuatan konstruksi bangunan menjadi faktor pembeda sedikit atau banyaknya korban. Selandia Baru telah menerapkan standar bangunan tahan gempa dengan ketat, sebaliknya di Indonesia, bangunan tahan gempa belum jadi prioritas.

Contoh lainnya adalah perbedaan jumlah korban yang signifikan saat gempa dan tsunami melanda Aceh, 2004, dibandingkan dengan tsunami Sendai, Jepang, 2011. Korban meninggal atau hilang di Aceh mencapai 200.000 jiwa atau 10 kali lipat dibandingkan di Jepang sekalipun skala gempa ataupun tsunaminya hampir sama. Sebelum 2004 itu, masyarakat Aceh dan sebagian besar penduduk Indonesia tidak tahu tentang tsunami. Maka, ketika laut surut setelah gempa waktu itu, banyak orang justru ke pantai.

Namun, berbeda dengan masyarakat Barat dan Jepang yang cenderung menjauhkan kawasan permukiman dari zona bahaya, di Indonesia tidak demikian. Pantai-pantai di Aceh, Pangandaran, Banyuwangi, hingga Flores, yang pernah hancur dilanda tsunami, kembali dipadati penduduk.–AHMAD ARIF
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Kenisbian Risiko”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB