Sulaiman Hamid tak kuat menghadapi kenyataan dirinya harus menjalani cuci darah atau hemodialisa dua kali sepekan. Ia trauma atas apa yang terjadi dan dialami kakaknya dulu. Karena kondisinya memburuk, ia pun mau menjalani cuci darah.
Minggu lalu, Sulaiman terjatuh. Pria berusia 59 tahun, warga Cinere, Depok, Jawa Barat, itu tak henti-hentinya batuk sejak siang sampai malam hari. Ia pun dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu.
Meski terkena penyakit ginjal kronis, ia tak bersedia menjalani hemodialisa. Minggu (5/3) kondisi Sulaiman memburuk. Ia lemas. Akhirnya, ia mau menjalani hemodialisa agar kondisinya membaik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebenarnya, ia mengetahui didiagnosis terkena penyakit ginjal kronis stadium V sejak pertengahan tahun 2016. Dua ginjalnya tak berfungsi optimal. Vonis itu mengharuskan Sulaiman menjalani hemodialisa atau cuci darah dua kali seming-gu. Namun, ia memilih menjalani terapi herbal.
Sulaiman trauma. Pengalaman mendampingi kakaknya cuci darah dulu memberi kesan buruk. Menurut dia, tiap kali cuci darah, kakaknya kesakitan. Kakaknya juga menjalani amputasi karena diabetes melitus.
Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor risiko. Penyakit ginjal kronis yang dialami Sulaiman biasanya timbul perlahan dan menahun. Sejumlah faktor risiko penyakit ginjal kronis adalah hipertensi, diabetes melitus, terus mengonsumsi obat analgesik, radang ginjal kronis, dan usia. Di fase awal, penyakit itu terabaikan karena tak ada gejala khas.
Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Dharmeizar menjelaskan, penyakit ginjal kronis tak hanya memicu gangguan pada ginjal. Penyakit ginjal kronis juga meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular 10-20 kali lebih besar. Bahkan, komplikasi kardiovaskular terjadi sejak awal stadium penyakit ginjal kronis.
“Sekali kena penyakit ginjal, meski stadium I, fungsi ginjal tak bisa normal kembali. Stadiumnya akan terus naik. Hal yang bisa dilakukan ialah memperlambat progresivitas penyakitnya. Jadi pencegahan amat penting,” kata Dharmeizar.
Penyakit ginjal kronis biasanya diukur dengan laju filtrasi glomerulus (LFG). Jika hasil pemeriksaan LFG menunjukkan di bawah 60/mililiter/1,73 m2 lebih dari tiga bulan, dikategorikan sebagai penyakit ginjal kronis meski tanpa bukti kerusakan ginjal.
Selain itu, ada bukti kerusakan ginjal tanpa indikator LFG menurun juga termasuk kategori penyakit ginjal kronis. Penyakit ginjal kronis dibuktikan dengan ada kebocoran albumin dari ginjal ke urine, ada darah dalam urine, kelainan patologis, dan kelainan anatomis.
Bisa dicegah
Faktor risiko penyakit ginjal kronis yang bisa dicegah ialah hipertensi dan diabetes melitus. Obesitas juga jadi faktor risiko tak langsung penyakit ginjal kronis. Obesitas bisa memperparah hipertensi dan diabetes melitus yang jadi faktor risiko langsung penyakit ginjal kronis.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan, prevalensi penyakit ginjal kronis 0,2 persen, lebih banyak pada lelaki dan di perdesaan. Selain beban kesehatan, penyakit itu membebani secara ekonomi. Biaya gagal ginjal kronis ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2015 mencapai Rp 2,68 triliun.
Sementara penghitungan Pernefri tahun 2006 menunjukkan, insiden penyakit gagal ginjal kronis 433 per juta penduduk dan 30,7 per juta penduduk di antaranya adalah stadium V.
Obesitas
Seiring perkembangan ilmu kedokteran, berbagai hasil riset menunjukkan obesitas jadi faktor risiko independen penyakit ginjal kronis. Obesitas memberi beban terlalu tinggi pada ginjal. Dengan tubuh lebih besar, massa organ dalam membesar sehingga memaksa ginjal bekerja amat keras untuk mengeluarkan zat sisa dari tubuh.
Terkait hal itu, International Society of Nephrology dan International Federation of Kidney Foundations menjadikan “Penyakit Ginjal dan Obesitas” sebagai tema Hari Ginjal Sedunia tahun 2017, diperingati tiap Kamis minggu kedua Maret.
Di dunia, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan, prevalensi obesitas secara global lebih dari dua kali dibanding tahun 1980. Sekitar 600 juta orang saat ini menderita obesitas. Adapun jumlah anak usia di bawah lima tahun (balita) berbobot berlebih dan obesitas 41 juta orang. Artinya, mereka yang berpotensi terkena penyakit ginjal kronis di masa depan amat tinggi.
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi obesitas warga berusia di atas 15 tahun 19,1 persen. Pada 2013, prevalensi warga di atas 18 tahun yang kegemukan 22 persen. Prevalensi obesitas sentral penduduk di atas 15 tahun pada 2007 ke 2013 naik dari 18,8 persen jadi 26,6 persen.
Anggota staf Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Triyani Kresnawan, menambahkan, obesitas tak hanya jadi faktor risiko penyakit ginjal kronis tetapi juga hipertensi, stroke, gagal jantung, sampai kanker. Mencegah obesitas dengan asupan makanan bergizi seimbang yang mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur menjadi penting.
Konsultan Ginjal Hipertensi dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM Jakarta, Ginova Nainggolan, mengungkapkan, pencegahan penyakit ginjal sekaligus mencegah penyakit kardiovaskular. Sebab, penyakit ginjal kronis jadi faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Namun, gejala penyakit ginjal kronis kerap tak terdiagnosis dan terabaikan. Pasien dan tenaga medis kurang awas dengan kemungkinan penyakit ginjal. Pada stadium I dan II, penyakit ginjal kronis biasanya tak ada gejala tertentu sehingga menyulitkan diagnosis.
Untuk itu, upaya pencegahan amat penting. Itu bisa dilakukan dengan rutin mengecek tekanan darah dan gula darah, menghindari konsumsi obat sembarangan. Cara lain ialah menghindari faktor risiko hipertensi dan diabetes melitus dengan rajin berolahraga, mengonsumsi sayur dan buah, membatasi asupan gula, garam, dan lemak.–ADHITYA RAMADHAN
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Saat Ginjal Gagal Berfungsi”.