KALAU sebuah perusahaan berjalan lancer dan berkembang pesat, biasanya dikatakan orang, laporan keuangannya bagus, dan manajemennya transparan. Akan tetapi, tidak pernah disebut auditornya (akuntan). Namun, begitu perusahaan itu bangkrut, maka auditornya yang pertama-tama disalahkan.
DALAM kasus dilikuidasinya 16 bank misalnya, mengapa akuntan tidak memberikan early warning kepada masyarakat bahwa bank-bank itu akan bangkrut?
Publik sebenarnya bisa diberitahu oleh akuntan bahwa bank-bank itu akan bangkrut. Kalau aturannya transparan, akuntan publik bisa memberi peringatan dini sehingga tidak akan terjadi orang meninggal gara-gara simpanannya Rp 2 milyar tinggal Rp 20 juta. Dengan pelaporan akuntan nasabah terlindungi. Di negara-negara maju setiap bank yang nasabahnya diasuransikan, bank tersebut wajib membuat laporan pembukuan terbuka yang dinilai akuntan publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia peraturan itu terlambat. Kalau, laporan keuangan itu sudah diberlakukan sejak Pakto 1988, barangkali mana bank-bank yang sehat dan mana bank yang sakit bisa segera terdeteksi. Namun lebih dari 150 bank, yang go public hanya 12 bank. Ratusan bank itu baru sekarang diwajibkan membuat laporan keuangan oleh BI. Dengan laporan ini akuntan bisa mendeteksi kebangrutan bank.
Di samping itu perbankan mempunyai UU Kerahasiaan Bank, yang selalu dipakai tameng. Apa-apa rahasia. Akuntan juga begitu yakni kerahasiaan suatu pelaporan. Padahal di lain pihak tuntutan terhadap keterbukaan dari konsumen terus meningkat. Kalau semuanya transparan, semuanya lumrah, perusahaan bangkrut itu biasa. Masalahnya kebangkrutan itu begitu mendadak sehingga konsumen tidak tahu sebelumnya.
Padahal beberapa kantor akuntan sudah menduga kalau itu akan terjadi sebab yang disalahkan nanti pasti akuntan karena dianggap pihak yang paling tahu dan paling mengerti. Di lain pihak ada bank-bank yang beberapa tahun sama sekali tidak diaudit. Mereka ini semuanya tidak termasuk bank yang go public. Kalau dicari siapa yang salah apakah akuntan atau pihak manajemen bank, ini yang sulit.
Dari aturan perbankan juga sudah menyimpang. Misalnya begitu banyak grup-grup perusahaan punya bank sendiri dan sebagian besar dananya dikucurkan untuk membiayai perusahaan grupnya. Tapi mengapa diberi izin?
Terlepas dari semua kerumitan itu, kalau aturan-aturan ini dilakukan secara konsisten, akuntan bisa melakukan cara-cara tertentu memberikan jasanya untuk mendeteksi bank-bank lalu dipublikasikan melalui media massa. Misalnya ini bank yang sehat, ini bank yang kemungkinan akan bangkrut, ini bank berbahaya sehingga nasabah bisa diselamatkan. Ini merupakan kerja sama akuntan publik dengan media massa untuk melindungi rakyat dari kejatuhan sebuah bank.
Tiga-empat tahun sebelumnya, data-data tentang kemungkinan jatuhnya sebuah bank itu sebetulnya harus sudah dipublikasikan. Kalau sejak awal ada kewajiban memberikan laporan keuangan secara terbuka, mungkin kisahnya akan lain. Baru awal November, ada kewajiban bank untuk memberikan laporan keuangan ke mata publik.
DALAM kasus bank bangkrut itu nasabah sama sekali tidak tahu bahwa bank-bank akan jatuh. Mereka hanya bisa menilai bonafiditas bank tersebut dari megahnya gedung dan cantik serta ramahnya para karyawatinya. Di sini terjadi jurang antara ekspektasi publik (masyarakat/nasabah) dengan standar auditing perbankan yang berkaitan erat dengan profesi akuntan.
Menurut Dr Djoko Susanto, Ketua Bidang Luar Negeri Ikatan Akuntasi Indonesia, dengan meluasnya lingkup jasa akuntansi, masyarakat semakin menuntut pengungkapan informasi, akuntansi sosial, peramalan, peranan akuntan manajeman, dan akuntansi sektor public. Dewasa ini tuntutan terhadap akuntabilitas publik juga semakin tinggi.
Masalah expectation gap ini merupakan salah satu persoalan dunia akuntan terutama menghadapi era pasar bebas. Di negara-negara maju pun sekarang sedang dicari cara bagaimana pendapat akuntan itu bisa dipakai mendeteksi kebangkrutan sebuah perusahaan. Ini terjadi karena ada gap ekpektasi antara harapan publik, misalnya kalau ada korupsi inginnya publik dipublikasikan dan disebut ini korupsi. Publik menginginkan tranparansi sehingga penyelenggaraan keuangan berjalan baik.
Tetapi, standar auditing belum mencapai ke sana. Di Indonesia, sebuah laporan keuangan sejauh laporan itu memenuhi kriteria aturan-aturan pelaporan maka diberi predikat wajar. Predikat itu ”wajar” bukan benar, namun mungkin suatu saat akan menjadi predikat itu benar. Ini menyangkut kualitas auditing. Di Indonesia banyak audit melakukan tugasnya dengan mencari bukti tertulis. Padahal audit itu tidak semata-mata berpijak terhadap dokumen, tapi subtance over form. Kalau ada pengeluaran, banyak audit yang berpijak pada form-nya. Pokoknya kalau ada pengeluaran, kuitansinya rangkap 14 terlepas dari benar atau salah angkanya, dianggap aman. Malah materainya lebih banyak dari materinya. Ini masalah lain dunia akuntan.
Di Indonesia tercatat 20.000 akuntan, semuanya sarjana ekonomi jurusan akuntansi. Akuntan yang terdaftar sebagai anggota IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) hanya 5.000-an. Untuk jadi anggota akuntan publik harus anggota IAI dan yang kini sudah menjadi akuntan publik itu baru 600-700-an yang tergabung dalam 100 kantor akuntan. Namun, tidak semua akuntan publik ini berpraktek. Akuntan publik ini melayani ratusan perusahaan swasta yang wajib diaudit yakni perusahaan go public.
Jumlah ini dirasakan kurang memadai sebab ada ribuan perusahaan lain yang tidak go public yang kadang minta diaudit karena diharuskan oleh bank misalnya atau oleh pemegang saham. Mereka minta diaudit untuk tujuan lelang misalnya atau macam-macam alasannya. Lalu akuntan pada BUMN, ada akuntan independen yang mengaudit pemerintah di samping dalam pemerintah ada auditor intern yakni BPKP dan akuntan inspektorat. Semua pekerjaan auditing.
Pada pelaksanaannya banyak audit justru menghitung sesudah terjadinya kebocoran. Ini bukan audit tapi namanya investigasi. Investigasi bertujuan mengungkapkan fakta yang benar. Kalau audit bersamaan dengan peristiwanya misalnya keuangan tahun 1997 auditnya tahun 1997.
Kalau akuntan publik tidak dibayar, itu sangat memudahkan pekerjaan, akuntan sebab bisa independen. Tapi kalau akuntan itu dibayar, ini yang sulit mengaturnya sebab di satu sisi ia harus dilihat sebagai bagian dari organisasi bisnis. Akuntan publik, ada aspek bisnisnya dan ada aspek etika moralnyai. Kalau lagi duduk berkumpul di ruangan biasanya lebih memperhatikan etika moralnya, tapi kalau sudah di lapangan, yang munculnya itu aspek bisnisnya.
Itu sifat manusia, yang namanya konglomerat kalau sedang berkumpul di Jimbaran itu semuanya dermawan. Tapi kalau duduk menghadapi cash flow, mereka berpikir mana yang paling menguntungkan. Yang diperlukan dalam kaitan ini adalah peranan kepemimpinan, leadership. Kalau konglomerat curang, bagaimana pengusaha kecilnya? Kalau akuntan yang gede-gede curang, apalagi akuntan kecilnya!
FUNGSI akuntan dewasa ini tidak saja memberikan informasi keuangan untuk keperluan perusahaan dan pertanggungjawabannya tapi juga menghasilkan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi. Fungsi tersebut menyangkut perlindungan kepentingan umum (public interest) di mana terdapat pengawasan yang ketat dari organisasi profesi itu sendiri maupun pihak berwenang.
Profesi akuntansi dapat dilaksanakan sebagai akuntan publik, akuntan pada perusahaan, akuntan pemerintah dan akuntan pendidik. Untuk berprofesi sebagai akuntan publik, para akuntan harus mengikuti ujian sertifikasi akuntan publik (USAP) yang pertama kalinya diselenggarakan September 1997 lalu.
Akuntan publik menawarkan jasa profesionalnya kepada publik untuk mendapatkan fee. Jasa yang ditawarkan dapat berupa pemeriksaan laporan keuangan (financial auditing), konsultasi perpajakan dan konsultasi manajemen. Sebagai akuntan pemerintah, mereka mengerjakan akuntansi umum dan fungsi pengawasan. Mereka harus mampu menyajikan fakta secara transparan untuk mewujudkan fungsi akuntabilitas publik.
Kepala Badan Akuntansi Negara, Drs Soleimein Abdullah, menilai, peranan akuntan pemerintahan dalam pelaporan masih sangat kurang. Penyiapan laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban instansi atas pelaksanaan APBN umumnya disiapkan oleh tenaga non-akuntan.
Pelaporan keuangan yang disiapkan pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN tersebut adalah perhitungan anggaran negara (PAN). PAN oleh pemerintah disampaikan kepada DPR yang sebelumnya diperiksa oleh BPK. Apabila dilihat dari segi akuntansi, PAN masih belum menyajikan informasi keuangan yang mencerminkan posisi keuangan sebagaimana pelaporan keuangan akuntansi.
Proses penyusunannya juga memerlukan waktu 10 bulan setelah tahun anggaran berakhir sehingga pemanfaatannya bagi pengambilan keputusan manajerial menjadi kurang efektif. Informasi yang disajikan mencakup anggaran dan realisasinya tanpa disertai besarnya jumlah investasi pemerintah atas realisasi APBN. Lama proses penyusunan PAN disebabkan sistem akuntansi pemerintah masih
menggunakan sistem tata buku tunggal yang manual.
Lemahnya sistem ini karena ketidakpaduan antara subsistem yang ada yang menyebabkan sulitnya menyajikan laporan keuangan setara terpadu. Ini meliputi susbsistem bendaharawan, subsistem akuntansi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, Biro Keuangan, utang luar negeri dan subsistem akuntansi aset tetap.
Penggunaan pengelompokan perkiraan juga terbatas. Pengelompokan yang ada sekarang hanya dimaksudkan untuk memudahkan pemantauan realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran saja dan tidak dirancang untuk tujuan analisis terhadap efektivitas pembiayaan suatu program. Dalam subsistem akuntansi, aset tetap juga tidak dikaitkan dengan keuangannya. Tidak dibedakan secara tegas antara pengeluaran modal dan pengeluaran operasional sehingga informasi yang disajikan kurang informatif.
Keterbatasan pada subsistem biro keuangan terletak pada tidak akurat dan lambatnya proses pengolahan data-data realisasi APBN dalam penyusunan perhitungan anggaran departemen yang akhirnya menghambat proses penyusunan PAN. Standar prinsip akuntansi pemerintah juga tidak ada.
Standar ini pada dasarnya merupakan sarana yang menjadi pedoman dalam penyusunan pelaporan keuangan pemerintah, sehingga dapat menjadi keseragaman praktek-praktek akuntansi atas suatu keuangan yang terjadi. Adanya standar ini juga dapat dimanfaatkan untuk menilai kewajaran penyajian pelaporan keuangan.
Dengan kelemahan-kelemahan ini maka tidak memungkinkan bagi sistem akuntasi pemerintah untuk menyajlkan pelaporan keuangan yang memenuhi standar kualitas pelaporan. Karena itu perlu adanya keikutsertaan akuntan pemerintah, khususnya dalam mengidentifikasi keluaran-keluaran yang diharapkan dapat memenuhl kebutuhan pemakai pelaporan keuangan pemerintah. (dedi muhtadi)
—————————–
Pendidikan Akuntansi Perlu dirombak
PALING tidak, ada empat sektor pekerjaan yang bisa dimasuki oleh lulusan pendidikan akuntan yakni akuntan publik, akuntan manajemen, akuntan pendidik, dan akuntan pemerintahan. Namun kurikulum ke empatnya tidak mengantarkan seorang akuntan menjadi profesional karena tidak memenuhi unsur, knowledges skills, dan karakter.
Inilah benang merah persoalan pendidikan akuntan dewasa ini. Karena itu kalangan akuntan menilai, Pendidikan Tinggi Akuntansi, sebagai produsen akuntan perlu dibenahi karena tidak mampu menunjang profesionalisme akuntan dalam menghadapi persaingan yang makin ketat. Kelemahan ini juga akan menyebabkan makin mengalirnya lulusan akuntan luar negeri ke Indonesia terutama pada era globalisasi.
Menurut Dr Mas’ud Machfudz, Wakil Kompartemen Ketua Akuntan Pendidik IAI, kelemahan lainnya adalah lemahnya mahasiswa akuntan berbahasa Inggris yang menjadi salah satu persyaratan peserta ujian akuntan, kurangnya fasilitas advantage technology dan lack of experiennce in practice serta kurangnya informasi tentang dunia profesi oleh pendidikan tinggi akuntansi. Pembenahan pendidikan akuntansi secara terstruktur dan sistematik akan sangat membantu terbentuknya suatu dunia profesi akuntansi yang ideal terutama untuk menghadapi persaingan global.
Sebagai ukuran mutu pelaksanaan tugas akuntan serta kaidah-kaidah etika, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejak lama memiliki norma atau standar-standar yang harus diikuti. Draft norma pemeriksaan dan kode etik akuntan misalnya telah dibuat IAI tahun 1960-an dan disahkan oleh Kongres IAI Januari 1972.
Setelah mengalami perubahan dalam setiap kongres maka yang berlaku dewasa ini adalah standar profesional akuntan publik dan kode etik akuntan yang ditetapkan dalam Kongres IAI ketujuh di Bandung tahun 1994. Garis besar standar profesional akuntan publik terdiri dari standar auditing, standar atestasi, dan standar jasa akuntan serta review (penelaahan).
Standar auditing terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan. Sementara rumusan yang disusun pada Kongres IAI ketujuh terdiri dari kepribadian, kecakapan profesional, dan tanggung jawab pelaporan.
PRAKTEK akuntansi di Indonesia dimulai sejak zaman VOC (1642). Akuntan-akuntan Belanda itu kemudian mendominasi akuntansi di perusahaan-perusahaan yang juga dimonopoli penjajah, hingga abad 19. Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan akuntansi hanya dlselenggarakan oleh Dapartemen Keuangan berupa kursus ajun akuntan di Jakarta. Pesertanya saat itu 30 orang termasuk Prof Soemardjo dan Prof Hadibroto.
Bersama empat akuntan lulusan pertama FEUI dan enam lulusan Belanda, Prof Soemardjo merintis pendirian Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tanggal 23 Desember 1957. Pada tahun yang sama pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Hal ini menyebabkan akuntan-akuntan Belanda kembali ke negerinya dan sejak itu para akuntan lndonesia semakin berkembang.
Presiden meresmikan kegiatan pasar modal 10 Agustus 1977 yang membuat peranan akuntansi dan laporan keuangan menjadi penting. Januari 1997 Menkeu mengeluarkan surat keputusan Nomor 43/1997 Tentang Jasa Akuntan menggantikan Kepmenkeu 763/1986. Selain mewajibkan akuntan publik memiliki sertifikat akuntan publik juga akuntan publik asing diperbolehkan praktek di Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan.
Data pada Ditjen Lembaga Keuangan menunjukan, jumlah kantor akuntan publik (KAP) tercatat 449 buah (September 1995). Terdiri dari 349 buah KAP usaha sendiri dan 100 KAP usaha bersama. Jumlah akuntan publik pemegang izin praktek baru 624 orang, sedangkan akuntan dengan nomor register tercatat 20.000 orang (November 1997). Jumlah anggota IAI (November 1997) hanya 5.076 orang. Bila dirinci menurut statusnya, anggota IAI terdiri dari akuntan pemerintah 1.901 (37,4 persen), akuntan manajemen 904 (17,8 persen), akuntan publik 1.178 (23,2 persen), akuntan pendidik 269 (5,3 persen) dan lain-lain 824 orang (16,3 persen). (dmu)
————————–
ISTILAH EKONOMI
Akuntansi : Sering didefinisikan sebagai proses pencatatan, pengelompokan dan pengikhtisaran kejadian-kejadian ekonomi dalam bentuk yang teratur dan logis dengan tujuan menyajikan informasi keuangan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan.
IFAC (International Federation of Accountants): Merupakan wadah organisasi profesi para akuntan sedunia. Organisasi internasional yang bersifat nirlaba, nonpemerintah dan nonpolitik. IFAC bertujuan menyusun dan meningkatkan koordinasi antara profesi akuntansi di seluruh dunia dalam rangka harmonisasi standar.
ICA (International Congress of Acountants): Dibentuk tahun 1904 yang merupakan cikal bakal IFAC. Dalam kongres ke -10 tahun 1972, ICA membentuk International Coordination Committee for the Acounting Profesion (ICCAP). Pada kongres 11 (1977) ICCAP dibubarkan dan diganti IFAC.
IASC (International Accounting Standards Cornmlttee): Didirikan 1973, tugasnya mengembangkan dan mengharmonisasikan pelaporan keuangan, terutama melalui penyusunan dan publikasi International Accounting Standards (IAS). IASC beranggotakan badan profesi akuntansi yang juga anggota IFAC. Hubungan IASC dengan IFAC dikukuhkan dalam mutual commitments.
CAPA (Confederation of Asian Pasific Accountants): Organisasi profesi akuntan se-Asia Pasifik.
AFA (ASEAN Federation of Accountants): Organisasi profesi akuntan se-Asia Tenggara yang didirikan di Bangkok 12 Maret 1977 oleh lima negara ASEAN (Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura).
(dmu, dari 40 tahun Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) 23 Desember 1957-1997).
Sumber: Kompas, Selasa 6 Januari 1998