Sisca berniat mencari artikel tentang film yang baru saja ia tonton melalui telepon seluler pintar. Namun, belum sempat ia mengetik satu huruf pun pada mesin pencari Google, sudah muncul semacam ”umpan” atau ”feed” tentang berbagai hal pada laman tersebut. Di bagian paling atas muncul sebuah berita tentang pemain tenis Roger Federer. Sebuah kalimat semacam catatan muncul di bawah alinea pertama: ”you’ve shown interest in Roger Federer”.
”Kok, Google tahu banget, ya, kesukaanku,” gumam Sisca, karyawan swasta yang berkantor di Jakarta Pusat. Ia penggemar berat Federer dan sebelumnya sering mencari artikel tentang petenis idolanya itu.
Tidak hanya di Google, rekomendasi berdasarkan interest atau minat ini muncul di berbagai tempat di gawai kita. Bisa berupa berita, iklan produk, artikel, tiket, atau apa pun yang dekat atau pernah bersentuhan dengan kita. Satu klik saja pada tawaran umpan itu, akan segera mengonfirmasi minat itu. Lalu di kemudian hari, umpan-umpan serupa akan terus berseliweran di depan mata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Contoh lain adalah jalur yang disediakan aplikasi Waze untuk mencari jalan alternatif atau ”jalan tikus” guna menyiasati kemacetan. Atau streaming musik dan film lewat Spotify, Netflix, dan Iflix, yang begitu kita buka akan memberikan rekomendasi sesuai dengan minat kita.
Begitulah, semua itu terwujud di antaranya berkat teknologi big data. Sumber informasinya bisa bermacam-macam, seperti transaksi bisnis, media sosial, dan segala gawai yang terhubung dengan internet. Aliran data ini terkumpul dengan begitu cepat seiring dengan aktivitas sumber informasi tadi yang memberikan variasi data yang sangat beragam, mulai dari dokumen, foto, video, suara, surat elektronik, hingga transaksi keuangan.
Kebiasaan kita dalam menggunakan gawai, seperti akses mesin pencari, apa yang dicari, situs yang dikunjungi, dan artikel yang dibaca, menjadi rekaman pola perilaku yang menjadi sumber big data. Namun, data ini tidak berarti jika tidak diolah. Pengolahannya bergantung pada tujuan atau hasil yang hendak dicapai. Ketersediaan data yang sangat banyak ini membantu dalam pengambilan sebuah keputusan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Aplikasi dalam jaringan tentang kondisi lalu lintas menjadi kebutuhan utama warga urban di Jakarta yang macet, seperti terlihat pada Jumat (12/5).
”Manfaat big data tanpa disadari sudah kita nikmati dalam kehidupan keseharian. Tinggal bagaimana kita membawanya ke pekerjaan atau bisnis,” kata Regi Wahyu, Chief Executive Officer (CEO) Dattabot, perusahaan di bidang analisis data.
Pemanfaatan big data di Tanah Air yang menonjol sejauh ini tampak pada bidang perdagangan elektronik (e-commerce). Padahal, big data amat bisa dioptimalkan untuk memecahkan masalah di berbagai bidang lain, seperti pertanian, pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan. Dengan dukungan data, pengambilan keputusan bisa lebih akurat dan berdasar, bukan sekadar kira-kira atau mengandalkan perasaan.
Seperti yang dilakukan Databott di bidang pertanian. Timnya menggali informasi dari petani di Indramayu, Lampung, hingga Merauke tentang cara meningkatkan produksi pertanian. ”Jawabannya, 10 persen pengetahuan dari penyuluh, 90 persen doa,” kata Regi.
Databott lalu mengumpulkan data tentang luas lahan, status petani sebagai pemilik lahan atau buruh, sertifikat lahan, penggunaan pestisida, serangan hama, hingga pengairan. Tak hanya dari lapangan, data juga didapat dari satelit untuk mengetahui curah hujan dan sejenisnya. Dengan begitu, upaya peningkatan produksi bukan lagi sekadar tebak-tebakan dengan hasil yang sulit diperhitungkan.
Pengalaman pelanggan
Perusahaan e-commerce Bukalapak mengumpulkan informasi berdasarkan kebiasaan pengunjung mengeklik fitur-fitur yang ada. Dengan 1,5 juta pelapak dan 13 juta pengguna Bukalapak, dalam semenit saja terhimpun ratusan ribu klik yang menggambarkan aktivitas atau kebiasaan pengunjung.
”Setiap klik muncul, kami simpan. Ini tanpa melihat akun pengunjung. Semata-mata fokus pada aktivitasnya. Yang penting polanya, bukan siapa mereka,” ungkap Teguh Nugraha, Data Scientist Lead Bukalapak.
Data yang terkumpul dimanfaatkan untuk menentukan langkah strategis mereka di dunia maya. Salah satunya penawaran tautan rekomendasi. Jangan heran, jika Anda membuka gambar ponsel merek tertentu, akan diikuti dengan tautan tawaran aksesori atau produk lain terkait produk ponsel itu.
Dari sisi pelapak, Bukalapak tidak hanya memantau aktivitas mereka, bahkan yang tidak beraktivitas pun direkam dengan jeli. Bagi pelapak yang mulai tidak aktif, Bukalapak akan mengirim sejenis peringatan, misalnya jangan menerima order dahulu atau segera mengirim barang yang dipesan pembeli. ”Tujuannya agar pelapak dan pembeli sama-sama enak,” kata Teguh.
Sistem ini ternyata efektif untuk menggairahkan transaksi. Artinya, jumlah transaksi yang batal (refund rate) karena ketidakaktifan pelapak semakin menurun.
Penyedia jasa transportasi daring Go-Jek memanfaatkan big data untuk membantu pengguna dengan cepat dan mudah mendapatkan pesanannya. Go-Jek bekerja sama dengan Google dalam bentuk memasukkan layanan Google Maps dalam aplikasi Go-Jek melalui integrasi applicationprogram interface.
”Penggunaan big data dan juga kecerdasan buatan tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam bisnis digital. Pengambilan keputusan untuk melayani konsumen harus seefisien mungkin dan tepat waktu,” ujar Kevin Aluwi, Chief Information Officer dan Co-Founder Go-Jek.
Tebersit tanya tentang banyaknya data mengenai diri kita yang diisap oleh big data berbagai perusahaan yang produknya kita gunakan. Bagaimana dengan keamanan data itu?
Dengan penetrasi telepon genggam di Indonesia sekarang lebih dari 100 persen, menurut Regi Wahyu, aman atau tidaknya kita hidup di era big data adalah pilihan. Pemanfaatan teknologi akan selalu meninggalkan jejak yang tidak akan pernah hilang. Jejak yang ditinggalkan sekarang menjadi lebih personal.
”Jika kita mau terbuka, kita akan mendapatkan manfaat. Jika tertutup, tidak dapat manfaat. Tinggal kita bijak memilih. Mesin sudah semakin pintar membaca siapa kita. Bukan nama, melainkan profil kita yang mereka baca. Syarat dan ketentuan sudah ada, tinggal kita mau baca atau tidak. Rambu-rambu sudah ada, tinggal kita mau patuh atau tidak,” papar Regi.
Dia mengatakan, dari sisi perusahaan, saat ini sudah banyak ”benteng” yang membuat perusahaan harus menjaga kerahasiaan data yang diperoleh. Ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada ISO 27001 tentang standar manajemen keamanan informasi, juga sederet aturan keamanan siber yang harus dipatuhi. Meskipun seolah-olah kita disetir berkat pemanfaatan data yang tersedia melimpah, sebaiknya tetap waspada. Jangan autopilot, pesan Regi. (FRANSISCA ROMANA/M HILMI FAIQ/A FIKRI ASHRI/ SRI REJEKI)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Mei 2017, di halaman 1 dengan judul “Dunia dalam ”Big Data””.