Wilayah luas, ekonomi yang tumbuh, pesatnya perkembangan sains dan teknologi, dan tantangan menjaga ketahanan negara membuat penguasaan teknologi satelit bagi Indonesia adalah keniscayaan. Meski jadi negara ketiga di dunia, pengguna satelit telekomunikasi sejak 1976, jumlah perekayasa satelit di Indonesia yang menguasai teknologi itu terbatas.
Saat satelit milik Bank Rakyat Indonesia, BRlsat, lepas dari roket peluncurnya, Ariane5, pada peluncuran 18 Juni lalu, tepuk tangan bergemuruh di ruang kendali Jupiter, Bundar Antariksa Guyana di Kourou, Guyana-Perancis. Sekitar 100 ahli dan perekayasa yang ada di ruang kendali itu saling bersalaman dan mengucapkan selamat.
Lepasnya BRIsat menandai tuntasnya misi peluncuran Arianespace bernomor VA 230 yang membawa dua satelit itu. ”Jika satelit pertama EchoStar XVIII tak lepas dari roket, BRIsat juga tak lepas,” kata Wakil Direktur Misi BRIsat Meiditomo Sutyarjoko. Karena itu, para perekayasa BRI di ruang Jupiter baru lega saat BRIsat akhirnya mengorbit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peluncuran VA 230 membawa ketegangan banyak pihak, termasuk BRI dan Arianespace yang meluncurkan lebih dari 500 satelit ke orbit. Bagi BRI, itu jadi satelit pertama yang mereka operasikan. Bagi Arianespace, itu adalah peluncuran satelit pertama yang dimiliki bank di dunia dan peluncuran bermuatan terberat, 10.730 kilogram.
Dengan meluncurnya dua satelit di orbit, berbagai peluang baru tercipta. Industri satelit menciptakan kemudahan berkomunikasi, meningkatkan mutu layanan informasi, hiburan, hingga layanan keuangan. Itu untuk meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan manusia.
Karena itu, Direktur Teknologi EchoStar Satellite Services, pemilik EchoStar XVIII, Derek de Bastos, seusai peluncuran mengatakan, ”Terima kasih kepada semua pihak yang bekerja menciptakan masa depan,” katanya.
Besarnya manfaat satelit membuat para perekayasa yang terIibat BRIsat berharap, Indonesia di masa depan bisa membuat dan meluncurkan satelit mandiri. “Keahlian perekayasa Indonesia tak bisa diremehkan,” kata Wakil Manajer Program BRIsat Lukman Hakim.
Terbatas
Meski manfaat satelit amat besar, dalam aspek ekonomi, pertahanan negara, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, industri satelit di Indonesia belum berkembang. Akibatnya, sumber daya industri satelit di Indonesia terbatas. “Pengembangan sumber daya manusia satelit hanya dilakukan operator satelit dan tak terlalu masif,”kata Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia Dani Indra Widjanarko.
Saat ini diperkirakan hanya ada sekitar 100 perekayasa satelit yang bekerja di sejumlah operator satelit di Indonesia. Mereka terbagi dalam berbagai keahlian, seperti perancangan, analisis misi dan pengendalian, sistem komunikasi satelit, dan perangkat pengendalian satelit.
Sejumlah perekayasa yang bekerja di industri satelit Indonesia saat ini adalah anak-anak muda yang dikirim sekolah dan magang di sejumlah perusahaan di luar negeri di masa Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie pada 1980-an. Namun, krisis ekonomi 1998 memupus harapan itu sehingga sebagian perekayasa memilih bekerja di luar negeri.
Direktur Misi BRIsat Hexana Tri Sasongko dan wakil Direktur Misi BRIsat Meiditomo Sutyarjoko mencermati monitor yang menampilkan parameter peluncuran roket Ariane 5 di ruang kendali Jupiter, Bandar Antariksa Guyana, di Kourou, Guyana Perancis, Sabtu (18/6).
Kini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mulai menyusun peta jalan penguasaan teknologi satelit di Indonesia. Mereka lebih memfokuskan pembuatan satelit untuk keperluan pemerintah, bukan industri swasta seperti satelit pengindraan jauh yang direncanakan dibuat mulai 2019.
Saat ini, Lapan baru mampu membuat satelit eksperimen dengan bobot terberat 115 kilogram, yaitu satelit Lapan A3/IPB yang diluncurkan 22 Juni lalu. Semua proses pembuatan dan pengujian satelit itu dilakukan ahli-ahli Indonesia di dalam negeri. Peluncurannya bersama Organisasi Riset Antariksa India (ISRO).
Jika rencana Lapan membuat satelit pengindraan jauh berbobot kurang dari 1.000 kilogram berjalan, perlu penambahan sumber daya manusia.
Peneliti Pusat Teknologi Satelit Lapan, Robertus Heru Triharjanto, mengatakan, kini ada sekitar 50 perekayasa atau teknisi satelit yang dimiliki lembaganya. Mereka tak hanya merancang dan membuat satelit, tetapi juga mengendalikan dan mengoperasikannya.
“Untuk membuat satelit dengan berat maksimum 1.000 kilogram, perlu sekitar 700 pekerja yang dua pertiganya ialah perekayasa,” ucapnya.
Kebutuhan tenaga untuk pengembangan satelit di Indonesia itu kalah jauh dengan jumlah sumber daya di industri satelit India saat ini. India punya sekitar 2.000 ahli pembuatan satelit, 17.000 orang terlibat pembuatan roket peluncur, dan 1.000 ahli peluncuran roket. Kini, semua kembali pada pemerintah. Jika penguasaan teknologi satelit dianggap penting, perlu keberpihakan anggaran, termasuk mencetak orang-orang yang bekerja untuk menciptakan masa depan itu. (MZW)
Sumber: Kompas, Minggu, 31 Juli 2016