BERUNTUNGLAH Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Menjelang badai krisis menerpa Indonesia, tahun 1997, lembaga ini menjalin program kerja sama Australia Indonesia Medical Research Initiative (AIMRI). Program tiga tahun yang dibiayai AusAID ini, menjadi semacam corridor of science antara the Walter Eliza Hall Institute (WEHI), Universitas Monash di Melbourne, dan Lembaga Eijkman di Jakarta.
Maka ketika krisis berlarut-larut, masih ada ruang bagi paling tidak delapan peneliti lembaga itu untuk mengasah kemampuannya. Selain bahu-membahu dengan sembilan peneliti Australia di bidang dasar resistensi obat antimalaria, patogenesis malaria serebral, dan vaksin malaria, AIMRI memungkinkan terjadinya pertukaran peneliti.
Tak heran bila Prof Dr Sangkot Marzuki, ketua Lembaga Eijkman, amat bangga dengan program ini. Kerja sama yang tidak hanya mengangkat derajat lembaga setara dengan lembaga penelitian bergengsi internasional, tetapi juga menjadi transfer of knowledge dari para peneliti tingkat dunia ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alan Cowman, adalah salah satunya. Pemegang paten –bersama koleganya di WEHI– untuk antigen Plasmodium falcifarum dan ekspresi polipeptida P falcifarum dari klon cDNA itu, menjadi bintang dalam simposium tentang keampuhan pendekatan molekul dan populasi pada interaksi parasit-hospes malaria, yang berlangsung di Jakarta 6-7 Maret.
Dalam simposium yang menandai keberhasilan dan berakhirnya program AIMRI itu, ia datang membawa temuan terbarunya yang tengah menjadi topik ilmiah di mana-mana: mutasi gen pada P falcifarum yang membuat parasit malaria tersebut resisten terhadap obat.
Mutasi gen itu dinamai pfmdr1. Dalam jurnal ilmiah Nature terbaru, Cowman dan kawan-kawan menyebut pfmdr1 sebenarnya bukanlah satu-satunya gen yang berperan melindungi parasit dari serangan obat. “Tetapi pfmdr1 adalah yang terpenting,” ujarnya.
Maka Cowman pun melanjutkan penelitiannya untuk memahami lebih banyak peran dan mekanisme kerja pimdr1. ”Kalau bisa mengetahui cara kerja gen ini, kita seperti menemukan pintu. Lewat pintu itu terbuka peluang untuk mengembangkan cara yang lebih efektif melawan malaria dan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan obatnya,” tuturnya.
MESKI merupakan penyakit yang sudah ada sejak zaman Yunani, perang melawan malaria tak kunjung usai. Penyakit yang artinya udara busuk ini –karena banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang menyebarkan bau busuk— masih menjadi masalah kesehatan di berbagai negara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, saat ini di seluruh dunia sekitar 300 juta-600 juta kasus klinis malaria dijumpai setiap tahun. Dari jumlah itu, enam juta terjadi di Indonesia dan 700 di antaranya meninggal tiap tahun.
”Karena itu, meneliti malaria adalah kewajiban moral bagi saya. Meski di Australia sama sekali tak ada ancaman malaria, saya tak boleh menutup mata akan apa yang terjadi di belahan Bumi lainnya,” kata Alan Cowman.
Pertimbangan ini pula yang membuat ia memilih malaria, bukan meneliti bidang-bidang lain yang lebih ”seksi” seperti penyakit kanker atau jantung.
Menurut pria kelahiran Brisbane, 27 Desember 1954 ini, malaria jauh lebih menimbulkan persoalan kesehatan, ekonomi, dan sosial dibanding kanker. ”Caranya menginfeksi manusia dan manifestasi penyakit yang cepat, membuat malaria jadi lebih berbahaya,” paparnya.
Plasmodium falcifarum, salah satu dari empat parasit malaria yang menyerang manusia, menjadi fokus perhatian Cowman karena lebih dari separuh kasus malaria di muka Bumi disebabkan oleh P falcifarum.
Persoalan makin besar, karena parasit ini ternyata resisten terhadap obat klorokuin, yang dilaporkan pertama kali di Colombia (1961) dan tahun berikutnya Thailand. Sementara di Indonesia resistensi diketahui tahun 1974 dan terus meluas sehingga tahun 1992 sudah dilaporkan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia.
Padahal, malaria yang ditularkannya berbahaya. Jenis ini bisa mengakibatkan komplikasi malaria serebral yang menurunkan kesadaran bisa pikun koma, sampai meninggal, menyumbat pembuluh kapiler sehingga mengganggu peredaran darah, dan menyebabkan terjadinya pembengkakan organ tubuh dari ginjal limpa, sampai jantung dan otak. Sementara pada ibu hamil bisa menyebabkan janin lahir dengan berat badan rendah, lahir prematur, atau keguguran.
“Kalaupun selamat, korban malaria yang mengalami gangguan pada berbagai organnya tentu membutuhkan biaya kesehatan tinggi. Belum lagi saat-saat harus meninggalkan sekolah, pekerjaan, yang nilai kerugiannya besar secara ekonomi,” ujar Cowman.
MINATNYA pada penanggulangan malaria makin besar, karena sejarah perang yang gemar dibacanya saat senggang menunjukkan, ada kaitan erat antara malaria dan perang. ”Alexander Agung dari Turki yang pernah menyerbu Eropa, kena malaria,”katanya .
Dalam perang sipil di Amerika, malaria juga jadi masalah utama. Sementara di Vietnam kurang. ”Tidak banyak yang mati karena malaria di Vietnam. Masalah utamanya justru udara panas, yang membuat tentara Amerika tidak tahan. Gara-gara ini Vietnam menang,” tutur lulusan S1 bidang sains dari Universitas Griffith, Brisbane, dengan penghargaan tertinggi ini.
Namun, di Vietnam pula orang menemukan obat tradisional Cina yang bisa dikembangkan untuk mengatasinya.”Jadi ada obat baru yang dihasilkan karena perang Vietnam,” tambahnya.
Ia sendiri benci perang, karena mengerikan dan menguras air mata. Tetapi membaca sejarah perang membuat Cowman memahami apa kaitannya dengan politik, tingkat kemampuan teknis saat itu dan berbagai temuan baru yang mengikutinya. Perkembangan obat malaria pun tak lepas dari sejarah perang.
“Memang banyak nyawa terbuang sia-sia saat perang. Cuma ada juga yang baik, yang keluar dari situ. Out of that some good things happened,” papar Cowman. Maka hobi membaca sejarah perang terus berlanjut bersama dengan kegiatan meneliti malaria, yang ditekuni sejak tahun 1984.
Sisi lain Cowman adalah banyaknya penghargaan internasional yang diperoleh hampir setiap tahun. Toh, ia tetap rendah hati. Semua pertanyaan peserta simposium misalnya, dijawabnya panjang lebar bahkan juga pada saat santap siang.
Apalagi penghargaan memang bukan tujuan utamanya meneliti. ”Ketika saya memulai meneliti, saya melakukan karena senang. Jadi saya tidak pernah berencana mendapatkan semua itu,” kata doktor biologi molekuler Universitas Melbourne ini. Maka ia pun mengaku tak pernah membayangkan hadiah Nobel suatu saat mampir padanya. Bisa meneliti saja sudah kenikmatan tersendiri. Maklum, itu cita-citanya dari kecil. ”Saya dari dulu suka mengamati binatang, selalu ingin tahu berbagai reaksi kimia yang terjadi di sekeliling saya,” tutur ayah Nancy (14) dan Tedd(7) ini.
Padahal ia berasal dari kalangan yang tidak berbau ilmiah sama sekali. ”Orang tua saya amat miskin. Tidak ada anak-anaknya yang melanjutkan ke universitas, kecuali saya.”
Agaknya, itu pula sumber kewajiban moralnya. (agnes aristiarini)
Sumber: KOMPAS, JUMAT, 10 MARET 2000