Dalam penjelajahan luar angkasa beberapa dekade lalu, Tiongkok tak diperhitungkan. Kini, Tiongkok mengejutkan banyak negara. Tak hanya membangun stasiun luar angkasa mandiri, mereka juga berencana ke Bulan dan Mars.
Kamis (3/11), roket peluncur terbesar Tiongkok, Long March-5 (Chang Zheng-5), diluncurkan dari Bandar Antariksa Wenchang, Pulau Hainan, Tiongkok selatan. Kapasitasnya setara Delta-IV Heavy dari United Launch Alliance (Amerika Serikat), tetapi melebihi Ariane 5 (Eropa) dan Proton (Rusia).
Roket setinggi 57 meter itu bisa meluncurkan berbagai satelit ke orbit rendah (hingga 2.000 kilometer) atau geostasioner (36.000 km), mengirimkan misi berawak ke stasiun luar angkasa Tiongkok Tiangong-2, serta mempersiapkan pendaratan manusia di Bulan pada 2025 dan pendaratan robot di Mars.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sukses Long March (LM)-5 terasa cepat karena peluncuran LM-1D tahun 1990-an alami sejumlah kegagalan. Teknologi roketnya pun masih sederhana. “LM-1D adalah versi sipil misil balistik antarbenua Dong Feng 4,” tulis Richard A Bitzinger, peneliti di Sekolah Studi Internasional S Rajaratnam, Singapura, di atimes.com, 9 Mei 2016.
Sebelum LM-5, sejumlah roket peluncur seri LM lain yang berukuran lebih kecil sukses meluncur. Sebut saja LM-7 setinggi 53 meter yang membawa Tiangong-2 ke orbit pada 15 September 2016 dan LM-2F yang membawa dua antariksawan Tiongkok (taikonaut) ke Tiangong-2, 17 Oktober lalu.
Kini, menurut kantor berita Xinhua, seperti dikutip forbes.com, 30 Juni 2016, telah lebih dari 230 roket bermuatan Tiongkok diluncurkan. Laporan bbc.com, 17 Oktober 2016, Tiongkok punya 118 satelit di luar angkasa dan menerbangkan 11 antariksawannya sendiri.
“Tiongkok berkembang sangat cepat menjadi pemain utama penjelajahan luar angkasa,” kata Fabio Favata dari direktorat sains Badan Antariksa Eropa (ESA), seperti dikutip theguardian.com, 28 Agustus 2016).
Fokus dan terarah
Anggaran program luar angkasa Tiongkok tak terbatas. Tiap tahun, Tiongkok menganggarkan 2,2 miliar dollar AS (Rp 29 triliun) untuk mengembangkan program luar angkasanya.
Jumlah itu, satu miliar dollar lebih besar dibanding anggaran program luar angkasa Rusia. Namun, jauh lebih kecil dibanding anggaran program luar angkasa AS sebesar 40 miliar dollar atau Rp 525 triliun.
Meski dana terbatas, kekuatan Tiongkok terletak pada pemilihan program yang cermat dengan tujuan jelas dan berorientasi hasil. Teknologi yang dipilih relatif sederhana, tak seperti AS yang dinilai Bitzinger menyukai teknologi mutakhir.
Di sisi lain, Tiongkok menyadari kekurangannya. Meski AS melarang kerja sama semua lembaga dan perusahaan program luar angkasanya dengan Tiongkok, salah satunya karena alasan militer, Tiongkok tak kecil hati. Negara itu mendekati Eropa dan sekutu lama, Rusia.
Beberapa misi kerja sama Tiongkok dengan ESA adalah misi Cluster mempelajari cuaca antariksa tahun 2000 dan misi Double Star mempelajari interaksi Bumi dan Matahari tahun 2003. “Kedua misi itu berjalan sukses karena menghasilkan lebih dari 2.300 jurnal ilmiah,” kata Christopher Carr dari Imperial College, London, Inggris.
Dengan berbagai keberhasilan itu, Tiongkok kian percaya diri. Kini, mereka membuka diri bagi negara lain, terutama negara berkembang. Pelan tetapi pasti, Tiongkok tak hanya akan menguasai ekonomi dunia, tapi juga luar angkasa, membuktikan lagi kedigdayaannya. (MZW)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 November 2016, di halaman 14 dengan judul “Tiongkok Menggapai Kedigdayaannya”.