Badan Tenaga Nuklir Nasional terus meneliti potensi torium sebagai energi alternatif untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Dibandingkan uranium, stok torium lebih banyak dan risiko dijadikan senjata nuklir lebih kecil.
“Kami terus meneliti pemanfaatan torium sebagai energi alternatif pembangkit listrik,” kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S Wisnubroto dalam jumpa pers di kantor Pusat Sains dan Teknologi Akselerator (PSTA) Batan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (4/1).
Selama ini, bahan bakar yang biasa dipakai untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) adalah uranium. Dari 431 PLTN yang beroperasi secara komersial di dunia, semuanya memakai uranium sebagai bahan bakar. “Belum ada yang pakai torium sebagai bahan bakar,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sama seperti uranium, torium bisa ditemukan di alam dengan cadangan mencapai 6.355.000 ton di dunia. Kini, 16 negara memiliki cadangan torium tinggi. India termasuk negara dengan cadangan torium tertinggi di dunia, yakni 846.000 ton.
Djarot memaparkan, potensi cadangan torium di Indonesia 130.974 ton. Jumlah itu jauh lebih banyak daripada cadangan uranium Indonesia yang mencapai 74.397 ton. Cadangan torium di Indonesia, antara lain, terdapat di Pulau Singkep, Kepulauan Riau; Mamuju, Sulawesi Barat; Kepulauan Bangka Belitung; dan Kalimantan Barat. Torium banyak ditemukan dalam mineral monosit, yakni mineral dalam proses penambangan dan pengolahan pasir timah.
Riset torium sebagai bahan bakar PLTN dilakukan di sejumlah negara sejak lama. Di Amerika Serikat, misalnya, penggunaan torium untuk pembangkit listrik dirintis sejak 1965, tetapi dihentikan beberapa tahun kemudian. Di Indonesia, riset torium sebagai bahan bakar PLTN dilakukan sejak dekade 1980-an.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Peneliti memisahkan logam tanah jarang dari mineral monasit yang merupakan limbah tambang timah di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional, Babarsari, Kecamatan Depok, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (4/1). Unsur kimia hasil pemisahan tersebut antara lain torium (Th) yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komponen bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir.
Menurut Djarot, pengembangan torium sebagai bahan bakar PLTN harus melalui sejumlah tahapan. Tahap pertama adalah memisahkan torium dari unsur lain dalam mineral monosit. Selanjutnya, torium harus diolah agar berubah jadi uranium. “Torium tak bisa langsung jadi bahan bakar dalam reaktor nuklir. Jadi, torium itu harus diubah jadi uranium lebih dulu,” ucapnya.
Pertama kali
Para periset PSTA Batan berhasil mengubah torium menjadi uranium beberapa waktu lalu. Hal itu dilakukan dengan Reaktor Kartini di kompleks PSTA Batan, Sleman. “Keberhasilan proses mengubah torium jadi uranium ini yang pertama di Indonesia,” ujarnya.
Meski demikian, pengembangan torium jadi bahan bakar PLTN di Indonesia masih membutuhkan waktu lama. “Tiongkok menargetkan bisa menyelesaikan PLTN berbahan bakar torium dengan kapasitas daya 100 megawatt pada tahun 2035. Kemungkinan Indonesia baru bisa 5-10 tahun sesudah itu,” kata Djarot.
Kepala PTSA Batan Susilo Widodo menambahkan, uji coba untuk mengubah torium menjadi uranium dilakukan sejak April 2016. Hingga saat ini, uji coba tersebut masih terus berjalan.(HRS)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “Torium untuk Pembangkit Listrik Masih Diteliti”.