Pertanian adalah suatu bidang usaha yang prosesnya sebagai industri. Ada lahan garapan, bahan baku, dan sarana produksi. Ada proses, produk, dan sistem manajerial. Tentu saja butuh permodalan juga.
Petani pelaksana usaha tani tidak ubahnya seorang pengusaha industri. Sekecil apa pun lahan garapannya, petani adalah industriawan. Pekerjanya disebut buruh tani. Ini tidak beda dengan industri rumah tangga yang memproduksi tahu goreng dan mempekerjakan satu-dua karyawan sehingga digolongkan industri mikro atau industri kecil.
Kehidupan masyarakat pertanian inilah yang sebaiknya diatur dengan bijak dalam perundangan dan perilaku politik, baik secara mikro maupun makro, yang secara keseluruhan bisa kita sebut sebagai politik pertanian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagaimana mengatur pertanian dalam hubungannya dengan pemangku kepentingan, misalnya, dalam kebijaksanaan pangan nasional atau dengan pemerintahan—baik institusi yang paling rendah sampai yang paling tinggi—dan bagaimana menguasai segenap perundangan yang berlaku bagi bidang pertanian, semua itu merupakan ranah makro dalam politik pertanian.
Pemikiran konseptual
Kebijakan makro mencakup pemikiran konseptual dalam memberi arahan kehidupan masyarakat petani supaya bisa lebih sejahtera. Semua itu berkisar pada komoditas yang dikelola petani, baik berbentuk pertanian rakyat atau perkebunan, korporasi atau koperasi, dan spesifik untuk setiap komoditas kelolaan.
Adapun secara vertikal politik pertanian dapat distratifikasi atas dasar situasi dan kondisi lahan garapan, proses, maupun produk. Misalnya, bagaimana kebijakan yang akan dianut terhadap lahan garapan di dataran tinggi atau rendah, di tegalan atau pesawahan, di pesisir atau pegunungan.
Dalam proses, stratifikasi inilah kemudian dapat diadakan antara lain pengelolaan budidaya intensif atau ekstensif, pemanfaatan benih varietas lokal atau varietas bersertifikat, pemupukan organik atau anorganik.
Stratifikasi dalam produk juga bisa dilakukan, misalnya produk yang diorientasikan untuk ekspor atau untuk kepentingan domestik, penting tidaknya pemilahan (grading), dan perhatian terhadap pengepakan produk.
Semuanya itu merupakan stratifikasi vertikal dalam politik pertanian. Dalam mengembangkan politik pertanian sebagai ilmu, tentunya sampai pada pemikiran bagaimana ideologi pertanian perlu diciptakan sehingga pembangunan pertanian bukan saja meraih posisi ekonomi yang menguntungkan, melainkan juga tetap menjaga budaya masyarakat petani yang serba manusiawi.
Pembangunan ekonomi dan budaya perlu tetap menjadi isi keilmuan politik pertanian yang diemban dan dikembangkan. Secara vertikal dicapai modernisasi melalui teknologi maju, dan secara horizontal tidak mengabaikan sosial-budayanya.
Pertanian subsisten memang sudah tidak sesuai lagi dalam konstelasi ekonomi modern. Namun, semaju apa pun kondisi masyarakat tani, ideologi petani adalah membawa bidang pertanian agar menghidupi dan mumpuni. Seorang sarjana pertanian sebaiknya menguasai keilmuannya dengan pengetahuan ideologi pertanian.
Agropolitik
Ilmu untuk berkembang hanya bisa dicapai melalui kegiatan berbagai penelitian. Begitu pula politik pertanian sebagai ilmu harus ditunjang oleh berbagai penelitian agar bisa terus berkembang dan akhirnya bisa memajukan masyarakat petani.
Di samping majunya agribisnis yang digelorakan dalam bisnis petani, perlu ada agropolitik yang diserapkan di kalangan masyarakat. Dengan demikian, orang memandang pertanian tidak sekadar cukup bila melihat hamparan sawah dari tepi jalan.
Agropolitik atau politik pertanian sebagai ilmu mengajarkan kita berpikir konseptual untuk bidang pertanian. Pertanian bukan suatu bidang yang cukup dihadapi secara reaktif saja dan secara pragmatis bisa dicarikan solusi sesaat, kemudian dianggap selesai permasalahannya.
Pertanian dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar selalu dinyatakan gurem karena dengan lahan seluas itu bagaimana dia bisa dibawa maju. Kalau lahan itu berupa pesawahan dan bisa ditanami padi dua kali setahun, petani pengelola lahan itu toh tidak bisa terlepas dari belenggu kemiskinan.
Dengan berbasis pemikiran luas lahan garapan demikian saja, barangkali pertanian baru bisa tidak memiskinkan kalau lahan petani bisa lebih luas sehingga mencapai 10 hektar. Bagaimana bisa sampai ke sana, diharapkan ilmu agropolitik bisa menjawabnya secara konseptual.
Puluhan petani gurem itu bisa mengelompok dan membentuk kelompok tani sehingga memudahkan penyaluran subsidi sarana produksi. Petani bisa menaikkan produksi padinya dan membisniskan produk berupa gabah kering panen ke Bulog. Sampai di situ sajakah yang dinamakan agribisnis petani?
Ilmu agropolitik harus bisa menelurkan pemikiran konseptual bagaimana petani sebagai industriawan tidak hanya puas dengan bisnis produk mentahan. Ke depan, agropolitik berperan mengubah pandangan tradisional pertanian itu menjadi rasional industrial yang bisnis produk industrinya juga menjadi bisnis petani dan membudaya.
Begitu juga terhadap petani dengan produk hortikultura. Perlu pemikiran konseptual dalam agropolitik sehingga perilaku industrial mengubah budaya yang menjadikan stigma pertanian hortikultur tidak sekadar sampai proses produksi mentahan.
Nilai tambah
Pemikiran konseptual dalam ilmu politik pertanian yang kemudian saya sebut dengan istilah agropolitik juga sampai pada bagaimana mencapai nilai tambah. Secara tradisional petani sebenarnya sudah meresapi pengertian nilai.
Kepuasan dalam mencapai suatu nilai lebih bisa dihayati meski nilai tidak terukur. Maka, dalam mencapai nilai yang lebih baik kepuasan bisa diwujudkan jadi nilai tambah yang lebih realistis dan konkret.
Artinya, pertanian dengan basis pemikiran industrial yang berteknologi maju merupakan sistem dari hulu sampai hilir dengan orientasi nilai tambah yang senantiasa bertambah besar, baik melalui peningkatan mutu maupun efisiensi kerja.
Dengan wacana seperti yang saya kemukakan di atas, rasa-rasanya pendidikan pertanian Fakultas Pertanian saat ini (mudah-mudahan saya salah) kurang memperhatikan pengembangan agropolitik atau ilmu politik pertanian dalam pendidikannya.
Berpikir secara parsial-sektoral memang tercapai, tetapi menelurkan menjadi pemikiran konseptual budaya masih kurang bisa dikuasai. Mudah-mudahan dalam era modernisasi saat ini, baik dalam teknologi informasi dan komunikasi maupun bioteknologi, politik pertanian atau agropolitik sebagai ilmu perlu lebih diperhatikan para pendidik.
Dengan demikian, lahir sarjana-sarjana pertanian yang mampu memajukan pembangunan pertanian tidak hanya dalam bisnis ekonomi, tetapi juga seutuhnya dalam pembangunan budaya, agrikultur-agropolitik-agribisnis.
Sjamsoe’oed Sadjad Guru Besar Emeritus Budidaya Pertanian IPB
Sumber: Kompas, 16 Mei 2012