Keahlian Bidang Bisnis Berlebih
Kesenjangan lulusan SMK masih terjadi antara jumlah lulusan dan kebutuhan masyarakat. Lulusan SMK bidang kelautan dan perikanan tahun 2016, misalnya, hanya 17.249 orang, sedangkan kebutuhan tenaga kerja untuk bidang tersebut mencapai 3.364.297 orang.
Kesenjangan lulusan SMK juga terlihat di bidang agribisnis dan agroteknologi. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Oktober 2016, ada kebutuhan tenaga kerja level SMK di bidang tersebut sebanyak 445.792 orang, sedangkan lulusan SMK yang tersedia hanya 52.319 orang.
Peluang kebutuhan tenaga kerja di bidang pariwisata tercatat 707.600 orang, tetapi pada 2016 jumlah lulusan SMK di bidang ini hanya 82.171 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebaliknya, jumlah lulusan SMK bidang bisnis dan manajemen membeludak. Peluang kebutuhan tenaga kerja bagi bidang ini hanya 119.255 orang, sedangkan lulusan yang dihasilkannya 348.954 orang.
Praktisi pendidikan E Baskoro Poedjinoegroho di Jakarta, Senin (17/10), mengatakan, perkembangan SMK yang tanpa arah itu bisa terjadi karena bangsa Indonesia cenderung ingin secepat mungkin menjawab masalah-masalah teknis semata.
“Kita tidak pernah masuk ke dalam untuk menemukan alasan mendasar mengapa kita harus memperbanyak SMK,” ujarnya.
Pembina Kolese Kanisius Jakarta itu mencontohkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK. Inpres ini dinilainya semata-mata bertujuan agar anak muda tidak menganggur dan Indonesia memiliki daya saing. “Kita seharusnya menemukan hal mendasar mengapa memunculkan SMK untuk negeri ini,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2015, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK tertinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran di kalangan lulusan jenjang pendidikan lain. Tingkat pengangguran di antara lulusan SMK mencapai 9,05 persen. Ada 1,2 juta lulusan SMK menganggur pada periode itu.
Pada Februari 2016, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK bertambah menjadi 9,84 persen (1,35 juta orang). Persentase pengangguran di antara lulusan SMA adalah 6,95 persen, sedangkan tingkat pengangguran di kalangan lulusan diploma satu hingga diploma tiga adalah 7,22 persen (Kompas, 17/10).
Pemerintah tengah berupaya meningkatkan jumlah rasio SMK terhadap SMA menjadi 55:45 hingga 60:40. Saat ini, rasio SMK terhadap SMA hampir mencapai 50:50. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekarang ada 13.552 SMK. Sebagian besar di antaranya SMK swasta, yakni 10.084 sekolah. Sisanya, 3.468 sekolah, merupakan SMK negeri.
Tidak menambah
Marlock, Koordinator Lapangan Forum Peduli Pendidikan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia, mengatakan, memajukan SMK tidak dilakukan dengan menambah jumlah sekolah dan siswa tingkat SMK. “Tingkatkan mutu SMK yang sudah ada, mulai dari mutu guru, sarana prasarana, hingga serapan tenaga kerja ke industri,” katanya.
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang terlibat dalam penelitian kebijakan pendidikan, mengatakan, kepuasan perusahaan mempekerjakan SMK semakin membaik dibandingkan dengan delapan tahun lalu. Namun, pengembangan SMK mutlak dilakukan agar lulusannya dapat memenuhi dinamika di dunia usaha dan pembangunan.
Agus Sartono, Deputi Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mengatakan, untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK, pelibatan industri menjadi keharusan. Kehadiran dunia industri diperlukan terutama dalam hal penyediaan kesempatan magang. Tiap tahun, ada 1,3 juta lulusan SMK dan politeknik. Namun, diperkirakan hanya tersedia sekitar 500.000 kesempatan magang di perusahaan.
Belum sesuai standar
Direktur Pengembangan Bisnis Pusat Pelatihan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo Training Centre/ATC) Aditya Warman mengatakan, kompetensi lulusan sekolah menengah kejuruan selama ini belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan dunia industri. “Akhirnya, belakangan industri proaktif ikut menyiapkan lulusan siap kerja ke sekolah-sekolah kejuruan,” ucapnya.
Menurut dia, ada beberapa perusahaan, misalnya Astra Honda Motor dan Astra Daihatsu Motor, yang menyumbang mesin berikut sistemnya ke sekolah kejuruan bidang otomotif dengan spesifikasi selaras kebutuhan pabrik. “Ini dapat menjadi model vokasional berbasis kebutuhan industri,” kata Aditya.
Menurut Ketua Komite Tetap Bidang Industri Logam, Mesin, dan Alat Transportasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia I Made Dana Tangkas, keterampilan yang diajarkan dan dilatih di bangku sekolah seharusnya sama dengan yang dibutuhkan di dunia kerja. “Apabila terjadi ketidakcocokan, dunia kerja akan melakukan pelatihan ulang agar yang bersangkutan dapat bekerja sesuai kompetensi yang diharapkan,” katanya.
Problem pendanaan menjadi tantangan terbesar bagi SMK untuk meningkatkan keahlian siswa. Kepala SMK Agronomi Al Madaniyah Nanang Budiman di Tasikmalaya, Jawa Barat, mengatakan, sekolah ini didirikan pada 2010 agar anak-anak petani gurem dapat menjadi petani penuh inovasi. Namun, sampai sekarang, sekolah itu belum memiliki fasilitas yang sangat diperlukan, antara lain laboratorium pertanian.
Mengandalkan uang sekolah siswa, kata Nanang, jelas tidak mungkin. Sejak awal, sekolah tidak pernah menarik uang sekolah pada siswa. Sebagian siswa berasal dari keluarga tidak mampu. (ELN/CHE/CAS)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2016, di halaman 1 dengan judul “Kesenjangan Lulusan SMK Masih Terjadi”.