Apabila dulu para artis hanya mengandalkan manajer, asisten, dan produser ketika hendak tampil, kini mereka membutuhkan analis data. Dulu pemilik butik mengandalkan buku dan media untuk menentukan pakaian yang hendak dipajang, kini mereka memerlukan analis data. Pebisnis restoran bisa memastikan jenis makanan yang hendak dijual karena rentetan data memberikan informasi yang valid tentang makanan yang lagi digemari saat ini.
Kini, dasar semua keputusan, baik bisnis maupun politik, makin akurat karena ada data yang tersedia. Data itu bisa dibeli ataupun dikumpulkan sendiri. Pengumpulan data makin mudah karena perkembangan industri digital. Berbagai jenis gawai yang makin melekat dengan kehidupan manusia memberikan data mulai dari lokasi, percakapan, teks, foto, dan video. Data ini jumlahnya sangat besar dan melimpah hingga disebut data raksasa atau big data.
Cara-cara ini bagi beberapa kalangan mungkin dipandang berbiaya mahal atau membutuhkan investasi yang besar. Tidak sedikit pula yang berpandangan cara-cara itu percuma saja dan masih menjalankan cara-cara lama semisal dengan intuisi atau riset terbatas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pandangan kita akan berubah ketika membaca buku Big Data karya Bernard Marr. Ia yang juga sebagai konsultan strategi bisnis membalikkan pandangan semua itu. Ia menceritakan, untuk membangun data raksasa itu tidak harus dimulai dengan investasi besar. Marr pernah menjadi konsultan untuk sebuah butik. Ketika pemilik butik mengatakan tidak memiliki data yang bisa digunakan untuk membantu membuat keputusan bisnisnya, Marr mengajak dia untuk memulai dari hal-hal yang ada terlebih dulu. Pemilik baru tersadar ketika Marr mengatakan, mulailah dari data pembelian yang dimiliki. Setelah itu, membangun data kunjungan ke butik. Secara manual, cara yang bisa dilakukan adalah menghitung satu per satu pengunjung, tetapi cara ini tidak efisien. Dengan pemasangan sebuah alat, pemilik bisa menghitung pengunjung dengan mudah. Alat ini akan mendeteksi gawai yang dibawa pengunjung.
Perangkat yang lebih canggih lagi akan mencatat lama pengunjung berada di tempat itu, termasuk di titik mana pengunjung menghabiskan waktu di butik. Tidak hanya itu, orang yang lewat di depan butik dan memperhatikan produknya bisa terdata dengan baik karena ada alat yang memantau mereka. Hasil dari pemantauan ini adalah data. Semisal, data menunjukkan sebagian besar pengunjung berada lama di baju dengan warna hijau dan berlengan pendek, maka semua ini menjadi informasi bisnis untuk membuat produk berwarna hijau dan desain yang pas dengan selera pasar.
Cara seperti ini telah digunakan oleh penyanyi Lady Gaga. Untuk membuat setiap konsep konser, timnya mendapat pasokan data dan analisis data. Mereka mendapatkan pasokan data dari media sosial, seperti Youtube dan Facebook, yang memberi informasi mengenai lagu-lagu yang sedang digemari, kalimat-kalimat dalam lagu yang digemari, dan bahkan hingga data mengenai kalimat-kalimat yang tidak disukai oleh pengguna media sosial. Dari pasokan data itu, tim kemudian merumuskan konsep konser.
Pemilik restoran juga dengan mudah memutuskan menu yang akan laku di restoran ketika ia mendapat pasokan data dari data raksasa itu. Mereka bisa mengumpulkan data yang selama ini didapat dari penjualan.
Jika cara mengumpulkan data telah didapat, satu hal yang penting lagi adalah cara mengklasifikasikan dan membuat analisis mengenai data itu. Data yang melimpah akan menjadi barang percuma ketika tidak ada yang bisa membuat klasifikasi, membuat struktur, dan melakukan analisis data. Di sinilah kita membutuhkan analis-analis data. Keputusan bisnis dan politik menjadi lebih jernih ketika data itu mempunyai makna, bukan lagi sekadar tumpukan data. (ANDREAS MARYOTO)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Mei 2017, di halaman 17 dengan judul “Semua karena Data”.