Dokter dan pasien kini punya lebih banyak pilihan obat kanker paru akibat mutasi reseptor pertumbuhan. Hal itu menyusul hadirnya obat generasi kedua untuk terapi lini pertama. Hasil studi memperlihatkan, dibandingkan dengan obat generasi pertama, obat generasi kedua ini lebih menjanjikan.
Sebelum hadirnya obat kanker paru non-sel kecil (NSCLC) dengan mutasi pada reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) generasi kedua, obat generasi pertama yang dipakai para dokter ialah gefetinib.
Setelah riset selama 20 tahun, pada 2010 muncul afatinib, obat kanker paru NSCLC dengan mutasi EGFR positif generasi kedua. Lalu, hasil riset afatinib diterbitkan Journal of Clinical Oncology, Juli 2013, dipaparkan dalam pertemuan tahunan masyarakat onkologi klinis Amerika Serikat pada 2012. Afatinib lebih kuat dan tepat mengatasi penyebaran sel kanker NSCLC dengan mutasi EGFR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, afatinib menjadi terapi lini pertama kanker paru NSCLC dengan mutasi EGFR positif di lebih dari 60 negara di dunia. Itu terkait hasil uji klinis studi LUX-Lung 3 yang menunjukkan, pemberian afatinib memperlambat progresivitas kanker ketimbang kemoterapi.
Bahkan, studi global terbaru, Lux-Lung 7 fase IIb menunjukkan keunggulan afatinib ketimbang gefetinib. Dalam pertemuan regional jurnalis di Seoul, Korea Selatan, akhir Maret 2016, Ketua Studi Lux-Lung 7 Prof Keunchill Park mengatakan, afatinib menekan risiko keganasan kanker 27 persen lebih besar daripada gefitinib. Risiko kegagalan pengobatan juga turun 27 persen pada pasien yang memakai afatinib.
Dari aspek lama rata-rata pasien hidup tanpa kankernya menyebar atau memburuk (PFS), afatinib lebih unggul daripada gefitinib. PFS afatinib pada 18 bulan 27 persen, sementara gefitinib 15 persen. Adapun PFS afatinib pada 24 bulan 18 persen dan gefitinib 8 persen. Jadi, lebih banyak pasien dengan afatinib hidup tanpa kankernya memburuk daripada pasien dengan gefitinib.
“Sungguh keajaiban. Pasien saya yang dirawat di ruang intensif dan dikira akan meninggal mengonsumsi afatinib dan bisa keluar dari ruang intensif, pulang, beberapa minggu kemudian bisa berjalan seperti biasa,” kata Keunchill yang juga Direktur Lembaga Pengobatan Kanker Inovatif (ICMI) di Samsung Medical Center, Sungkyunkwan University School of Medicine, Seoul, Korsel.
Studi global
Lux-Lung 7 ialah studi global pertama yang membandingkan afatinib dengan gefitinib. Studi itu melibatkan 316 pasien kanker NSCLC stadium IIIb atau IV dengan mutasi EGFR positif dan belum pernah menjalani pengobatan. Separuh dari pasien yang berpartisipasi asal Asia. Semua keunggulan dalam studi Lux-Lung 7 fase IIb itu dipaparkan dalam 14th Annual British Thoracic Oncology Group (BTOG) Conference di Dublin, Irlandia, 29 Maret lalu.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), insiden kanker paru pada pria di Indonesia 25.332 orang dan angka kematian 21,8 persen per 103.100 orang. Insiden kanker paru pada perempuan lebih kecil, yakni 9.374 dengan angka kematian 9,1 persen per 92.200 orang.
Guru Besar Onkologi Medis yang juga Deputi Direktur Pusat Riset Kanker Paru Sun-Yat Sen University, Li Zhang, mengatakan, di Asia, kanker paru memicu kematian pada banyak pria. Lebih dari separuh kanker paru di dunia ada di Asia. Tahun 2020, Asia Timur dan Asia Tenggara akan menghadapi beban kanker paru tinggi.
Dari semua kasus kanker paru, 85 persennya termasuk kanker paru NSCLC. Dari semua pasien kanker paru NSCLC, 40 persen pasien ras Asia dan 10-15 persen pasien ras Kaukasia punya karakter genetik spesifik sama, yakni mutasi EGFR.
Cara kerja
Pertumbuhan jaringan sehat di paru diatur reseptor tertentu. Mutasi reseptor memengaruhi pertumbuhan jaringan pemicu kanker. Pada pasien kanker, sejumlah gen bermutasi memicu pertumbuhan sel tak normal.
Salah satu reseptor ialah EGFR, berfungsi mengikat faktor pertumbuhan epidermal (EGF) sebagai rambu bagi sel untuk memperbanyak diri (proliferasi). Maka, saat EGF ditangkap EGFR, sel teraktivasi dan bersiap memperbanyak diri.
Umumnya, sinyal memperbanyak diri dikeluarkan saat jaringan terluka sehingga perlu perbanyakan untuk mengganti sel-sel mati. Pada sel kanker, EGFR teraktivasi dan tak bergantung pada EGF. Pada sebagian pasien kanker paru, EGFR bermutasi. Maka EGFR bermutasi jadi overaktif, memberi sinyal ke sel agar tumbuh, memperbanyak diri, dan menyebar.
Afatinib menghalangi sinyal dari EGFR yang bermutasi sehingga perintah pada sel untuk memperbanyak diri tak sampai. Pemberian afatinib ialah terapi target spesifik tanpa kemoterapi. Tak seperti gefetinib, dampak afatinib tak bisa diubah. Jadi, sinyal pertumbuhan, penyebaran, dan metastasis sel kanker tak bisa menembus afatinib.
Namun, afatinib lebih toksik dibandingkan dengan gefitinib sehingga ada efek samping pada pasien berupa diare dan ruam (kemerahan pada kulit). Efek itu bisa dikelola dengan mengurangi dosis afatinib.
Menurut Keunchill, hadirnya afatinib bukan berarti gefitinib tak punya manfaat dan ditinggalkan. Perbedaan keduanya ada pada efikasi dan efek samping. Dengan ada dua obat itu, dokter bisa memilih yang sesuai kebutuhan dan toleransi pasien.–ADHITYA RAMADHAN
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Pilihan Baru yang Menjanjikan”.