Mengapa Bumi Berlimpah Air?

- Editor

Selasa, 29 November 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SALAH satu hal yang membedakan bumi dibanding planet-planet terestrial ”tetangganya” adalah ketersediaan air dalam jumlah melimpah. Tujuh puluh persen wajah bumi ditutupi air yang hampir seluruhnya menempati sebuah badan air tunggal, meski kita secara administratif membaginya ke dalam empat samudra berbeda.

Air yang berlimpah dalam wujud cair merupakan faktor vital pendukung kehidupan. Delapan puluh persen tubuh makhluk hidup, termasuk manusia, tersusun dari air sebagai penunjang metabolisme. Air juga memungkinkan siklus karbon berlangsung, dalam rupa transfer karbondioksida di atmosfer menjadi sedimen karbonat dasar laut dan sebaliknya. Demikian pula daur hidrologis yang menghasilkan cuaca. Penguraian air di dalam butir-butir hijau daun (klorofil) menghasilkan emisi gas oksigen yang sangat diperlukan untuk pernapasan makhluk hidup aerob, termasuk manusia. Maka dapat dikatakan, tanpa keberadaan air, kehidupan takkan bisa bertahan.

Namun demikian, secara astronomis, keberadaan air di bumi adalah sebuah keajaiban semesta. Dalam masa purba tata surya, air tak mungkin bertahan di bumi meskipun dalam bentuk gas (uap air). Sebab pada saat itu, matahari masih berada dalam fase T-Tauri yang ganas, yang meradiasikan angin matahari dan intensitas panas jauh lebih tinggi dibanding kini. Diperkirakan suhu permukaan bumi saat itu sebesar 2.000 derajat Celcius, alias sepanas besi cair. Sementara embusan angin matahari yang sangat kuat menyebabkan semua senyawa gampang menguap (volatil) seperti air, hidrogen, helium, metana, amoniak, nitrogen, karbon monoksida dan karbondioksida terusir dari permukaan bumi dan planet-planet terestrial lainnya bersama sisa gas dan debu pembentuk tata surya. Pada saat itu, air hanya eksis pada jarak minimal 600 hingga 750 juta km dari matahari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Maka, mengapa kini Bumi demikian berlimpah dengan air?

Pinggiran

Di awal tata surya, air sebenarnya ada dan berlimpah, namun dalam bentuk bekuan abadi (permafrost) yang tersimpan pada kometisimal (bakal komet) di pinggiran tata surya. Kometisimal tersebut terorganisasi dalam dua kawasan berbeda: sabuk Kuiper-Edgeworth dan awan komet Opik-Oort.

Sabuk Kuiper-Edgeworth adalah cakram pipih menyerupai sabuk Asteroid yang merentang dari orbit Neptunus hingga sejauh 7 miliar km dari Matahari. Sabuk Kuiper-Edgeworth berisi 1 sampai 10 miliar kometisimal dengan total massa setara 20 % massa bumi.

Pluto, yang dulu dianggap sebagai planet kesembilan, kini dikategorikan sebagai salah satu benda Kuiper-Edgeworth yang berukuran besar bersama dengan Eris (ditemukan tahun 2003). Sementara awan komet Opik-Oort merupakan kawasan globular (menyerupai bola) yang merentang antara 300 hingga 7.500 miliar km dari Matahari dan mengandung 1.000 hingga 10.000 miliar kometisimal dengan total massa antara 20 hingga 40 massa bumi.

Bila sabuk Kuiper-Edgeworth adalah sumber komet berperiode pendek (periode  < 200 tahun), maka awan komet Opik-Oort adalah sumber komet berperiode panjang (periode > 200 tahun), komet parabolik (komet dengan orbit parabola) dan komet hiperbolik (komet dengan orbit hiperbola).

Dengan deposit air di kawasan pinggiran tata surya, maka satu-satunya mekanisme yang mampu membawanya ke bumi adalah tumbukan komet. Peristiwa tumbukan komet memang melepaskan energi sangat besar disertai kenaikan suhu sangat tinggi pada titik tumbuknya. Namun distribusi kenaikan suhu tidaklah homogen, sehingga di tepiannya memungkinkan air dalam komet tetap eksis dan hanya berubah wujud dari semula berupa padatan (es) menjadi gas (uap air).

Bila tumbukan komet berlangsung secara terus-menerus dalam selang waktu tertentu, terjadi akumulasi uap air di bumi. Dan setelah tumbukan usai, sehingga suhu permukaan bumi menurun, terjadilah kondensasi uap air yang membentuk air cair.

Kuiper-Edgeworth

Mendekatnya komet Hartley 2 ke matahari setahun lalu menyajikan pengetahuan baru, air di bumi kemungkinan besar dihantarkan oleh komet-komet berperiode pendek, sehingga berasal dari kawasan sabuk Kuiper-Edgeworth. Pemahaman ini diperoleh dengan membandingkan sidik jari air di bumi terhadap air di komet Hartley 2.

Sidik jari air adalah rasio antara atom deuterium terhadap atom Hidrogen dalam air. Atom deuterium dikenal pula sebagai Hidrogen berat, karena inti atomnya tersusun oleh 1 buah proton dan 1 buah neutron. Sementara pada atom hidrogen, inti atomnya hanya berupa 1 buah proton. Jika bersenyawa dengan atom oksigen, atom deuterium akan membentuk air berat sementara atom hidrogen membentuk air ringan.

Air di bumi mengandung 1.558 buah atom deuterium dalam tiap 10 juta atom hidrogen. Observasi sebelumnya terhadap lima buah komet yang pernah mendekati matahari dan diduga berasal dari awan komet Opik-Oort menunjukkan, air pada komet-komet itu memiliki sidik jari berupa 2.960 buah atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Ini nyaris dua kali lipat sidik jari air di bumi, sehingga air di bumi tidaklah berasal dari awan komet Opik-Oort.

Namun observasi komet Hartley 2 menyajikan hasil berbeda. Menggunakan teleskop landas bumi Herschel, khususnya melalui instrumen Heterodyne Instrument for the Far Infrared, diketahui bahwa sidik jari air komet Hartley 2 adalah 1.610 atom deuterium dalam tiap 10 juta atom hidrogen. Ini nyaris identik dengan sidik jari air di bumi. Dan karena komet Hartley 2 berasal dari sabuk Kuiper-Edgeworth, maka dapat disimpulkan air di bumi memang berasal dari sabuk Kuiper-Edgeworth.

Hantaman Besar

Penemuan ini membawa langkah maju dalam merekonstruksi asal-usul air di bumi. Di masa awal tata surya setelah planet-planet terbentuk, terjadilah periode paling riuh tatkala planet-planet gas raksasa (yakni Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus) mengalami migrasi dari lokasi pembentukannya. Jupiter purba mengalami migrasi ke dalam (lebih mendekati matahari) sehingga memaksa sebagian planetisimal yang berada di antara Mars purba dan Jupiter purba mengorganisasi diri membentuk sabuk Asteroid.

Sebaliknya Saturnus, Uranus dan Neptunus purba menjalani migrasi keluar (lebih menjauhi matahari), memaksa kometisimal-kometisimal di dekatnya terlempar. Sebagian dipaksa mengorganisasi diri membentuk sabuk Kuiper-Edgeworth dan awan komet Opik-Oort. Namun sebagian lainnya dipaksa terbang menuju kawasan tata surya bagian dalam. Bagi bumi purba, periode ini disebut periode Hantaman Besar (Heavy Bombardment), yang berlangsung pada 4,2 – 3,8 miliar tahun silam.

Pada periode inilah kometisimal-kometisimal yang terlempar itu berduyun-duyun menumbuk bumi. Jumlah tumbukan komet per satuan waktu sangat besar, hingga sejuta kali lipat atau lebih dibanding angka sekarang. Hantaman Besar menyebabkan Bumi secara akumulatif menerima massa 280 triliun ton komet dengan sedikitnya 70 triliun ton di antaranya adalah air dalam bentuk uap.

Tatkala Hantaman Besar telah usai, dengan ukuran planet yang besar serta terbentuknya magnetosfer yang kuat, uap air di bumi mampu tersekap demikian lama untuk kemudian berkondensasi menciptakan hujan abadi yang membentuk samudra pertama (Panthalassa).

Magnetosfer menjaga air samudra ini tidak terusir ke angkasa, seperti yang terjadi pada planet Mars purba, sekaligus menjadi payung pelindung sengatan angin matahari sehingga kehidupan mampu tumbuh dan berkembang. Inilah yang membuat bakteri pertama mampu hidup dan berkembang biak dengan pesat merajai samudra pada 3,5 miliar tahun silam. (24)

Oleh Muh Ma’rufin Sudibyo

Sumber: Suara Merdeka, 14 November 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB