Prof Abdus Salam; Harga Diri Seorang Muslim

- Editor

Jumat, 29 November 1996

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

”Dunia merugi karena Abdus Salam hanya dapat hidup sekali”.

Kalimat ini ditulis 20 tahun silam, oleh New Scientist (edisi 26 Agustus 1976), tiga tahun sebelum Salam memperoleh Nobel. New Scientist adalah majalah bereputasi tinggi yang diabdikan bagi sains dan teknologi, dan pengaruhnya bagi dunia dan kehidupan umat manusia.

Yang membuat pernyataan itu keluar, adalah rasa hormat sekaligus keprihatinan pada Abdus Salam yang mesti ‘ pontang-panting bergerak dari satu dunia ke dunia lain yang sama-sama dicintainya. Abdus Salam adalah manusia yang hidup di tiga dunia: dunia Iisika teori, dunia Islam, dan dunia kerja-sama internasional. Andai Abdus Salam dapat hidup beberapa kali, dan mengabdikan hidup-hidupnya itu secara total tanpa interupsi masing-masing pada fisika teori, Islam, dan kerja sama intersional, seluruh dunia jelas akan mendapatkan keuntungan besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tentang kontribusi Salam pada fisika teori, tak ada lagi yang perlu diragukan. Hadiah Nobel yang ia bagi bersama dengan Sheldon Lee Glashow dan Steven Wienberg, adalah pengakuan atas kontribusinya dalam menyatukan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah. Penyatuan itu, kini sudah mencapai status touchstone dan disebut sebagai ”model standar” fisika partikel. Yang jarang diketahui orang, beberapa tahun sebelum penyusunan teori medan terpadu di atas, Salam sudah nyaris mendapat hadiah Nobel untuk teori dua komponen neutrino.

Pendirian ICTP (International Centre for Theoretical Physics) di Trieste, Italia, menurut Herwing Schopper, presiden Masyarakat Fisika Eropa, merupakan salah satu pencapaian terbesar abad ini. Bisa dikatakan bahwa pendirian ICTP ini adalah wujud nyata dari obsesi Salam atas pengembangan sains di dunia ke tiga. Sejak lama Abdus Salam menginginkan adanya tempat di mana para fisikawan dunia ketiga dapat terlibat dalam pergulatan sains mutakhir, tanpa harus meninggalkan negerinya sendiri, seperti yang dengan pahit terpaksa harus dialami oleh Salam sendiri.

Di tahun 1951, seusai menggondol PhD-nya pada usia 26, Salam meninggalkan almamaternya University of Cambridge, menuju tanah yang tiga tahun sebelumnya memproklamirkan diri sebagai Pakistan. Pemerintah Pakistan mengangkat pemuda dari keluarga menengah bawah ini sebagai Profesor di Government College, Lahore. Bersamaan dengan itu, ia juga diangkat sebagai Kepala Departemen Matematika Universitas Punjab. Namun, di negeri kelahirannya ini, Salam tidak menemukan tradisi kerja dan riset postgraduate. Tak ada jurnal, tak ada kesempatan untuk menghadiri konferensi. Kepala institusi tempat Salam bekerja, meski tahu bahwa Salam sudah mengerjakan sejumlah riset, menganjurkan pada profesor muda itu untuk melupakannya saja. Ia menawari Salam tiga pilihan pekerjaan tambahan: bendaharawan, pengurus rumah tangga aula kampus atau lurah klub sepak bola. Salam memilih yang terakhir.

Setelah bertahan di Lahore selama tiga tahun, Salam terpaksa mengakui: segenap situasi umum masyarakat Pakistan waktu itu sangat tidak mendukung kemungkinan keberlanjutan risetriset fisika. Salam tersudut pada satu dilema tragis: fisika atau Pakistan. Pada tahun 1954, Salam kembali ke Cambridge, menjemput tawaran mengajar dan riset yang sudah lama diberikan.

Di Cambridge dan kemudian juga di Imperial College, London, Salam meneruskan percintaannya yang sempat terputus dengan riset dan fisika teori. Tapi meski fisika adalah cinta pertamanya, dan meski kerajaan Inggris telah memberinya segala yang ia perlukan untuk menikmati dan menghasilkan buah dari percintaan itu, Salam masih harus ”menyeleweng” membagi waktu dengan cintanya yang lain. Terpanggang oleh ketakbahagiaannya meninggalkan negerinya, Salam selalu mencari jalan agar orang-orang seperti dirinya yang berasal dari dunia ketiga, dapat terus bekerja di negerinya masing-masing, namun tetap herpeluang lebar untuk menjadi ilmuwan peringkat puncak. Salam sangat yakin, seperti halnya negara-negara maju, negeri-negeri berkembang pun butuh ilmuwan yang bagus, yang tentunya tertata dalam sistem universitas.

Dengan reputasinya yang mulai membubung, Salam lalu mendesak kolega-kolega Eropa dan Amerikanya untuk mendirikan lembaga seperti yang diimpikannya itu. Atas bantuan PBB, khususnya Lembaga Energi Atom Internasional, pada tahun 1964 berdirilah ICPT tadi di Trieste, Italia. Pakistan sebenarnya juga berpeluang memperoleh kehormatan itu, tapi tampaknya tidak tertarik.

Di Italia Abdus Salam mendirikan dan memimpin sebuah bentangan kompleks bangunan yang secara regular dikunjungi oleh para ilmuwan yang terlibat riset dari 50-an negara berkembang. Pada tahun 1983, Salam kemudian mendirikan dan menjadi presiden The Third World Academy of Sciences, dan Presiden pertama The Third World Network of Scientific Organizations (1988).

KECINTAAN Salam pada umat Islam Pakistan, pada umat Islam di dunia, tak pernah pupus. Sepanjang hayatnya, ia terus-menerus mendorong penguasaan sains dan penciptaaan pengetahuan ilmiah di negeri-negeri muslim.

Menang, seribu tahun yang lalu, ketika Eropa masih terlelap dalam Abad Kegelapan, ilmuwan Islam seperti Al-Hazen atau Al-Biruni, sudah menghidupkan metoda eksperimental, yang tak pernah dikenal oleh para pemikir besar Yunani. Metode yang kemudian menjadi dasar pembangunan sains modern ini, memang membawa dunia Islam pada puncak kegemilangan peradabannya. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa sains modern sekarang ini, yang telah dikembangkan jauh oleh Barat, tak lain adalah sebuah benih warisan Greko-Islam. Dengan mengutip Briffault, Salam menegaskan: Sains modern, setidaknya metode eksperimental, merupakan kontribusi paling monumental dari Peradaban Islam.

Tetapi kini, tak diragukan lagi bahwa dari seluruh peradaban di planet ini sains menempati posisi yang paling lemah di dunia Islam. Itu memang merisaukan siapa pun, karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pada zaman ini secara langsung tergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi.

Lewat karyanya, Salam menunjukkan, bahwa orang Islam masih sanggup membayar utang kebudayaan itu. Lagi pula, sudah ada sejumlah penguasa dan pemilik kekayaan dari negeri-negeri Islam yang tergerak memberi perhatian lebih seksama terhadap pengembangan sains dan teknologi.

SALAM sudah berangkat menuju Yang Maha Esa di usia 70. la dimakamkan di tanah air yang teramat sangat dicintainya. Kita yang ditinggalkannya kini, hanya dapat bertanya, benarkah kita juga punya rasa harga diri religius, seperti rasa harga diri yang menggerakkan tokoh yang teramat dihormati oleh komunitas sains internasional ini? Yang pasti, penerima gelar Doktor Sains Honoris Causa dari 39 universitas/ lembaga ilmiah dari seluruh dunia ini, yang sekali waktu pemah menyebut dirinya sebagai penerus para ilmuwan muslim seribu tahun yang silam, telah menyatakan dengan tegas: harga diri suatu umat kini tergantung pada penciptaan prestasi ilmiah dan teknologis.

Harga diri itu, seperti yang telah dibuktikan oleh Salam sendiri bukan saja dapat mengangkat suatu masyarakat sejajar dengan masyarakat lain. Gerakan dan keikut-sertaan mencipta sains teknologi akan memberikan kontribusi pada peningkatan harkat seluruh umat manusia, tanpa melihat agama dan asal-usul kebangsaannya. Itulah rahmatan lil alamin.

Selamat jalan Profesor Salam.

(Nirwan Ahmad Arsuka, Alumnus Teknik Nuklir FTUGM bekerja di Paramadina Mulya, Jakarta)

Sumber: Kompas, 29 Nopember 1996
—————————
20160918_160136w67 Tahun Abdus Salam, Nobelis dengan Tiga Dunia

”Profesor, ” kata Nando dengan menundukkan kepalanya, ”Apakah Anda menyukai Italia?” .. .”Tidak, ” kataku pelan, ”Tidak Italia. Orang-orang Italia.”

Kutipan dari La Casa in Collina karya Pavese itu menjadi penutup salah satu orasi ilmiah Abdus Salam, sang nobelis yang pada 29 Januari ini genap berusia 67 tahun. Dengan mengutip Pavese, jelas bahwa Salam bukanlah manusia yang hanya mahir berumit-rumit dengan fisika teori saja.

Orang Italia mendapat tempat tersendiri di hati Salam. Negara inilah yang membiayai kelahiran International Centre for Theoretical Physics (ICTP), perhimpunan fisikawan teori sedunia yang paling bergengsi, yang Salam dirikan tahun 1964.

Lahir di kampung kumuh Jhang, India –kawasan ini sekarang dikuasai Pakistan– pada tingkat persiapan di usia 14, Salam membuat sensasi nasional sebagai pemegang nilai tertinggi di sepanjang sejarah Universitas Panjab, Lahore, Pakistan. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Cambridge Inggris tahun 1946. Ini bisa terjadi lantaran Salam merupakan satu dari lima sarjana terbaik yang mendapat bea siswa dari seorang politisi India.

Wrangler
Tanpa kesulitan yang berarti di universitasnya yang baru,Salam menjadi seorang wrangler, gelar tradisional Cambridge untuk sarjana matematika kelas satu. Bukanlah kebetulan kalau Salam akhirnya membelokkan studi dari matematika ke fisika. Bakatnya begitu minim di laboratorium, maka ia memilih fisika teori. Dengan fisika teori, ia menguak rahasia zarah elementer yang menyusun alam semesta dan mendapat Nobel fisika tahun 1979.

Salam mencurahkan perhatiannya terutama kepada kuantum elektrodinamika, martil fisika teori yang masih dianggap paling akurat. Dengan itu, ia merenormalisasi teori meson, teori tentang zarah yang terbentuk di daerah kosmik karena inti atom terbombardir oleh zarah lain yang berenergi sangat tinggi. Itulah tesis doktoralnya yang lantas membawa ia memenangkan Smith’s Prize Universitas Cambridge tahun 1950 sebagai sumbangan pradoktoral terbesar dalam fisika. Jadi, hanya dalam empat tahun ia menyelesaikan sarjana matematika dan doktor fisika.

Kembali ke Pakistan, Salam mendapat gelar profesor penuh dari Universitas Panjab saat usianya baru 25 tahun. Sayangnya, di sana tak tersedia jumal ilmiah dan di sana tak ada pula tradisi penelitian setelah seseorang menuntaskan doktornya. Keadaan ini bertentangan dengan ucapan Salam, ”Gelar doktor adalah tahap awal untuk meneliti.”

Dengan gaji, dikurs dengan rupiah sekarang, sekitar Rp 180.000, ia memperoleh tambahan penghasilan sekaligus mendapat hiburan setelah ia menerima tawaran: menjadi ketua persatuan sepak bola di universitasnya. Tiga tahun ia di Panjab. Tapi,Salam toh harus memilih: fisika atau Pakistan

Cambridge membuka pintu lebar-lebar bagi Salam sebagai tenaga pengajar sehengkangnya dari Universitas Panjab. Dua tahun di Cambridge, Imperial College London mempersilakannya menenggelamkan diri sepenuhnya untuk fisika: membangun teori dua-komponen neutrino, menggarap simetri zarah khususnya yang dikenal sebagai SU(3), dan, sebagai gol spektakulernya adalah menyelesaikan teori gauge untuk menggabungkan interaksi lemah inti dengan interaksi elektromagnetik. Dalam bahasa yang sederhana, ia mempersatukan matematika yang menjelaskan gaya yang mendorong neutron dari suatu inti atom sehingga berubah menjadi proton dengan gaya yang bekerja untuk, katakanlah, Kereta Rel Listrik Depok-Jakarta.

Hingga saat ini, Salam telah menulis lebih dari 250 makalah yang membahas fisika partikel dan tiga buku kajian fisika teori.

Sains dan Dunia Ketiga
Salam sebagai manusia yang memasyarakat, itulah dunia kedua fisikawan ini. Kepada Dunia Ketiga, ia persembahkan pikirannya lewat buku Ideals and Realities yang memuat 20 esei multidisipliner. Menurut Salam, Selatan sebenarnya lebih butuh alih sains dasar dibandingkan dengan alih teknologi

”Saya berharap Utara dapat memberikan sains sebanyak-banyaknya kepada Selatan,” tulisnya. Mengapa begitu? ”Saya tidak bisa menyalahkan Utara untuk tidak mengalihkan teknologi yang telah mereka kembangkan. Bukankah sudah banyak biaya yang mereka keluarkan untuk teknologi. Lihatlah Jepang,” katanya, ”Untuk beberapa tahun, mereka menanam investasi besar pada segala macam sains dalam tingkatan yang sangat tinggi dan kemudian teknologi mereka betul-betul sukses.”

”Di buku itu, Salam juga menelaah usaha-usaha yang dapat dilakukan Pakistan melawan kemiskinan. Pendidikan sains di negara-negara berkembang, katanya, seharusnya berkaitan erat dengan dimensi internasional dari sains itu sendiri, kaitan yang erat antara Islam dan sains, dan lain-lain.

Tidaklah mengherankan bila pada tahun 1961 Presiden Pakistan Ayub Khan menunjuk Salam sebagai penasihat pribadi untuk masalah keilmuan dan menjadikannya sahabat dekat secara informal. Itulah yang mempererat hubungannya dengan birokrat –yang biasanya bermusuhan dengan saintis– semacam Ishrat Usmani, pemimpin Komisi Energi Atom Pakistan. Terbukti, komisi ini bukan hanya menjalankan misi dasarnya memanfaatkan energi atom, tapi juga memberi dorongan tersendiri bagi kecemerlangan saintis Pakistan.

”Sebagian besar usaha ilmiah di Pakistan,” kata Usmani suatu ketika, ”terwujud hanya karena imajinasi Salam dan bobot kepribadiannya. Salam adalah simbol kebanggaan dan prestise negara kami di belantara sains.”

Tentang sukses ICTP yang berlokasi di Trieste, Italia, Prof John Ziman dari Universitas Bristol bilang, ”Salam-lah yang membangun pusat itu dari nol menjadi lembaga yang sekarang dinilai paling sukses dan terhormat.”

Apanya yang sukses? ”Dengarlah, saintis dari negara-negara berkembang datang ke Trieste untuk mendapatkan berita terhangat tentang perkembangan sains, sekaligus untuk bertemu dengan koleganya dari negara-negara berkembang.” kata Ziman, ”Mereka datang di Trieste untuk mengikuti kursus tingkat tinggi, mereka bisa pula bekerja dengan tenang di perpustakaan untuk berdebat habis-habisan, atau untuk menimba pengertian dan wawasan dari profesor tua yang bijaksana dari Swedia.”

Sains dan Islam
Ketika menyampaikan sambutan pada upacara penerimaan hadiah Nobel, Salam yang memilih hati yang sajak dan jiwa yang sains mengutip ayat Al Qur’an, ”Tidakkah kau saksikan bahwa pada penciptaan yang serba kasih itu terdapat ketaksempurnaan. Kembalikan pandanganmu, kan kau tatap satu retakan. Kemudian kembalikan lagi pandangan itu, dan lagi, pandanganmu kan mengembalikanmu kepada keterpesonaan dan ketakjubanmu.”

Abdus Salam memanglah berarti Abdi Kemumian. Fisika baginya adalah ibadah yang mengasyikkan. Saat memecahkan persoalan fisika, ia tak beda dengan sang bangau di rawa-rawa. Ia berbicara pelan, bijaksana, dan fasih dengan suara parau yang dibumbui gelak tawa.

Menurut pengakuan Salam, ia belajar Islam secara mendalam dari ayahnya, seorang pejabat rendahan untuk komunitas pertanian dekat Sungai Indus, dan dari pamannya yang pernah menjadi juru dakwah muslim di Afrika Barat. Keintensifannya dalam Islam membawa ia pada tiga premis utama dalam pengetahuan keilmuan untuk dijadikan titik awal bagi kaum muslim.

Pertama, Nabi Muhammad SAW telah menandaskan, mengejar ilmu pengetahuan adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, tak ada satu pun ayat dalam Al Qur’an yang menggambarkan fenomena alam yang bertentangan dengan sains hingga saat ini. Ketiga, dalam sejarah Islam, belumlah terjadi insiden penganiayaan dan pengucilan atas perbedaan doktrin.

Meskipun begitu premisnya, dalam sebuah konferensi Akademi Sains Dunia Ketiga di Kuwait bulan November 1992, ia menjawab pertanyaan wartawan Reuters dengan, ”Saya pesimis terhadap prospek sains di Afrika dan dunia Islam.” Ketika ia hamper gagal mendirikan Islamic Science Foundation, ia masih dapat berucap dengan tegar, ”Untuk yang mengkhawatirkan dampak sains modern dalam Islam, agar mereka tahu keterbatasan sains, mereka mesti mampu mengambil bagian dalam sains kehidupan. Lain dari itu, ia tertinggal melanjutkan pergulatan filosoti masa lalu.”

Hingga hari ini, Abdus Salam yang genap 67 tahun telah mengantungi 22 awards, 24 anggota kehormatan berbagai organisasi ilmiah, dan tak kurang dari 30 gelar doktor kehormatan. Persoalan yang menghadang tiap nobelis ialah karya monumental apa lagi yang dapat dia tuliskan setelah itu. Tapi, lain bagi Salam. Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Reuters bulan November 1992 di Kuwait, Ketua ICTP ini bilang, ia menemukan suatu fenomena fisis pada asam amino yang, kalau ditelusuri, akan bermuara pada kesimpulan kehidupan di bumi sebetulnya merupakan pindahan dari planet lain (Kompas, 1 Desember 1992). Tentang yang terakhir ini Reuters menulis laporan dengan judul, ”Salam Mengincar Nobel Kedua”. (Reno Alamsyah, alumnus Fisika ITB)

Sumber: Kompas, Jum’at, 29 Januari 1993

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB