Bahan baku antibiotik generasi ketiga, sefalosporin, diproduksi dalam skala laboratorium di Balai Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Produksi bahan farmasi hasil riset itu akan ditingkatkan ke skala komersial. Pengembangannya melibatkan industri nasional dan industri Korea Selatan.
Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan itu seusai tanda tangan nota kesepahaman di Jakarta, Senin (6/6). Kesepakatan ditandatangani Direktur Utama PT Kimia Farma Rusdi Rusman dan Presdir Sungwun Pharmacopia Co Ltd Chu In Wa.
“Kerja sama ini upaya integrasi industri farmasi mengurangi ketergantungan bahan baku antibiotik impor,” ujar Unggul. Saat ini, 95 persen bahan baku obat untuk industri farmasi diimpor dari Tiongkok dan India. Padahal, Indonesia menguasai teknologinya dan bahan baku melimpah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pasar produk farmasi Indonesia tahun 2015 sebesar Rp 60 triliun dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp 102,05 triliun tahun 2020,” kata Deputi Kepala BPPT Bidang Agroindustri dan Bioteknologi Eniya Listiani Dewi. Dari nilai itu, impor bahan baku farmasi Rp 27 triliun.
Uji coba produksi skala laboratorium bahan baku obat antibiotik golongan beta laktam telah dilakukan Balai Teknologi BPPT sejak 1990-an.
Selama ini, menurut pakar agroindustri BPPT, Wahono Sumaryono, untuk membuat sefalosporin, BPPT menguasai sistem fermentasi dengan skala pilot 2.500 liter per produksi. Adapun Sungwun menguasai sistem produksi biokonversi berbasis enzim dengan skala komersial 100.000 liter per produksi.
Kedua pihak akan mengembangkan teknologinya menggunakan bahan baku lokal, antara lain sagu. “Umumnya menggunakan jagung dan tebu,” ucap Bambang Marwoto, perekayasa pada Balai Bioteknologi BPPT.
Dalam uji coba setahun, nantinya akan dipilih teknologi paling efisien. Produksi skala komersial oleh Kimia Farma berkapasitas 500 ton per tahun. (YUN)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Produksi Bahan Baku Generasi Ketiga Dirintis”.