Lebih dari separuh penduduk Bumi rentan terserang demam berdarah. Namun, belum ada obat penyakit yang dipicu virus dengue dan disebarkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus itu. Karena itu, pencegahan menjadi penting untuk menghindari penularan dan penyebaran demam berdarah.
Pencegahan yang bisa dipilih adalah pemberian vaksin dengue. Baru ada satu jenis vaksin dengue di dunia, yakni vaksin CYD-TDV (Chimeric Yellow Fever 17D-Tetravalent Dengue Vaccine). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyetujui penggunaan vaksin produksi raksasa farmasi Perancis, Sanofi Pasteur, itu April lalu bagi warga daerah endemis.
”Butuh 20 tahun untuk meneliti vaksin CYD-TDV. Proses uji klinis melibatkan 40.000 responden di 15 negara,” kata Kepala Divisi Vaksin Sanofi Indonesia Joko Murdianto di Jakarta, Senin (31/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti utama studi klinis fase III vaksin CYD-TDV di Indonesia, yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sri Rezeki Hadinegoro menambahkan, dari hasil uji, efikasi atau khasiat vaksin dengue pada pasien umur 9-16 tahun mencapai 65,6 persen. ”Vaksin menekan 80,8 persen kasus perawatan demam dengue dan kasus dengue berat 92,9 persen,” katanya.
Vaksin itu dipakai di 12 negara, antara lain Meksiko, Filipina, Brasil, Thailand, Singapura, dan Indonesia. Vaksin dipasarkan di Indonesia sejak September lalu. Filipina dan Parana, negara bagian Brasil, memasukkan vaksin itu pada program imunisasi wajib.
Pasar besar
Demam berdarah jadi masalah besar global. WHO menyebut, 3,9 miliar orang di Iebih dari 100 negara tinggal di daerah endemis. Tiap tahun, 390 juta orang terinfeksi dengue dan 2,5 persen pasien meninggal. Jumlah warga berpotensi terkena demam berdarah akan bertambah seiring meluasnya dampak pemanasan global dan adaptasi nyamuk.
Di Indonesia, tiap tahun ada 120.000-170.000 kasus demam berdarah atau keenam tertinggi di dunia, dengan angka kematian 1 persen atau tertinggi kedua setelah Brasil. Kerugian ekonomi per tahun Rp 3, 9 triliun.
Banyaknya warga rentan, tingginya angka kasus, dan beban ekonomi ditimbulkan membuat kebutuhan vaksin dengue tinggi. Maka, banyak negara, lembaga riset, dan perusahaan farmasi meneliti vaksin dengue.
Pihak WHO menyebut, ada Iima kandidat vaksin dengue lain diuji klinis. Lembaga yang meneliti antara lain Badan Riset dan Peralatan Medis Angkatan Darat Amerika Serikat, Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS, serta Hawaii Biotech dan Inviragen Inc.
Riset di dalam negeri
Di Indonesia, peneliti tak mau ketinggalan. Sejak 2013, digagas Konsorsium Vaksin Dengue (KVD) beranggotakan sejumlah lembaga riset, perguruan tinggi, dan PT Bio Farma yang akan menjadikan hasil riset berskala industri melakukan uji klinis, dan memproduksinya.
Koordinator KVD yang juga peneliti Pusat Penelitian Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Kementerian Kesehatan Whinie Lestari menjelaskan, pengembangan vaksin dengue perlu 15-20 tahun. Prosesnya rumit karena sifat dinamis virus yang jadi subyek riset. ”Vaksin harus memberi perlindungan sama bagi empat serotipe (jenis) virus dengue yang ada, ” katanya.
Manajer Integrasi Proyek Divisi Riset Bio Farma Neni Nurainy menambahkan, proses riset vaksin dengue tahap awal mencari bibit vaksin tepat. Tujuannya, vaksin harus aman, efikasi lebih dari 80 persen, dan konsisten saat diproduksi pada skala industri. ”Targetnya, prototipe vaksin ada pada 2020,”ucapnya.
Namun, pengembangan vaksin dengue di Indonesia kalah tertinggal dibanding negara lain. Kepala Unit Dengue Lembaga Biologi Melekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tedjo Sasmono menilai, dari publikasi ilmiah vaksin dengue, Indonesia tertinggal dari Thailand dan Singapura.
Infrastruktur dan teknologi pendukung riset jauh ketinggalan dibandingkan negara lain. ”Pencarian vaksin dengue jadi perlombaan perusahaan multinasional dan itu butuh dana besar,” ucap Deputi Direktur Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo Supolo. Hal itu diperparah dana riset terbatas dan kerap terlambat. Akibatnya, peneliti harus menunda membeli alat dan bahan riset serta memanfaatkan alat riset lembaga lain. Itu mengancam keberlangsungan riset dengue.
Namun, Neni yakin Indonesia bisa bersaing dengan riset vaksin dengue lebih maju. ”Butuh dukungan besar Kemenkes, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dokter spesialis anak bagi uji klinis vaksin dengue,” ucapnya. (ADH/ODY/SEM/AIK/MZW)
—————
Sejumlah Riset Demam Dengue (2016)
Sel imun Pembunuh Virus
Tim peneliti dari Emory Vaccine Center di Amerika Serikat, peneliti dari India dan Thailand, menemukan manfaat baru sel imun CD 8 T, yakni bisa melawan infeksi virus dengue. Sel CD 8 merangsang munculnya protein cytokin yang bisa membunuh sel terinfeksi virus dengue.
Partikei Nano untuk AntiBodi
Peneliti dari laboratorium Aravinda de Silva, dan Universitas Carolina, AS menciptakan partikel nano berbagai berbagai bentuk dan ukuran dengan teknologi tertentu yang bisa menjadi antibodi virus dengue pada tikus percobaan.
Vaksin untuk Dengue
Sanofi Pasteur, anak perusahaan farmasi asal Perancis, Sanofi, memproduksi satu-satunya vaksin dengue saat ini. Vaksin ini diterima di 12 negara, di antaranya Indonesia, Thailand, Singapura, Meksiko, Filipina, Brasil, Guatemala, dan Peru
Vaksin Dengue di Indonesia
Sejak 2013 konsorsium vaksin dengue di Indonesia sedang mengembangkan vaksin dengue dari isolat semua serotipe virus dengue lokal yang relatif baru.
Sumber: Kompas, 1 November 2016