Revolusi digital menjadi ancaman bagi tenaga kerja di Indonesia. Mesin dan robot diprediksi akan lebih cerdas daripada manusia pada tahun 2024, yang akan menggeser peran manusia.
“Pada tahun yang sama, Indonesia mengalami bonus demografi. Ini ancaman bagi tenaga kerja kita,” ujar Kuntoro Mangkusubroto, Guru Besar Teknik Industri ITB, dalam Rapat Kerja Badan Kejuruan Teknik Industri Persatuan Insinyur Indonesia, Kamis (12/1), di Jakarta.
Di bidang teknik industri, setidaknya empat hal berhubungan dengan proses produksi, di antaranya tata letak pabrik, teknik mesin perkakas, dan ergonomi. Hal itu akan berubah seiring perkembangan teknologi digital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita harus tinjau ulang dan menyesuaikan jika tak ingin tertinggal dan tersingkir. Teknik industri harus menyesuaikan perkembangan zaman,” katanya.
Namun, Kuntoro melihat bidang manufaktur di Indonesia tak berkembang sejak 1970-an. Manufaktur hanya di hulu, tak sampai hilir. “Ekonomi tumbuh bukan dari manufaktur, melainkan perdagangan bahan baku,” ujarnya.
Sebagai contoh, maraknya ekspor minyak sawit mentah (CPO). Padahal, produk turunan CPO jauh lebih mahal.
Lemahnya sektor manufaktur juga disoroti Lukita Tuwo, Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian. Pada proyeksi demografi hingga 2030, usia produktif penduduk Indonesia lebih besar. Namun, dilihat pendidikannya, 45 persen adalah lulusan SD.
Pembangunan infrastruktur memerlukan tenaga kerja siap pakai, termasuk untuk pemeliharaan sarana dan prasarana. Contohnya, pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt yang memerlukan tenaga terampil di lapangan.
Hal itu, katanya, tak diperoleh di pendidikan tinggi, tetapi dari pendidikan menengah keterampilan dan politeknik. “Karena itu, pendidikan harus diarahkan langsung melaksanakan proyek, baik untuk industri komponen maupun pembangunan pembangkit dan transmisi,” ujarnya.
Namun, program vokasi dan politeknik tak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat, tetapi harus sinkron dengan penyediaan anggaran lebih banyak dibandingkan pendidikan umum.
Kuntoro menyayangkan puluhan politeknik yang justru dijadikan universitas, apa pun alasannya. Ia lebih menyayangkan jika itu karena pengajar mengincar gelar akademik daripada menguasai kemampuan melatih orang untuk menggunakan mesin perkakas dan keterampilan lain di pabrik. (YUN)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “Revolusi Digital Bisa Ancam Indonesia”.