Prof Dr Mien Achmad Rifai; Pledoi dari Seorang Taksonom

- Editor

Kamis, 23 Maret 1995

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ut Taxonomiam Defendamus (Bagaimana Kami Membela Taksonomi, red), begitu judul pidato pengukuhan Prof Dr. Mien Achmad Rifai (55) di Kampus UI, Depok, Rabu (22/3) kemarin.

Tiga hari, sebelumnya, Senin (20/3) kepada Kompas, dia uraikan apa-siapanya taksonorni (ilmu penggolongan) di kantornya, Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. “Karena itu pidato saya ibarat pledoi,” katanya. Dalam berbagai pertemuan ilmiah memang sudah dinyatakan sebagai cabang ilmu yang penting, tetapi toh masih ada anggapan taksonomi ilmu yang kuno.

Sebagai ilmu, taksonomi bermain di antara dua ranah (domain), ranah bahasa dan ranah biologi. Manusia tidak terlepas dari pemberian nama (naming), pencirian (characterizing) dan penggolongan (classifying). Dalam hal ini taksonomi menunjukkan keindahan nama sebagai sistem atau kunci bertuah pembuka khazanah pengetahuan, ilmu dan teknologi. Di kamus, taksonomi dijelaskan sebagai cabang biologi yang menelaah penamaan, pencirian dan pengelompokan makhluk hidup berdasarkan persamaan dan pembedaan sifat-sifatnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Mien Rifai, karya taksonomi memang tidak users friendly, sehingga kurang diakrabi para pemakai yang bukan spesialis. Begitu kurang populernya pemegang profesi ini, sehingga sampai sekarang jumlahnya masih bisa dihitung dengan lima jari tangan. Selain Mien Rifai, empat lainnya adalah Elisabeth Widjaja, Kasim Musa, Somadikarta, dan Yohanes.

MIEN mengaku mendalami taksonomi karena panggilan. “Orang harus mempunyai berbagai kombinasi sifat, untuk bisa menjadikan ilmu taksonomi sebagai panggilan hidup. Misalnya, harus senang arsitektur. Harus bisa melihat hal-hal di luar bidang itu. Harus bisa pokrol bambu. Nah, itu mungkin yang membuat orang jadi takut pada taksonomi,”katanya.

Taksonomi memang sulit dikuliahkan. Tapi, salahnya kalau mahasiswa disuruh menghapal nama-nama dalam bahasa Latin. “Mahasiswa saya tidak pernah disuruh menghapal nama-nama. Saya minta lupakan hapalan itu. Dan kalau ada orang tanya nama-nama tumbuhan dalam bahasa Latinnya, saya buka buku. Anehnya di Sekolah, anak-anak diminta harus hapal, kalau tidak,tidak lulus. Itu salah,”katanya berapi-api.

Namanya sudah serba salah. Di sekolah, anak-anak diajar taksonomi, tetapi hanya menghapal namal-nama hasil kerja ilmu taksonomi. Padahal seharusnya yang diajarkan asas dan teorinya.

Yang diajarkan pada kita itu pengetahuan, bukan ilmu. Pengalaman jadi pengetahuan, pengetahuan diberi landasan filsafat, dipertanyakan secara ilmiah, bisa diulang lagi, dan baru begitu bisa menjadi ilmu. Proses ini tidak pernah disadari, sehingga yang diajarkan di Indonesia adalah hasil kerjanya, deretan nama-nama yang harus dihapal, bukan asas dan teorinya.

Celakanya lagi, anak-anak di sekolah bukan belajar klasifikasi, tetapi kategorisasi. Kategorisasi begini-begitu, dan tidak ada yang lain. Sebaliknya klasifikasi terbuka, ada pilihan ketiga.

Celakanya di sekolah tidak ada. Kata Mien Rifai, ”Jadi anak kita tidak bisa melihat alternatif. Itulah akibat yang paling fatal di pendidikan. Kita tidak ada alternatif. Dan ini dikukuhkan, karena pemerintah tidak senang kategorisasi. Tidak ada pilihan lain.”

Sebenarnya Mien ingin jadi budayawan, tetapi ayahnya tidak mengizinkan. Katanya,”Panggilan saya ke bahasa, bukan ke biologi. Waktu saya di SMP, saya jadi kesenangan guru bahasa saya. Ujian dapat nilai sembilan sepuluh. Sejak kecil saya punya hobi membaca. Ayah juga lihat.” Tetapi, Mas Atmosoegondo, ayahnya itu tidak mengizinkan. Mengapa? “Profesi ahli bahasa tidak ada uangnya.”

20160710_144208wSEBAGAI taksonom, Mien melihat taksonomi berkembang lamban. Dalam dua setengah abad, tidak sampai sejuta nama bisa diselesaikan. Taksiran kasar sekarang masih sekitar 30 juta yang belum diidentifikasi. Masih diperlukan beberapa abad 1agi. Mengapa? Selain jumlah taksonom amat langka, cabang ilmu lain –masih dalam biologi, lebih menarik.

Bagi Mien Rifai, ilmu tidak bisa dipisah-pisah. Holistik harus dipakai di mana-mana. Yang terjadi di Indonesia, yang dianggap tidak penting, dilupakan. Yang dianggap penting dijadikan primadona. Lantas orang mengejar ilmu yang diprimadonakan, sementara yang lainnya tidak diberi angin dan juga pekerjaan tidak ada.

Pekerjaan taksonom memang masih banyak, selain menggalakkan minat orang pada disiplin ini, tetapi terutama pada penamaan tetumbuhan sebagai produk taksonomi. Menurut dugaan Mien Rifai, masih ada sekitar 82 jenis tetumbuhan di Indonesia yang belum diberi nama, seperlima dari kekayaan hayati kita. Sementara dari semua mahkluk dunia, yang bernama Indonesia jumlahnya baru 300-an.

MIEN Rifai mengaku telah menemukan sekitar seratus nama atas hasil temuannya dengan label Rifai, sambil menambahkan bahwa dia tidak suka menemukan sendiri. Dia lebih suka mengkutak-katik temuan orang lain, sehingga yang tercantum sebagai label tetap nama penemu pertama.

Menantu mantan Gubernur Jatim Mohamad Noer ini masih selalu diminta duduk sebagai juri berbagai lomba ilmiah, mulai dari tingkat remaja sampai mahasiswa, termasuk juri lomba angrek. Mengapa? Karena dia dianggap bisa melihat persoalan dari herbagai segi. “Itu berkat taksonomi, karena taksonomi membuka persoalan,” katanya.

Sebagai biolog, lulus Akademi Pertanian Ciawi Bogor tahun 1961, kemudian MSc (1964) dan doktor (1966) dari UniVersitas Sheffield, Inggris, Mien menyukai banyak hal, bukan hanya hal-hal yang berbau tanaman dan penamaannya atau sastra terutama Inggris, tetapi juga arsitektur –ranah ilmu yang relatif tak langsung berhubungan dengan biologi dan taksonomi.

Seperti diucapkan dalam pidatonya kemarin, dia sebutkan nama-nama bayi Indonesia pun sejak dasawarsa terakhir ini ikut mengalami pengglobalan. Nama-nama seperti Siti, Dya,Sri,Dewi, Euis, Abdul, Bambang misalnya, telah menghilang dan berganti menjadi Marina, Melissa, Daisy, Itje. Nama-nama geografi kita pun tercemar oleh unsur asing. Kita tinggal menunggu waktu pemindahan ibu kota Kabupaten Bekasi ke Lippo City, dan jangan mengira kita berada di Inggris bila berjalan-jalan melewati Raffles Village, Royal Sentul Highland, Riverside Golf Sentul, dll.

Padahal, katanya, melalui taksonomi, bahasa Indonesia sudah menyumbangkan kosakata kepada kasanah dunia nama dan istilah internasional seperti pandanus, durio arenga, pinanga, renghas, sintoc, bamboo, rattan, rajapa, babirousa, tapirus, tupaica. Dan menggapa generasi sekarang giat memperlancar arus sebaliknya?

Di rumahnya, di kawasan Ciomas Bogor, ada sederet lengkap buku-buku karya William Shakespeare. Kepustakaan yang menunjukkan betapa fanatiknya Mien Rifai pada karya-karya sastra asing (lnggris) itu, melengkapi deretan buku-buku bidang biologi. Dan sederet lengkap lagi buku-buku tentang Madura. Madura? Ya, Madura. Dia tertarik pada Madura karena kebetulan saja dilahirkan di Madura (lahir di desa kecil Gapura Tengah, sekitar 13 kilometer timur Sumenep, tanggal 1 Januari 1940).

Minat pada bahasa dibuktikan dengan kegiatannya dalam berbagai pertemuan kebahasaan, yang dalam hal ini tak bisa dilupakan jasa Prof Andi Hakim Nasoetion. Sejak tahun 1973, ia aktif dalam Panitia Pembinaan Bahasa Indonesia, dipercaya mengkordinasi peristilahan biologi dan menjadi utusan dalam berbagai sidang Majelis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia. Minat pada budaya pun menghasilkan buku sejarah Madura, biografi beberapa tokoh ilmiah dan politik, serta tulisan tentang sikap, pandangan dan perilaku manusia Indonesia, terutama orang Madura dalam kaitan dengan alam sekitamya.

Kalau ada rencana membangun Madura seperti Batam,katanya, perlu diingat bahwa Madura bukan lagi pulau kosong seperti Batam. Rakyat Madura hanya ingin, jangan sampai terjadi pembangunan di Madura,melainkan pembangunan Madura.

Bapak dua putri dari perkawinannya dengan Siti Noeroel Hajati Noer itu, mengaku tiga nama yang mengukir tajam dalam hidupnya: pertama Prof Webster promotornya di Inggris, Bung Karno Presiden RI yang pertama, dan Mohamad Noer mertuanya. (sur/pun/sts)

Sumber: KOMPAS, KAMIS, 23 MARET 1995

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 47 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB