Menyimak Keberhasilan China di Antariksa

- Editor

Selasa, 29 November 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

KESUKSESAN pesawat antariksa Shenzhou VIII melakukan pengaitan dengan modul laboratorium antariksa Tiangong-1 pada 3 November lalu, seolah menjadi bukti kedigdayaan negara China sebagai negara superpower baru. Tidak cukup dengan meraih gelar superpower di bidang militer dan ekonomi, tapi juga di bidang antariksa.

Dunia memang sedang dibuat kagum dengan pencapaian China dalam teknologi antariksanya. Dulu dunia hanya mengenal AS dan Rusia sebagai dua negara yang mampu menjelajahi dan ”menguasai” antariksa. Namun secara berangsur-angsur anggapan itu mulai ditinggalkan. Sedikit demi sedikit Negeri Tirai Bambu ini mulai mengejar ketertinggalannya.

Dan tentunya yang paling kentara adalah pada tahun 2003 lalu, negara berpenduduk terbanyak di dunia ini berhasil mengirim taikonot (sebutan China untuk astronaut) pertamanya ke antariksa. Sekaligus menjadikan negara itu sebagai negara ketiga setelah Amerika Serikat dan Rusia yang mampu mengirimkan manusia ke luar angkasa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berbicara mengenai teknologi antariksa China, tentunya tak bisa lepas dari nama Qian Xuesen. Dialah perintis teknologi roket China dan dikenal sebagai bapak program teknologi antariksa China. Qian Xuesen memulai program luar angkasa China pada tahun 1950-an. Berkat kerja kerasnya, China berhasil meluncurkan satelit pertamanya, Dong Fang Hong 1, pada tanggal 24 April 1970 dengan menggunakan roket Long March 1F. Peristiwa inilah yang kemudian menobatkan China sebagai negara kelima yang mampu meluncurkan satelitnya sendiri.

Long March

Roket Long March (di China dikenal dengan nama Chang Zheng) merupakan hasil modifikasi dari rudal balistik antarbenua (intercontinental ballistic missile -ICBM) jenis Dong Feng (Angin Timur) milik China. Roket inilah yang menjadi andalan China, baik untuk peluncuran satelit maupun pesawat antariksa. Sampai saat ini, China telah mengembangkan roket Long March seri 1 hingga seri 4.

Setelah menguasai teknologi antariksa (roket dan satelit), China mulai aktif memasarkan wahana peluncur satelitnya ke pasar komersial. Pasar peluncuran satelit untuk tujuan komersial memang dikenal keras. Selain China, tercatat di segmen ini ada negara-negara seperti AS, Rusia, Konsorsium Eropa, India dan Jepang yang saling berebut bisnis peluncuran satelit.

Sama halnya dengan produk-produk teknologinya yang dikenal murah meriah, mulai dari telepon genggam, komputer, laptop, TV, hingga produk otomotif, China pun memasang tarif murah bagi pihak yang memanfaatkan jasa peluncuran satelitnya. Tarif peluncuran yang murah dan teknologi peluncuran satelit yang memadai, tentunya menjadi keunggulan tersendiri.

Tepatnya pada tahun 1990, China mulai memasuki pasar internasional peluncuran satelit, dengan berhasil meluncurkan satelit AsiaSat 1 sampai ke orbit GTO (Geostationary Transfer Orbit). Peluncuran satelit AsiaSat 1 ini menggunakan roket Long March 3. China memasarkan teknologi antariksanya melalui China Great Wall Industry Corporation (CGWIC). Perusahaan inilah yang juga dipilih oleh PT Indosat Tbk untuk meluncurkan satelit komunikasi Palapa-D pada 2009 silam.

Setelah malang melintang di jasa peluncuran satelit, tak membuat China cepat berpuas diri. China tetap terus mengembangkan teknologi antariksanya. Ambisi berikutnya adalah memiliki sebuah stasiun antariksa berawak buatan sendiri yang rencananya beroperasi penuh pada tahun 2020. Tekad ini dilatarbelakangi oleh penolakan AS terhadap keinginan China untuk ikut bergabung dengan Stasiun Antariksa Internasional (International Space Station). Dengan bekal teknologi yang dimiliki, China akhirnya memutuskan untuk mengembangkan stasiun antariksanya sendiri.

Sebagai langkah awal, China meluncurkan modul laboratorium antariksa tak berawak Tiangong-1 (Istana Surga-1) pada tanggal 29 September. Kemudian disusul dengan peluncuran pesawat antariksa tanpa awak Shenzhou VII pada 1 November lalu.

Seperti diberitakan Harian Suara Merdeka, Rabu (2/11), bahwa pesawat antariksa tanpa awak Shenzhou VIII diluncurkan dengan bantuan roket Long March 2F yang dimodifikasi dari pusat antariksa (space center) Jiuquan di Provinsi Gansu. Tujuan dari peluncuran ini adalah untuk melakukan uji coba pengaitan Shenzhou-VIII dengan Tiangong-1.

Proses pengaitannya sendiri, sebagaimana diumumkan Komandan Umum Proyek Penerbangan Antariksa Berawak China Chang Wanquan, yang dikutip China Radio International (3/11), berlangsung lancar. Sekaligus mencatatkan China sebagai negara ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Rusia yang mampu menguasai teknologi docking di antariksa.

Teknologi antariksa bukanlah teknologi yang bisa dikuasai secara instan, China membutuhkan lebih dari 40 tahun untuk bisa menjadi seperti sekarang ini. Apa yang telah dilakukan China tentunya membuka mata negara-negara lain tentang pentingnya pengembangan teknologi keantariksaan. Negara-negara seperti India, Jepang, Iran, dan Korea Selatan juga tak mau ketinggalan, telah mengembangkan kemampuannya dalam penguasaan teknologi antariksa dengan membangun roket dan satelit secara mandiri.

Tertinggal

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Terus terang, Indonesia sebenarnya sudah sejak lama mengembangkan teknologi roket. Pada 14 Agustus 1964, melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Indonesia berhasil meluncurkan roket Kartika 1, yang merupakan roket buatan sendiri, sehingga tercatat sebagai negara kedua (setelah Jepang) di Asia, yang berhasil meluncurkan roketnya sendiri.

Sayangnya teknologi peroketan yang dirintis oleh Indonesia itu terhenti. Akibatnya, teknologi roket Indonesia tertinggal jauh jika dibandingkan dengan China, India dan Jepang. Tiga negara Asia ini memang dikenal sangat konsisten dan memiliki komitmen yang kuat dalam mengembangkan teknologi peroketannya.

Indonesia walaupun telah lama menggunakan teknologi antariksa, tetapi belum sepenuhnya menguasai teknologi ini. Hal itulah yang mendasari LAPAN untuk segera merealisasikan roket peluncur satelit buatan sendiri. Apalagi Pemerintah telah mendorong LAPAN untuk mengembangkan  roket RX-550 (diameter 550 mm) yang merupakan bagian dari roket pengorbit satelit RPS-01. Harapan ke depannya, roket buatan LAPAN ini bisa segera diwujudkan, sehingga bisa menjadi kebanggan kita semua. Karena terus terang negeri ini begitu haus akan kebanggan di bidang teknologi. (24)
–Yudi Supriyono, pemerhati pertahanan dan dirgantara.

Sumber: Suara Merdeka, 7 November 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB