Jadi Ajang Perguruan Tinggi Menarik Dana Masyarakat
Dibandingkan dengan program studi lain, pendidikan dokter lebih mahal karena membutuhkan sumber daya manusia dan fasilitas lebih banyak serta rumit. Namun, minat masyarakat untuk jadi dokter tetap tinggi meski mereka harus membayar hingga ratusan juta rupiah.
Tingginya minat calon mahasiswa untuk menempuh pendidikan kedokteran tampak dari tingginya peminat fakultas kedokteran di sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta. Penelusuran Kompas hingga Sabtu (7/5) membuktikan hal itu.
Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa (FK Unibos) Makassar, Sulawesi Selatan, yang baru dibuka mulai tahun ajaran 2016-2017, menerima 53 pendaftaran secara daring untuk gelombang pertama. Padahal, universitas itu akan membuka pendaftaran hingga tiga gelombang. “Semua pendaftar akan diseleksi untuk mendapat mahasiswa bermutu,” kata Rektor Unibos Muhammad Saleh Pallu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski baru dan sejumlah fasilitas penunjang masih tahap penyelesaian, Unibos mematok uang pangkal mahasiswa fakultas kedokteran Rp 225 juta dan biaya per semester Rp 10 juta.
FK Universitas Nahdlatul Ulama (Unusa) Surabaya, Jawa Timur, yang baru berjalan dua tahun pun banyak diminati warga. Tahun lalu, ada sekitar 300 pendaftar, hampir 6 kali ketimbang daya tampungnya yang hanya 50 mahasiswa baru setahun.
Bagi mahasiswa baru, pengelola FK Unusa mematok dana pengembangan pendidikan Rp 275 juta dan dana operasional Rp 25 juta per semester. “Kebutuhan dana tinggi karena pendidikan dokter perlu banyak alat khusus yang mahal,” kata Wakil Dekan FK Unusa Handayani.
Sementara FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), Jatim, menerima pendaftaran sekitar 800 calon mahasiswa per tahun. Daya tampungnya hanya 160 mahasiswa atau seperlima dari peminat yang ada.
Rektor UWKS Sri Harmadji mengatakan, FK UWKS berusia 30 tahun dan berakreditasi B. Mereka mematok uang pangkal mahasiswa baru Rp 350 juta dan Rp 3,5 juta untuk biaya pendidikan per bulan.
Di FK Universitas Trisakti, Jakarta, tahun 2015 mengenakan uang pangkal Rp 300 juta dan biaya per semester Rp 25 juta-Rp 35 juta. “Sebagai FK dengan akreditasi B, FK Trisakti boleh menerima maksimal 200 mahasiswa,” kata Dekan FK Trisakti Suriptiastuti.
Sementara FK Universitas Malahayati (Unmal), Bandarlampung, Lampung, mengenakan sumbangan Rp 250 juta bagi mahasiswa baru dan Rp 12 juta untuk sumbangan pembinaan pendidikan setiap semester.
Namun, biaya riil yang dikeluarkan mahasiswa kedokteran bisa lebih dari itu. Mahasiswa FK Unmal, Nur Hidayah (21), yang menempuh pendidikan profesi dokter, misalnya, mengaku menghabiskan lebih dari Rp 500 juta. Ia masih butuh lebih dari Rp 10 juta untuk menempuh uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter.
Peminat FK Universitas Indonesia jauh lebih tinggi. Daya tampung mereka tahun ini untuk berbagai jalur seleksi 180 mahasiswa. Padahal, peminat tahun lalu 8.682 orang. Dengan asumsi daya tampung setiap tahun sama, satu pendaftar bersaing dengan 48 pendaftar lain pada 2015.
Biaya besar
Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia Riyani Wikaningrum, biaya masuk FK yang besar sebanding dengan besarnya dana untuk menghasilkan lulusan dokter bermutu. “Proses pendidikan di FK unik, berbeda dengan program studi lain karena menggabungkan pendidikan akademik dan pendidikan profesi,” katanya.
Mata kuliah bersifat khusus membuat dosen FK mengajar satu mata kuliah tertentu. FK butuh banyak petugas laboratorium karena tak bisa dicampur mengelola laboratorium berbeda serta perlu banyak alat dan bahan sekali pakai yang mahal.
Hal itu membuat banyak universitas, khususnya swasta, mematok biaya tinggi. Banyak pengelola universitas tak paham kebutuhan dana pendidikan dokter tinggi. “Hanya 30-60 persen biaya dari mahasiswa balik ke FK demi memenuhi kebutuhan mahasiswa,” ujarnya.
Biaya mahal membuat hanya calon mahasiswa berduit yang bisa mengakses pendidikan kedokteran. Mutu calon mahasiswa, baik kemampuan akademik maupun karakter yang perlu dimiliki calon mahasiswa kedokteran, kerap dikesampingkan. “Besarnya dana membuat kelayakan pendidikan kedokteran dikesampingkan,” kata Wakil Ketua II Konsil Kedokteran Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro. Akibatnya, banyak lulusan FK tak memenuhi standar kompetensi.(ENG/DEN/GER/VIO/C01/C03/ESA/ADH/JOG/FLO/WSI/MZW)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2016, di halaman 13 dengan judul “Pendidikan Dokter Mahal”.