Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia belum berjalan mulus, antara lain, karena tidak didasari perundangan serta peraturan yang jelas dan mengikat. Dengan undang- undang inovasi iptek, misalnya, kegiatan riset iptek yang prosesnya panjang dapat diamankan.
“UU inovasi mengatur kegiatan riset untuk menghasilkan inovasi. Tanpa riset, inovasi tak dapat dihasilkan. Namun, jika inovasi tak diundangkan tersendiri, alternatif kedua memasukkan konsep inovasi dalam UU pendidikan tinggi,” ujar Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi pada Sidang Paripurna DRN dan Seminar Nasional “Sinergi Pendidikan Tinggi, Riset dan Bisnis melalui Inovasi untuk Daya Saing Bangsa” di Solo, Selasa (9/8).
Dalam pidatonya, presiden ketiga RI, BJ Habibie, mengatakan, ketiadaan payung hukum terkait riset iptek mengakibatkan kegiatan riset selama masa kepemimpinannya terhenti dan tak mencapai target. Ia menunjuk kegagalan sertifikasi pesawat N250 karena tidak ada regulasi yang mengamankannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, dalam sambutannya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengungkapkan, banyak regulasi berbenturan sehingga menyebabkan para peneliti terjerat kasus hukum. Itu juga menghambat penelitian iptek untuk menghasilkan inovasi.
Oleh karena itu, lanjut Nasir, regulasi yang ada akan ditata lagi untuk mendorong kegiatan inovasi iptek. “Dalam kaitan ini, sekarang tengah dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang sistem iptek nasional,” ujarnya. UU itu akan memadukan riset iptek, perguruan tinggi, dan inovasi.
Menurut Deputi Penguatan Inovasi Kemristekdikti Jumain Appe, UU No 18/2002 tidak dapat digunakan karena tidak bersifat mengikat. Sementara kebijakan sektor menghambat penerapan inovasi dan mobilisasi sumber daya manusia ke industri.(YUN/RWN)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 14 dengan judul “Ketiadaan UU Turut Hambat Inovasi”.