Sejarawan dituntut menulis. Karena itu, Sri Margana (47) tak lelah menulis pengetahuannya terkait sejarah, terutama sejarah Jawa dari periode kolonial hingga masa awal Islam. Beragam buku sejarah karyanya menjadi gudang referensi. Menguasai bahasa Belanda kuno dan paleografi tulisan Belanda abad ke-17, Margana terkoneksi langsung dengan sumber sejarah, terutama dari negeri Belanda.
Sejarawan dituntut menggunakan semua sumber yang ada. Mengombinasikan sumber lokal dengan yang ada. Sejarah periode kolonial, ya, terpaksa sumber dari kolonial. Tetap harus ada kritik sumber. Sama-sama ada biasnya karena sumber ditulis oleh manusia yang dilingkupi politik, agama, ideologi, dan macam-macam,” kata Margana ditemui di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Senin (22/8).
Di UGM, Margana menjabat Ketua Departemen Sejarah merangkap Kepala Program Studi S-2. Selain aktif mengajar, Margana juga menulis banyak buku, seperti Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial yang bicara tentang tradisi intelektual yang muncul di keraton dan bagaimana kolonialisme memengaruhi pemikiran para intelektual di keraton. Ada pula buku lain, seperti Ratu Adil, Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menjumpai Margana selalu membawa titik terang untuk menjelaskan fenomena masa kini yang selalu terkait dengan kejadian masa lampau. Jika sebelumnya kami memperoleh banyak pencerahan ketika peliputan Ekspedisi Kuliner, kali ini kami menimba banyak ilmu untuk peliputan Selisik Batik.
“Perhatian sejarawan enggak hanya satu. Bisa beberapa hal dalam saat bersamaan. Dituntut serba tahu menuntut kita melakukan banyak hal,” tambahnya.
Dengan sarana buku Kraton Surakarta dan Yogyakarta: 1769-1874, Margana menjelaskan beragam aturan khusus di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Aturan itu mencakup pengaturan tentang motif batik yang boleh atau tidak boleh dipakai oleh kerabat keraton dan abdi dalem. Aturan yang antara lain dibuat pada masa Paku Buwono III (1749-1788) itu terutama untuk mempertegas hierarki.
Keinginan mempertegas hierarki itu bisa dilacak akarnya hingga masa ketika Kerajaan Mataram didirikan. “Mataram didirikan oleh Pemanahan yang berasal dari dinasti petani yang hidup di lingkungan agraris lalu menjadi bangsawan. Dengan begitu, dia ingin menegaskan kedudukannya secara struktural dengan berbagai cara. Penegasan kekuasaan salah satunya dengan pakaian,” kata Margana yang menyebut ada sekitar seribu Rijksblad atau undang-undang yang dibuat keraton dan harus dikonsultasikan ke Pemerintah Belanda dari abad ke-19 yang tersimpan di Belanda.
Naskah kuno
Sebagai sejarawan yang meraih gelar doktor dari Universitas Leiden, ia memang punya kekayaan sumber referensi, terutama dari naskah-naskah kuno yang tersimpan di Belanda. “Sumber selalu bercampur degan persepsi penulis. Apa dia kredibel otentik? Harus diolah dulu. Semua sumber harus dilihat dan dipertimbangkan baru ditulis ulang,” lanjut Margana.
Ketika memperoleh beasiswa S-3, Margana dituntut menulis sejarah dari abad ke-17 atau ke-18 dengan menggunakan sumber-sumber VOC. Awalnya, Margana mempersiapkan tulisan tentang hubungan keraton dengan pesisir. Namun, topik serupa ditulis rekannya dari Singapura. Semua sumber dari referensi naskah kuno kolonial yang telah dikumpulkan kemudian diwujudkan dalam buku.
Disertasinya kemudian beralih tentang Kerajaan Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Disertasi itu juga telah diterbitkan menjadi buku berjudul Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan, 1763-1813 yang menurut rencana akan digarap menjadi trilogi. Buku pertama mengupas tentang Kerajaan Blambangan di era abad ke-18, buku ke dua mundur ke abad ke-17 terkait Kerajaan Macan Putih dan konflik dengan Keraton Mataram, lalu buku terakhir berkisah tentang era kolonial pada abad ke-19.
Bicara tentang identitas kebudayaan Banyuwangi, buku tersebut juga bicara tentang keunikan batik. Laporan kolonial terkait Blambangan yang masih tersimpan di Belanda mencatat detail pakaian pejabat Blambangan yang dipakai ketika menyambut kompeni di pantai. Dari deskripsi dan narasinya, pembaca bisa membayangkan bahwa itu batik. Litograf Candi Macan Putih di Blambangan juga menggambarkan orang bersila melakukan persembahan dengan ikat kepala dan kain batik.
“Litografi yang dihasilkan VOC dalam setiap ekspedisi seperti militer dan ekonomi sangat penting. Karena belum ada foto, laporan pemimpin ekspedisi selalu disertai litograf. Yang lain adalah peneliti flora fauna. Gambar detail tumbuhan hewan, bukan tidak mungkin muncul litograf orang,” tambah Margana.
Berbicara tentang abad ke-18 di Ujung Timur Jawa, sumber referensi yang dipakai memang lebih banyak berasal dari VOC. Apalagi, pada masa itu-dalam situasi konflik perang-tradisi literasi belum muncul. Orang yang bisa menulis sangat terbatas.
“Kalau sumber enggak diselamatkan di Leiden mungkin enggak bisa diakses lagi. Iklim kita sangat lembab, dokumen gampang rusak. Banyak rayap. Di Belanda cenderung kering. Sangat mendukung menyelamatkan. Mereka juga rajin mengoleksi sumber lokal,” ujarnya.
Tradisi akademik
Kecintaan Margana untuk terus menulis terutama dilandasi tanggung jawabnya kepada anak didik. Dari sekadar kebiasaan menulis sejak kuliah, proses menulis akhirnya menjadi hobi yang membuat ketagihan. Untuk menampung kekayaan referensi sejarah, setiap buku yang ditulis Margana pasti menggunakan ukuran huruf paling kecil.
“Nulis sejarah enggak bisa pendek. Menggali banyak referensi. Seperti menulis Blambangan saja, saya mengumpulkan sumber selama 4 tahun,” kata Margana.
Hasil kerja keras dari penulisan setiap buku ternyata sangat manis. Buku Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan, 1763-1813 saja sudah menghasilkan empat disertasi. “Tahu dari mana? Tiba-tiba saja ada pakar hukum menghampiri saya: Wah, kalau saya enggak dapat buku Pak Margana, disertasi saya enggak selesai. Mengolah sumber sejarah harus telaten, harus hati-hati. Enggak boleh ngarang. Harus berdasarkan fakta. Bukan proses yang pendek,” tambahnya.
Faktor lain yang memicunya untuk terus menulis adalah tradisi akademik yang sangat kuat dipelihara di UGM. Dari beragam seminar, diskusi, kuliah dosen tamu, hingga teladan dari pendahulu pakar sejarawan UGM, seperti sejarawan Kuntowijoyo dan Sartono Kartodirdjo. Mengutip kalimat sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Demikianlah, Margana terus menulis untuk keabadian.
Sri Margana, Dosen FIB UGM–KOMPAS/RIZA FATHONI
DR SRI MARGANA, M HUM, M PHIL
LAHIR:
Klaten, 15 Oktober 1969
PEKERJAAN:
Dosen, Ketua Jurusan dan Ketua Pengelola Program Studi Sejarah Program Pascasarjana FIB UGM
PENDIDIKAN:
S-1 Sejarah UGM
S-2 Sejarah UGM
S-2 Sejarah Universitas Leiden
S-3 Sejarah Universitas Leiden
BUKU (ANTARA LAIN):
2015 Ratu Adil, Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara
2013 Sejarah Nasionalisasi Aset-aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menjadi Perusahaan Nasional
2012 Sang Ratu Adil: Kroniek Kehidupan dan Perjuangan Pangeran Dipanegara, 1785-1855
2012 Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan, 1763-1813
2009 Kota-kota di Jawa: Indentitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial
2004 Kraton Surakarta dan Yogyakarta: 1769-1874
MAWAR KUSUMA
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2016, di halaman 26 dengan judul “Mencatat Sejarah, Menuai Keabadian”.