Yohanes Surya dan Obsesi Olimpiade Fisika

- Editor

Selasa, 4 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PHYSICS is beauty. Fisika adalah keindahan. Kata-kata ini tertulis di halaman belakang buku Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) yang dipimpin Yohanes Surya PhD sejak tahun 1993, yang juga berisi pesan singkat: Go Get Gold for Indonesia. Ada juga di Pengantar sembilan jilid buku pelajaran Fisika untuk Sekolah Menengah Umum tulisannya yang diberinya judul Olimpiade Fisika. Kata OLIAMPIADE sendiri adalah akronim dari ”TEORI dan LATIHAN FISIKA MENGHADAPI MASA DEPAN”.

Mengapa Yohanes begitu terobsesi pada Fisika dan Olimpiade Fisika? ”Karena Fisika itu memang indah. Dengan rumus-rumus sederhana, kita bisa menjelaskan aneka gejala alam. Sementara Olimpiade Fisika adalah kesempatan baik bagi siswa-siswa Indonesia untuk menguji kemampuan diri. Jika ada yang mampu meraih medali emas, maka ia nanti bisa magang pada pemenang Hadiah Nobel untuk Fisika, dan tidak mustahil suatu saat ada putra Indonesia yang juga bisa meraih Hadiah Nobel untuk Fisika,” katanya bersemangat.

Olimpiade Fisika sudah bagaikan anak kandung bagi Yohanes, yang tanggal 6 November nanti genap berusia 36 tahun. Sejak tahun 1993 hingga kini ia tak pernah putus berperan aktif bagi keikutsertaan TOFI dalam Olimpiade Fisika Internasional ke-24 di Williamsburg, Virginia, Amerika Serikat. Kebetulan kampusnya tempat ia sedang merampungkan disertasi doktornya, College of William and Mary tahun 1993 menjadi tuan rumah bagi perlombaan Fisika internasional bagi pelajar-pelajar dari berbagai negara itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Yohanes, penggagas pembentukan TOFI sebenarnya adalah dirinya bersama Agus Ananda, yang juga sedang merampungkan disertasi seperti dirinya. Sejak tahun 1992 mereka berdua merencanakanuntuk mengundang tim siswa Indonesia ke Williamsburg untuk dilatih sebelum ikut olimpiade. Syukurlah ide yang didukung J urusan Fisika FMIPA UI itu terwujud. Lima siswa Indonesia yang berhasil diseleksi berangkat ke AS atas dukungan beberapa sponsor. “Hasilnya, dengan latihan selama dua bulan dari pagi hingga tengah malam, tim Indonesia meraih satu medali perunggu dan satu honorable mention. Ini tentu sangat membanggakan,” tutur Yohanes.

Medali emas diberikan kepada siswa yang mampu mencapai nilai 90 persen dari rata-rata tiga nilai teratas, medali perak 78 persen, perunggu 65 persen, dan honorable mention 50 persen. Tahun 1994, TOFI tidak berhasil meraih satu pun penghargaan di Olimpiade Fisika di Beijing, kecuali dua siswi peserta meraih peringkat ketiga putri. ”Di olimpiade ini memang diakui soalnya sulit-sulit. Tim-tim kuat seperti Rusia dan AS yang langganan dapat emas, hanya mampu meraih perunggu. Ini tentu bukan excuse, kendati memang tim hanya dilatih di Williamsburg selama satu bulan,” kata Yohanes.

PRESTASI terbaik diraih TOFI tahun 1995 di Sydney, Australia, yaitu satu medali perak, satu medali perunggu, dan tiga honorable mention. Indonesia menduduki peringkat 18 dari 51 negara, lebihbaik daripada tuan rumah Australia, Singapura, Belanda dan banyak negara maju lainnya.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengorbanan Yohanes dan keluarganya. Akhir tahun 1994 ia berhasil merampungkan PhD-nya dengan nilai ”A” untuk semua mata kuliah dan riset, atau indeks prestasinya 4,00 (sangat baik). Waktu itu ia memperoleh tawaran program postdoctorate di tiga tempat, yaitu di Pusat Fisika Nuklir atau CEBAF (Continuous Electron Beam Accelerator Facility) di Virginia, Academia Sinica di Taiwan, dan di Florida State University. Ia lewatkan semua kesempatan itu hanya untuk mengurus kelangsungan TOFI walaupun ia sempat sebentar menjadi konsultan Fisika Teori di CEBAF sebelum kembali ke Indonesia.

“Saya merasa sayang menelantarkan TOFI yang sudah dua tahun saya tangani. Di Indonesia saya bisa menangani secara full-time. Keluarga dan teman-teman saya umumnya menentang keputusan saya untuk balik ke Indonesia, karena saya melewatkan karier saya yang cukup baik. Dan memang selama tiga tahun hidup saya di sini amat pas-pasan. Baru awal tahun lalu sampai sekarang, saya mulai lumayan sesudah bergabung dengan Universitas Pelita Harapan,” tuturnya.

Balik dari AS, ia memang masih mampu membeli sebuah rumah kecil senilai Rp 60 juta di Kemang Pratama di Bekasi dari hasil tabungannya dan royalti penulisan buku pelajaran Fisika untuk SMA. Bukunya yang diterbitkan tahun 1988 oleh PT Intan Pariwara itu konon sempat tercetak sebanyak satu juta kopi, namun royalti yang diterimanya hanya Rp 10 juta. ”Berarti royalti untuk satu buku hanya Rp 10, padahal buku itu best seller dan hanya berhenti dicetak karena ada pergantian Kurikulum 1994,” kata Yohanes.

Tahun 1995 ia memang benar-benar mencurahkan perhatian untuk TOFI yang dilatihnya secara spartan selama dua bulan di Wisma Kinasih, Bogor. ”Rumah saya waktu itu belum ada telepon, jadi komunikasi ke saya hanya lewat starko. Namun bantuan teman-teman dan donatur luar biasa besar,” kisahnya.

Tahun 1996 ia mulai menulis buku Olimpiade Fisika untuk penerbit PT Primatika Cipta Ilmu yang kini bangkrut. Untuk biaya hidup setiap bulan ia digaji Rp 2 juta. Baru tahun 1997 ia memperoleh royalti borongan untuk sembilan jilid bukunya, sebesar Rp 150 juta, namun gaji bulanan distop.

Tahun 1996, TOFI meraih satu medali perunggu dan empat honorable mention di Oslo, Norwegia. Indonesia menduduki peringkat 15 dari 55 negara. Tahun 1997 kembali TOFI meraih dua medali perunggu dan satu honorable mention di Sudbury, Kanada. Tahun 1998 di Eslandia, tiga wakil Indonesia masing-masing meraih honorable mention.

Yang menggembirakan, sejak tahun 1995 para siswa yang ikut dalam seleksi TOFI berasal dari 27 propinsi, dan yang terpilih memperkuat tim bukan hanya dari kota-kota besar di Jawa. Dari Propinsi Bali bahkan sejak 1995 hingga kini selalu menempatkan wakilnya. Hanya karena krisis ekbnomi yang amat parah tahun lalu, wakil dari Bali, I Made Agus Wirawan, harus mundur. Namun tahun ini ia tampil lagi dan malah diharapkan dapat meraih medali emas, karena memang prestasinya cukup menjanjikan. Agus baru saja menerima penghargaan tertinggi untuk kompetisi riset Fisika The First Step to Nobel Prize.

“Kami memiliki database 1.000 SMU terbaik di seluruh Indonesia. Mereka kami undang untuk mengikuti seleksi. Guru-guru mereka juga diberi kesempatan untuk memperoleh pelatihan yang diadakan oleh Depdikbud, dan sekarang oleh UPH,” tutur Yohanes.

YOHANES dilahirkandi Jakarta dan dibesarkan di lingkungan Kampung Lio, Pulogadung. Ia merasakan betul waktu itu hubungan antar tetangga amat akrab. Ibunya biasanya memberikan hadiah Lebaran untuk tetangga-tetangganya yang muslim, sebaliknya keluarganya memperoleh kunjungan pada Hari Natal.

Ayahnya, Zakaria kini sudah berusia 83 tahun, sedang ibunya, Elly 67 tahun. Karena kedua orangtuanya sudah cukup tua ketika ia masuk ke UI, maka sebagai anak ketujuh dari sembilan saudara ia pun menjadi tanggungan kakaknya. Sejak SD ia masuk ke sekolah negeri. SD di SD Pulogadung Petang II, SMPN 90 juga di Pulogadung, dan SMAN 12 di Klender. Tahun 1981 ia masuk ke Jurusan Fisika FMIPA UI dan rampung tahun 1986. ”Sejak SMA saya suka Fisika, namun di UI saya benar-benar tertarik untuk menjadi fisikawan,” kisahnya. Tahun 1988 ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke College of William and Mary, universitas tertua kedua di AS. Sebenarnya program master dan PhD bisa ia rampungkan empat tahun, namun karena profesornya sedang cuti ke Italia ia terpaksa harus menjalani studinya selama enam tahun. ”Kalau saya rampung tahun 1992, mungkin saya tidak akan mengurusi TOFI. Ini mungkin sudah garisan nasib saya,” katanya.

Ia mengaku tidak menyesal meninggalkan karier gemilang di AS hanya demi TOFI. ”Pakistan saja bisa meraih Hadiah Nobel, seharusnya bangsa Indonesia juga bisa, karena kemampuan untuk itu ada,” kata ayah dari Chrisanti (9) dan Felicia (2 bulan), hasil perkawinannya dengan Christina ini. (Irwan Julianto)

Sumber: KOMPAS, SELASA, 29 JUNI 1999

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 43 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB