Perlu Insentif dan Fasilitas Lengkap bagi Dokter
Dalam otonomi daerah, pemerintah provinsi perlu berperan mengatasi maladistribusi atau tak meratanya penyebaran dokter. Itu bisa dilakukan dengan memperkuat koordinasi antarkepala daerah untuk memeratakan distribusi dokter, disertai insentif yang layak dan fasilitas kesehatan yang lengkap bagi dokter.
Menurut Kepala Badan Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri, Rabu (11/5), di Jakarta, redistribusi dokter oleh pemerintah provinsi terus didorong Kemenkes. ”Pengaturan tenaga kesehatan tak bisa sentralistik lagi seperti dulu,” ujarnya, Rabu (11/5), di Jakarta.
Kemenkes masih bisa mengintervensi kekurangan dokter, tetapi khusus untuk daerah terpencil dan amat terpencil. Contoh provinsi yang menjalankan redistribusi tenaga kesehatan adalah Jawa Timur. Pemerataan tenaga kesehatan di Jatim itu tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jawa Timur Dorong Dokter Muda ke Daerah
Pemerintah Provinsi Jawa Timur berupaya memeratakan persebaran dokter dengan membuat peraturan daerah pada2014. Berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, calon dokter wajib bertugas di daerah di Jatim yang kekurangan dokter.
Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, Senin (9/5) di Surabaya, menjelaskan, setiap calon dokter yang enam bulan lagi akan lulus akan ditempatkan di sejumlah kabupaten/kota yang kekurangan dokter. Setelah lulus, jika mau bekerja di Jatim, mereka juga wajib berkarya minimal dua tahun lagi di daerah yang minim dokter.
”Mereka lalu bebas menentukan pilihan setelah masa dua tahun itu terlewati karena akan ada dokter-dokter muda lainnya yang mengisi tempat mereka di daerah pelosok,” kata Saifullah. Kabupaten/kota yang bersangkutan juga memberikan insentif yang disebut ”uang duduk” supaya dokter-dokter muda itu betah berkarya di daerah.
Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi Widji Lestariono mengatakan, pihaknya memberikan gaji Rp 4 juta per bulan, tunjangan profesi dokter spesialis Rp 10 juta per bulan, serta tunjangan jasa medis yang didapat dari persentase pendapatan pasien yang tidak masuk skema BPJS Kesehatan ataupun Jaminan Kesehatan Daerah. Hal itu dilakukan supaya para dokter betah bertugas di Banyuwangi.
Lestarionomenambahkan, pihaknya juga berupaya meningkatkan suasana kondusif dalam hal kerja dokter di Banyuwangi. Jam kerja disesuaikan tidak seperti pegawai negeri sipil pada umumnya. ”Misalnya, dokter melakukan operasi sampai dini hari pukul 03.00. Maka, dia tidak harus datang pukul 07.00,” katanya.
Dinkes Banyuwangi juga menggelar pertemuan rutin antara dokter dan bupati serta wakil bupati Banyuwangi. Dengan pertemuan itu diharapkan tercipta ikatan emosional dengan Banyuwangi. ”Jadi, tidak semata-mata bertugas, tetapi juga ikut membangun daerah,” kata Lestariono.
Untuk meningkatkan peluang perekrutan dokter, RSUD Banyuwangi dan RSUD Genteng, dua RSUD milik Pemkab Banyuwangi, telah menjalin sinergi dengan sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Islam Malang.
Menurut Perda No 7/2014, gubernur berwenang mendistribusi dan redistribusi tenaga kesehatan. Caranya dengan memindahkan atau memindahkan kembali tenaga kesehatan di daerah yang kelebihan ke daerah yang kekurangan. Bahkan, gubernur berwenang melakukan koordinasi redistribusi tenaga kesehatan antarkabupaten atau kota.
Di Surabaya, Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf menjelaskan, setiap calon dokter yang akan lulus enam bulan lagi ditempatkan di kabupaten/kota kekurangan dokter. Setelah lulus, jika mau bekerja di Jatim, mereka wajib berkarya minimal dua tahun di daerah minim dokter.
”Mereka bebas menentukan pilihan setelah masa dua tahun. Sebab, akan ada dokter-dokter muda lain mengisi tempat mereka di daerah pelosok,” ujarnya.
Pemberian insentif
Selama penempatan, dokter menerima insentif dari pemda agar betah bekerja di daerah. Pemkab Banyuwangi, misalnya, memberi gaji Rp 4 juta per bulan, tunjangan profesi dokter spesialis Rp 10 juta per bulan, dan tunjangan jasa medis yang didapat dari persentase pasien yang tak masuk skema Jaminan Kesehatan Nasional atau Jaminan Kesehatan Daerah.
Hal serupa dilakukan Pemkab Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Pemda memberikan insentif Rp 2,5 juta per bulan bagi dokter di daerah terpencil.
Selain itu, sejumlah daerah berupaya memenuhi kekurangan dokter dengan menyekolahkan putra daerah untuk jadi dokter agar setelah lulus mengabdi di daerah asalnya. Ini dilakukan Kalimantan Barat, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Bupati Sabu Raijua, NTT, Marthen Dira Tome menyatakan, pihaknya mengirim 10 calon dokter dari daerah itu untuk belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana, Kupang. Setiap calon dokter mendapat Rp 50 juta per semester.
”Sebelum dikirim kuliah, calon mahasiswa menandatangani nota kesepahaman dengan pemda bahwa setelah lulus mereka kembali mengabdi di Sabu Raijua. Jika tak dilakukan, mereka harus mengembalikan biaya kuliah,” kata Dira Tome.
Kebijakan itu dilakukan selama masih kekurangan dokter. Kini, Sabu Raijua hanya memiliki 2 dokter pegawai negeri sipil (PNS), 10 dokter kontrak, dan 3 dokter pegawai tidak tetap.
Khusus dokter PNS, pemda memberi insentif Rp 15 juta per bulan di luar tunjangan kemahalan Rp 5 juta per bulan. Pemda memberikan tunjangan insentif serupa bagi 10 dokter kontrak agar bertahan di Sabu Raijua.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Alma Lucyati, sebagian dokter tak mau ditempatkan di daerah karena fasilitas medis minim.(ETA/DEN/KOR/CHE/SEM/ENG/ADH)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Daerah Didorong Atasi Maladistribusi”.