Cinta dan benci ibarat gas dan rem mobil. Cinta mendorong rasa nyaman dan senang, sedangkan benci jadi pengendali agar tak dibutakan cinta. Namun, cinta dan benci hanya diperlukan sewajarnya. Cinta atau benci berlebihan bisa membahayakan diri, mematikan nalar, bahkan memicu konflik.
Sepanjang sejarah manusia, cinta dan benci selalu mewarnai kehidupan manusia. Cinta dan benci jadi penggerak berbagai perilaku manusia. Bedanya, cinta menarik seseorang pada sesuatu yang dicintai, sedang benci mendorong seseorang menjauh dari obyek yang dibenci.
Sama dengan berbagai jenis emosi lain, seperti marah, takut, dan sedih, cinta dan benci diatur di bagian subkortikal otak. Bagian subkortikal ini juga ada pada otak semua mamalia, termasuk monyet dan paus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cinta menimbulkan rasa nyaman, tenang, dan membangkitkan semangat. Sementara benci menghasilkan stres yang berdampak buruk pada kesehatan fisik dan psikis.
Selain itu, cinta menghasilkan energi pendorong seseorang bisa melakukan apa pun, termasuk hal menantang bahaya. Sementara benci memunculkan kekuatan yang menguras energi.
“Cinta menghasilkan kekuatan, sedangkan benci menghasilkan ketidakberdayaan,” kata ahli neurosains yang merupakan Kepala Bagian Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, Taufiq Pasiak, dihubungi dari Jakarta, Senin (13/2).
Psikolog klinis di Klinik Psikologi Rumah Hati, Jakarta, Tri Swasono Hadi, menambahkan, cinta dibutuhkan untuk mencapai tujuan positif. Adapun benci diperlukan untuk menghindari hal-hal negatif yang bisa menghalangi mencapai tujuan.
Cinta dan benci adalah pasangan, tak boleh muncul sendiri-sendiri. Meski fungsi dan peranan keduanya berlawanan, cinta dan benci saling dibutuhkan dan melengkapi. Keduanya diperlukan untuk membuat hidup dinamis.
Tri mengibaratkan cinta dan benci sebagai gas dan rem mobil. Idealnya proporsi cinta lebih besar dibandingkan benci agar hidup bisa berjalan. Namun, gas harus dikendalikan agar tak berlebihan karena mengurangi kewaspadaan saat ancaman datang, “Di situlah benci sebagai rem diperlukan, sebagai pengendali agar cinta tak membabi buta,” katanya.
Berlebihan
Meski kerap dipandang sebagai emosi negatif, benci ialah respons emosi sehat selama tak berlebihan. Saat cinta tak terkendali, jadi berlebih, semua menjadi serba indah. Kekritisan dan kewaspadaan diri berkurang. Sosok yang dicintai akan berubah jadi figur sempurna tanpa cela.
Sebaliknya, benci yang terlalu besar menguras energi, memicu stres, hingga menumpulkan pikiran. Semua yang ada dalam sosok yang dibenci adalah hitam, tak ada kebaikan sekecil apa pun dalam dirinya.
Menurut Tri yang juga jadi psikolog di Rumah Perlindungan dan Trauma Center Kementerian Sosial, ciri utama benci berlebihan ialah hadirnya gangguan berbagai fungsi hidup, seperti muncul rasa tak nyaman, ketegangan, marah, bahkan bisa muncul perilaku destruktif.
“Cinta dan benci berlebihan sama-sama merusak, menumpulkan pikiran, menghilangkan daya nalar, dan mematikan sikap kritis,” ucap Taufiq yang juga Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Unsrat.
Hilangnya kendali nalar atas diri membuat kehidupan seseorang dikendalikan insting. Dominasi insting membuat segala hal disikapi dengan mekanisme pertahanan hidup. Dampaknya, seseorang tak mampu menata hidupnya. Semangat bertahan hidup membuat seseorang bertindak apa pun meski itu salah.
Pembunuhan sejumlah selebritas dunia jadi contoh cinta dan benci berlebihan, seperti kematian John Lennon yang ditembak salah satu penggemar beratnya, Mark David Chapman, pada akhir 1980 (Kompas, 15 Desember 1980).
Berbahaya
Meski cinta dan benci berlebih tak menyehatkan, kondisi itu justru terjadi secara masif dalam masyarakat Indonesia saat ini. Cinta dan benci berlebihan pada figur-figur tertentu membuat masyarakat terpecah dan terbagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan pandangan politik atau paham agama.
Tak jarang, lanjut Tri, cinta berlebih pada sosok tertentu dan benci berlebih pada sosok lain melahirkan perilaku dehumanisasi. Muncul stereotip, kata-kata kasar, makian, umpatan, hingga panggilan binatang terhadap yang lain. “Dehumanisasi yang lahir dari kebencian memudahkan seseorang melakukan agresi, melukai, atau merusak orang lain,” ujarnya.
Upaya menghancurkan kemanusiaan seseorang itu sebenarnya tak mudah dilakukan. Setiap manusia memiliki empati bawaan yang mencegahnya berbuat merusak. Namun, dehumanisasi yang memandang orang lain bukan sebagai manusia membuat empati itu mati.
Taufiq menilai, cinta dan benci berlebihan yang terjadi di Indonesia saat ini mengkhawatirkan karena terjadi secara masif dan muncul dari dalam diri. Di negara-negara totaliter, seperti pemerintahan Nazi, Jerman, atau Korea Utara, cinta dan benci berlebihan itu hilang saat pemerintah yang menekan masyarakatnya berganti.
“Di Indonesia, karena cinta dan benci berlebih berasal dari dalam diri, saat figur yang dicintai atau dibenci hilang, rasa cinta dan benci berlebih itu tetap ada,” katanya.
Kondisi itu mengkhawatirkan karena membuat masyarakat terus-menerus dalam ketumpulan nalar dan kehilangan daya kritis. Dampak kesehatan besar di kemudian hari pun harus diperhitungkan.
Daya nalar
Untuk menghindari cinta dan benci berlebihan, proses evolusi biologi manusia memaksa manusia memakai nalarnya. Nalar itu dikendalikan di bagian otak yang disebut kortikal. “Bagian kortikal itu hanya ada pada otak manusia, tak ada di mamalia lainnya,” kata Taufiq.
Sebagian masyarakat Indonesia dinilai mempunyai kemampuan menalar rendah. Saat berpikir, emosi lebih mengemuka dibandingkan rasio. Karena itu, pembangunan rasionalitas bangsa harus terus didorong. Sayangnya, pendidikan Indonesia yang menekankan hafalan, bukan analisis, makin melanggengkan proses berpikir dengan emosi.
Membangun nalar itu juga bisa dimulai dari keluarga. Anak-anak perlu dikenalkan dengan keterbukaan sejak dini, membiasakan mereka menerima kritik dan pujian, serta mengajarkan hidup di lingkungan beragam. Penggunaan media massa dan internet pun harus diatur agar rasionalitasnya terbangun.
Tri menambahkan, anak-anak perlu dibekali dengan keterampilan sosial untuk kompromi, negosiasi, komunikasi, dan saling memahami. Rendahnya keterampilan sosial itu membuat reaksi yang muncul saat menghadapi masalah adalah kebencian, kemarahan, ataupun kata-kata kasar.
“Manusia modern butuh keterampilan sosial. Jika tidak dimiliki, saat hadir masalah, respons primitif yang akan muncul, yakni melawan, lari, atau justru mengalah,” ujarnya.(M ZAID WAHYUDI)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Cinta dan Benci nan Menyehatkan”.