Jalan panjang melelahkan itu akhirnya menemukan ujungnya. Setelah melalui 25 studi di 15 negara selama 20 tahun, vaksin dengue pertama di dunia hadir dan menjadi harapan baru dalam perang melawan virus dengue. Beberapa kandidat vaksin dengue lain siap menyusul.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, hampir separuh populasi dunia tinggal di daerah endemis dengue dan 390 juta jiwa di antaranya diperkirakan terinfeksi virus dengue per tahun. Infeksi itu ada yang menimbulkan gejala dan ada yang tidak. Infeksi bergejala 96 juta kasus per tahun, 500.000 diantaranya jadi berat (demam dengue berat atau demam berdarah dengue/DBD) sehingga perlu dirawat. Ada 2,5 persen mereka yang terkena DBD meninggal dunia.
Di Indonesia, sejak ditemukan pertama kali di Jakarta dan Surabaya pada 1968, kasus DBD terus naik. Pertumbuhan populasi pesat, perkembangan kota tak terencana, sanitasi buruk, dan perubahan iklim menambah beban infeksi dengue.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun 2011, ada 65.725 kasus DBD di 374 kabupaten atau kota dengan angka kematian 597 kasus. Pada 2015, angkanya naik jadi 129. 650 kasus di 446 kabupaten atau kota dengan 1.071 kasus kematian.
Data per 12 Oktober 2016 menunjukkan, kasus DBD mencapai 155.927 dengan kematian 1.296 kasus. Jumlah daerah yang terjangkit bertambah menjadi 455 kabupaten atau kota.
Ada 4 serotipe virus dengue, yakni DENV-1;DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Serotipe yang bersirkulasi bisa beda antar negara. Virus yang termasuk famili flavivirus itu menyebar lewat gigitan vektor, umumnya nyamuk Aedes aegypti. Sejak ditemukan lebih dari 60 tahun lalu, belum ada obat untuk mengatasi demam dengue. Pengobatan yang diberikan lebih bersifat meredakan gejala. Karena itu, pencegahan dan pengendalian demam dengue yang efektif adalah mengontrol tempat perkembangbiakan nyamuk sebagai vektornya.
Mengurangi beban
Hadirnya vaksin dengue jadi harapan baru untuk mengurang beban kesakitan, kematian, dan ekonomi akibat virus dengue. Vaksin dengue yang beredar di dunia ialah Chimeric Yellow Fever 17D-Tetravalent Dengue Vaccine (CYD-TDV), digagas produsen farmasi asal Peraneis, Sanofi Pasteur. Vaksin rekombinan hasil rekayasa genetika itu berkhasiat pada 4 serotipe virus dengue (tetravalen) rekombinan.
Bahan dasar CYD-TDV ialah chimera, virus rekombinasi yang dibuat dengan substitusi protein virus pada Virus lain. Pada CYD-TDV, bagian imunogenik virus dengue hidup yang dilemahkan digabungkan bagian nonstruktural dan kapsid (selubung protein) virus yellow fever.
Peneliti Utama Uji Klinis Fase III CYD-TDV dari Indonesia, Prof Sri Rezeki Hadinegoro, Selasa (25/10), di Jakarta, menyampaikan, uji klinis CYD-TDV dilakukan paralel melalui studi CYD14 di Asia Pasifik (Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam) dan CYD15 Amerika Latin (Kolombia, Meksiko, Honduras, Puerto Riko, dan Brasil).
CYD14 melibatkan 10.275 partisipan orang di kelompok umur 2-14 tahun dan CYD15 mengikutsertakan 20.869 partisipan di kelompok usia 9-16 tahun. Keamanan dan efikasi dipantau selama lima tahun sejak
pemberian dosis ketiga.
Hasilnya, di kelompok usia 9-16 tahun vaksin dengue konsisten mengurangi infeksi dengue dengan gejala 65,6 persen, mencegah 80,8 persen kasus rawat inap akibat dengue, mengurangi dengue berat 92,9 persen. Sementara pemberian di kelompok umur di bawah 9 tahun hasilnya tidak konsisten sehingga tidak direkomendasikan.
Efek samping yang muncul, seperti nyeri di area suntikan, bengkak, demam, nyeri kepala, lemah, lesu, dan nyeri otot, dinilai masih terkontrol.
Kini 12 negara di Amerika Latin dan Asia Tenggara memakai vaksin dengue CYD-TDV. Di luar vaksin CYD-TDV, ada sejumlah kandidat vaksin dengue lain menjanjikan. Salah satunya, dari industri farmasi Jepang, Takeda, yang memasuki tahap studi efikasi dalam Tentravalent Immunization against Dengue Efficacy Study (TIDES).
Meski ketinggalan jauh dari negara lain, sebagai, negara dengan beban dengue besar, Indonesia ikut dalam upaya panjang mengembangkan vaksin dengue melalui konsorsium vaksin dengue. Harapannya, dengan konsorsium, pengembangan vaksin bisa lebih cepat. Konsorsium itu terdiri dari lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi, dan PT Bio Farma.
Koordinator Konsorsium Vaksin Dengue, Whinie Lestari, menyampaikan, vaksin dengue yang dikembangkan diambil dari isolat virus dengue strain Indonesia yang baru. Bahan antigen vaksin dikembangkan dengan teknik rekombinan, mengambil bagian protein virus dengue bersifat imunogenik. “Vaksin yang kami kembangkan porcine free atau halal,” ujarnya. Tahun, 2020 diharapkan ada kandidat vaksin tetravalen untuk ditindaklanjuti PT Bio Farma. Riset vaksin dengue lama dan menantang karena harus memberi perlindungan sama pada 4 serotipe virus dengue demi mencegah infeksi sekunder.
Pengembangan vaksin dengue juga jadi prioritas Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga, Surabaya, bekerja sama dengan, lembaga riset asing. Bahkan, TDC mendirikan Natural Product Medicine Research and Development (NPMRD) yang meneliti potensi anti virus dengue dari 30.000 tanaman obat yang hidup di daerah tropis di Indonesia.
Kepala Unit Dengue Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementeriani Riset, Teknologi, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Tedjo Sasmono menambahkan, Lembaga Eijkman punya fasilitas setara laboratorium di luar negeri sehingga hampir semua riset molekuler bisa dikerjakan. Namun, pesatnya perkembangan teknologi menjadikan peralatan perlu selalu diremajakan.
Di Lembaga Eijkman, riset epidemiologi molekuler dan genomik, respons imun pada infeksi virus dengue, pengembangan diagnostik dan vaksin dengue, pengujian bahan alam sebagai anti virus dengue, dan
studi genetik vektor nyamuk Aedes aegypti bisa dilakukan.
Pada Juli 2016, WHO merekomendasikan pemberian vaksin dengue hanya bagi daerah dengan beban penyakit dengue yang tinggi. Selain itu, pemberian vaksin hanya bagian strategi pengendalian dengue yang komprehensif.
Oleo: ADHITYA RAMADHAN, (AHMAD ARIF/DODY WISNU PRIBADI)
Sumber: Kompas, 1 November 2016