”Beliau adalah profesor burung,” kata Ketua Panitia Seleksi Penerima Habibie Award 2011 Prof Ing Wardiman Djojonegoro di Jakarta, 10 November 2011. Saat itu, ia mengumumkan Soekarja Somadikarta sebagai salah seorang peraih Habibie Award.
Namun, Soma, demikian ilmuwan berusia 81 tahun ini disapa, adalah profesor burung dalam arti sebenarnya. Ia tulen guru besar ornitologi, cabang ilmu biologi, yang mempelajari seluk-beluk satwa burung.
Sebagai spesialis taksonomi (pengklasifikasian), Soma meneliti segala macam burung, terutama jenis-jenis burung yang hidup di Indonesia. Setiap jenis burung dicermati dan dicatat ciri-cirinya untuk kemudian ia masukkan dalam sistem klasifikasi yang berlaku baku dalam ilmu biologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Soma termasuk peneliti konvensional yang mengklasifikasikan jenis- jenis burung hanya atas dasar ciri-ciri morfologis atau ciri-ciri fisik yang kasatmata. Dibandingkan dengan pada masa awal ia terjun ke dunia biologi lebih dari setengah abad lalu, metode dan teknik penelitian burung kini sudah maju. Selain didasarkan pada ciri-ciri fisik, penetapan kategori burung juga didasarkan pada hasil penelitian (deoxyribonucleic acid/ DNA).
Pada usia senjanya, Soma masih tetap mengikuti perkembangan serta mencermati hasil-hasil penelitian mutakhir. Sejumlah hasil penelitian DNA yang dilakukan para peneliti generasi lebih muda ternyata mengonfirmasikan kebenaran hasil penelitian yang ia lakukan secara konvensional puluhan tahun sebelumnya.
Kapok jadi tentara
Lelaki kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini di awal zaman revolusi 1945, dalam usia 15 tahun, bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), Soma ditetapkan sebagai anggota hingga berpangkat sersan, yang bertugas di daerah Bandung Selatan.
Namun, setelah SMP Bandung dibuka kembali di daerah Perkebunan Teh Kertasari, Bandung Selatan, Soma diizinkan bersekolah lagi.
Kejadian traumatik saat berperang membuat Soma jatuh sakit dan tak sanggup lagi ikut berperang. Ia dihantui rasa bersalah karena menembak mati orang lain. ”Saya jadi sadar dan tahu benar bahwa menjadi tentara bukan pekerjaan saya,” katanya.
Selanjutnya, Soma memilih menjadi tenaga bantu medis di sebuah balai pengobatan, tak jauh dari daerah pertempuran. Pada tahun 1949 Soma diterima sebagai mahasiswa jurusan Biologi di Sekolah Lanjutan Tinggi (SLT), Jakarta. SLT adalah cikal bakal Universitas Nasional, perguruan tinggi kaum Republiken yang didirikan sebagai tandingan Universiteit van Indonesie yang dikuasi Belanda.
Anggota kehormatan
Gelar doktor Soma raih sepuluh tahun kemudian, saat ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di Freie Universitat, Berlin Barat. Disertasinya tentang pacet (Haemadipsa), binatang kecil pengisap darah yang banyak terdapat di hutan-hutan tropis Indonesia.
Bidang ornitologi baru didalami Soma saat ia menjadi Pejabat Kepala Museum Zoologicum Bogoriense (Museum Zoologi Bogor), 1962-1971. Waktu itu ada program tugas belajar bagi para peneliti yang bekerja di museum tersebut. Semua bidang studi biologi yang ditawarkan sudah dipilih anggota staf lain.
”Hanya, ornitologi tak ada yang memilih. Sebagai pimpinan, saya mengalah dan menerima tugas itu,” katanya.
Soma pun kemudian berangkat ke Amerika Serikat, ke museum koleksi satwa burung milik Smithsonian Institution di New York. Dia belajar sambil bekerja sebagai peneliti tamu Dewan Penelitian Nasional AS.
Sejak itu, Soma tak pernah berpisah lagi dengan ilmu biologi, khususnya taksonomi burung. Ia selalu hadir dalam berbagai fora ilmiah ornitologi internasional.
Mahasiswa bimbingannya tak hanya berasal dari Universitas Indonesia, tempatnya menjadi guru besar. Ia juga menjadi guru bagi mahasiswa serta calon master dan doktor di berbagi perguruan tinggi lain, baik di dalam maupun di luar negeri.
Prestasi dan dedikasinya yang luar biasa menjadikan Soma dihormati masyarakat ornitologi internasional. Persatuan ahli ornitologi Inggris, British Ornithologists’ Union, misalnya, menjadikannya salah seorang anggota kehormatan, yang seluruhnya hanya berjumlah 20 orang. Penghargaan serupa ia dapat dari beberapa organisasi ilmiah lain yang juga bergengsi, termasuk dari American Ornithologists’ Union.
Pada tahun 2006 Soma terpilih pula sebagai Presiden Kehormatan International Ornithological Congress (Kongres Ornitologi Internasional) yang diselenggarakan di Campos do Jordao, Brasil.
Entah kenapa, Soma justru tak dijadikan anggota kehormatan Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU), organisasi profesi ornitologi Indonesia yang notabene ikut ia dirikan.
Pengakuan lain atas jasa-jasanya diberikan dalam bentuk penamaan burung. Pada tahun 1997 tim peneliti Universitas Indonesia menemukan jenis burung baru di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Jenis burung dari keluarga Zosteropidae atau burung kacamata itu kemudian resmi diberi nama ilmiah Zosterops somadikartai.
Rendahnya penghargaan terhadap profesi peneliti di Indonesia membuat tak banyak sarjana yang memilih profesi itu. ”Apalagi jadi peneliti burung yang dianggap tak bisa menghasilkan uang,” ungkap Soma.
Akibatnya, meski Indonesia sudah lebih dari 60 tahun merdeka, hingga saat ini Somadikarta masih menjadi satu-satunya guru besar ornitologi yang dimiliki negeri ini.
Padahal, Indonesia memiliki sekitar 1.500 spesies burung; yang lebih kurang 600 di antaranya adalah spesies endemik di negeri kita.
Somadikarta memang dikenal sebagai ilmuwan yang teliti dan berdaya pengamatan tajam. Karena itu, rasanya tak berlebihan jika kita menyebutnya ”Profesor Burung Bermata Elang”….
(Mulyawan Karim)
Sumber: Kompas, 26 November 2011