Keprihatinan tentang status ilmu sosial-humaniora membawa ilmuwan sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia memenuhi undangan Indian Institute for Advanced Studies untuk menghadiri simposium “Thinking Social Science” yang diadakan di Shimla pada pertengahan Juli 2016 atas inisiatif Atase Kebudayaan KBRI kita di New Delhi.
Di tempat yang berada di kaki Pegunungan Himalaya, pertemuan India-Indonesia itu diadakan dalam gedung bersejarah, tempat dilaksanakan pertemuan yang memutuskan pemisahan Pakistan yang Islam dari India yang Hindu. Karena jarang digunakan, kampus ini diserahkan kepada lembaga ilmu pengetahuan sosial. Inilah lingkungan tempat ilmuwan membaca, berpikir, berdialog, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Tantangan ilmu sosial
Ilmuwan sedang dirudung kegundahan. Bagaimana tidak, terutama ketika kita membaca bahwa Pemerintah Jepang telah memerintahkan perguruan tinggi negeri agar fakultas ilmu sosial ditutup. Kebijakan serupa juga dianut perguruan tinggi di sejumlah negara: menyingkirkan ilmu sosial dan membuat tempat bagi sains dan teknologi untuk menjawab dinamika perkembangan teknologi yang mengubah berbagai segi kehidupan, termasuk pasar kerja.
Indonesia tidak banyak berbeda. Kecenderungan tersebut dilaksanakan Departemen Riset dan Teknologi (Ristek) pada pemerintah yang lalu dengan menghapus komisi ilmu sosial dari Dewan Ristek Nasional. Alasan mereka: ilmu sosial merupakan ilmu lintas bidang fokus penelitian. Sebenarnya diketahui bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi karena pemerintah menganut keharusan mono-disiplin dan menolak kecenderungan dunia ke arah multidisiplin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, kekecewaan ilmuwan sosial sedikit terobati ketika Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan memberi tahu bahwa ilmu sosial merupakan satu dari 11 bidang fokus. Semoga aturan bagi bidang fokus lain agar menekankan penelitian hilir menghasilkan inovasi, tidak dengan sendirinya diterapkan pada ilmu sosial, yang tidak menghasilkan barang, tapi penguasaan ilmu sosial merupakan dasar untuk mengambil keputusan publik untuk rakyat, untuk bangsa.
Dalam perbedaan, kedua bangsa (Indonesia-India) memiliki banyak persamaan-ditandai kompleksitas karena keragaman yang multidimensi. Keduanya merupakan bangsa berpenduduk besar, muda, berharap menjadi kaya sebelum tua, dengan dorongan urbanisasi dan investasi dalam pendidikan dan kesehatan. Sementara sebagai negara dengan perekonomian terbuka mengalami transformasi dengan dorongan ke arah demokrasi dalam globalisasi. Adalah kecenderungan demikian yang perlu dibicarakan, diakui, dianalisis, dan dikembangkan sebagai konsep yang berkembang dari masyarakat kita sendiri.
Menantang dominasi Barat
Acara tersebut disiapkan Indian Institute for Advanced Studies, memperkenalkan kegundahan ilmuwan India mempertanyakan pemikiran dan cara berpikir hingga cara memperoleh informasi/data untuk mengembangkan teori dan konsep ilmu sosial yang berasal dari masyarakat kita sendiri. Bisakah, atau bersediakah, ilmuwan kita yang belajar konsep dan teori yang dikembangkan ilmuwan Barat, melihat ketidaksesuaian dan mengembangkan yang baru berasal dari kehidupan bermasyarakat Indonesia dan India?
Bahasan pun beranjak dengan mempertanyakan pengertian demokrasi yang berkembang di masyarakat Indonesia dan India. Juga sistem kelas di Indonesia dan kasta di India, dengan jumlah penduduk yang besar dan beragam, di mana sifat kehidupan bermasyarakat berbeda dari Barat. Kami juga mempertanyakan identitas penghasil pengetahuan sosial tentang masyarakat non- Barat. Siapakah kita yang merupakan sumber dan penghasil ilmu pengetahuan sosial yang kita kembangkan? Bukankah kita ilmuwan Indonesia-India yang lebih tahu masyarakat kita?
Keadaan inilah menimbulkan pertanyaan tentang kesesuaian pisau analisis untuk memungkinkan ilmuwan Asia mengerti dirinya sendiri, memungkinkan pengembangan kebijakan terbaik tentang dan untuk penduduk bangsa-bangsa non-Barat.
Inilah tantangan yang menutup simposium agar ilmuwan sosial Asia, non-Barat, maju ke depan mengembangkan konsep dan teori ilmu sosial. Bisakah ilmuwan Indonesia menyalakan obor estafet?
Mayling Oey-Gardiner, anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul “Tantangan Ilmu Sosial Indonesia-India”