“That’s one small step for man, one giant leap for mankind” (Satu langkah kecil bagi seorang pria, satu lompatan besar bagi seluruh umat manusia). Neil Armstrong, 1969
Kata-kata Neil Armstrong saat mendarat di Bulan itu membuncahkan semangat 20 anak sekolah menengah atas di Indonesia terlibat dalam riset keantariksaan. Riset mereka adalah langkah kecil, tetapi menjadi pemicu lompatan besar bagi ilmu pengetahuan dan teknologi Tanah Air.
Dua tim siswa-siswi SMA membuat dua eksperimen berbeda. Tim pertama dari SMA Unggul Del di Laguboti, tepi Danau Toba, Sumatera Utara, mempelajari pertumbuhan ragi di luar angkasa dalam kondisi gravitasi hampir nol. Tim kedua, gabungan siswa asal Jakarta, Bandung, dan Jayapura (menamakan diri Laskar Pelangi Jakarta, Bandung, dan Jayapura) meneliti pertumbuhan padi pada kondisi yang sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masing-masing eksperimen dimasukkan dalam wadah5 cm x 4 cm x 15 cm yang berfungsi sebagai mikrolaboratorium untuk dikirim ke Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS), 400 kilometer dari permukaan Bumi. Mikrolaboratorium dilengkapi kamera digital, sensor, dan pengendali mikro yang semuanya terprogram otomatis agar tak merepotkan astronot. Kedua mikrolaboratorium ditumpangkan wahana kargo Cygnus yang diluncurkan dari Tanjung Canaveral, Florida, AS, pukul 11.05 WIB, menggunakan roket Atlas 5, Rabu (23/3). Cygnus merapat ke ISS, Sabtu (26/3).
ARSIP TIM ISS SMA UNGGUL DEL–Bagian dalam mikrolaboratorium riset ragi sebelum dikemas yang selanjutnya dibawa ke Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS).
Riset mereka bukan iseng. Eksperimen dirancang berkontribusi pada agenda besar dunia, yaitu misi pengiriman manusia ke Planet Mars pada 2030. Penggagas eksperimen yang juga Direktur Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) JW Saputro menjelaskan, perjalanan dari Bumi menuju Mars, 7-8 bulan.
Dengan demikian, para astronot harus bertahan tanpa pengiriman logistik dari Bumi. “Inilah hubungan antara Mars 2030 dan eksperimen mereka,” ujar Saputro saat presentasi The Space Series “Tempeh and Rice from Tanah Air Go to Space”, Minggu (17/4), di @america, Jakarta, yang dihadiri Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pengasuh Yayasan Unggul Del serta Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake.
Proses rumit
Tidak ada pengistimewaan meski pelaku eksperimen berstatus pelajar SMA. Tidak ada permakluman karena jika ada cacat pada eksperimen, misalnya kebocoran gas, rembesan air, dan hubungan pendek arus listrik, nyawa astronot jadi taruhan. Untuk itu, mikrolaboratorium itu diuji kelayakannya serupa para peneliti profesional, sebelum dinyatakan “lulus” untuk dibawa ke luar angkasa.
Gisella Austine, siswi SMA Pelita Harapan Lippo Village dari tim padi, menceritakan, timnya harus merombak rancangan mikrolaboratorium jadi lebih rumit untuk memenuhi standar keamanan. “Kami diajari membuat wadah eksperimen sesuai spesifikasi, tidak beli jadi. Spesifikasi antara lain ada ventilasi, irigasi mudah, bisa untuk menaruh media tumbuh, dan transparan,” katanya.
Penelitian dirancang untuk periode sebulan karena hanya untuk tahu bisa-tidaknya padi tumbuh pada gravitasi hampir nol. Padi dipilih untuk antisipasi jika ada astronot yang dikirim berasal dari Jepang, Tiongkok, atau Indonesia. Namun, tim harus menggunakan padi bersertifikat asal Colorado, AS, bukan Indonesia. Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) ketat mensyaratkan semua barang harus terlacak, salah satunya dengan sertifikat.
Siswa SMA Unggul Del, Hagai Sinulingga, anggota tim ragi, menuturkan, karena jatah daya listrik hanya 100 miliampere per mikrolaboratorium, tim memiliki anggota bidang pemrograman untuk membuat setiap peranti bekerja bergantian agar daya cukup. Kamera yang terpasang pun beresolusi minim, 20-35 kilopiksel.
Hagai mengatakan, timnya menggunakan ragi roti atau fermipan. Di masa datang, riset ini bisa dilanjutkan untuk tahu peluang fermentasi membuat tempe di luar angkasa.
Eksperimen ragi terprogram untuk dua minggu. Supaya perkembangan ragi terhenti pada waktunya, cairan formalin berkadar 50 persen diprogramkan mengalir melalui pipa ke ragi. Penggunaan formalin berkadar tinggi hampir jadi masalah karena ditakutkan bocor. Namun, NASA akhirnya membolehkan.
Keberlanjutan
Saputro mengatakan, anggarannya Rp 500 juta per eksperimen atau total Rp 1 miliar. Untuk ongkos kirim dalam wahana Cygnus, pihaknya intens melobi agar ada “diskon”. Biaya yang seharusnya Rp 4 miliar per kilogram diturunkan 95 persen jadi Rp 200 juta per kg (dua eksperimen berbobot total 1 kg).
Tak ada kontribusi dana pemerintah, murni pendekatan sana-sini guna dapat donatur. Meski demikian, Saputro yakin, eksperimen keantariksaan macam ini bisa terus berjalan. Keberhasilan pengiriman eksperimen ini menunjukkan, masih ada sumber daya non-pemerintah. Semoga ada langkah nyata pemerintah agar kemajuan iptek nasional ada lompatan besar.(JOHANES GALUH BIMANTARA)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Langkah Kecil untuk Lompatan Besar”.