Kehamilan Tidak Dikehendaki Penyebab Menonjol Perkawinan Anak
Pemahaman anak tentang seksualitas perlu digalakkan agar anak-anak tidak terjerumus pada pernikahan dini. Saatnya pelajaran kesehatan reproduksi berbasis pemahaman relasi jender diperkenalkan sejak dini.
Hal itu dikemukakan Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) Lies Marcoes seusai Seminar dan Peluncuran Monografi Film Dokumenter Kawin Anak: Fenomena Kerja Kuasa Tersamar dan Yatim Piatu Sosial, Kamis (21/4), di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.
Lies mengatakan, lembaga riset dan advokasi Rumah Kitab melakukan penelitian selama satu tahun di wilayah-wilayah yang secara statistik berkontribusi pada tingginya perkawinan anak, yakni di Banten; Jawa Barat (Bogor, Cirebon, dan Sukabumi); Jawa Timur (Lamongan dan Sumenep); Sulawesi Selatan (Makassar); serta Nusa Tenggara Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari 52 sampel perempuan yang diwawancara, terungkap penyebab paling menonjol perkawinan anak adalah kehamilan tidak dikehendaki (KTD). Hal ini berujung pada kawin paksa. Para perempuan tidak paham mengenai hal-hal seperti penyebab kehamilan, masa subur, dan kontrasepsi.
Lies menuturkan, pendidikan kesehatan reproduksi masih dianggap tabu bagi masyarakat Indonesia. Dia mencontohkan, penggunaan torso (alat peraga anatomi tubuh manusia)di sebuah sekolah di Banjarmasin dilarang digunakan dalam pembelajaran karena dianggap haram untuk diajarkan kepada murid. Padahal, pengenalan pada kesehatan reproduksi bisa menciptakan sikap saling menghormati antara perempuan dan laki-laki. Hal ini pun menopang kesehatan secara mental.
”Perempuan bisa menghormati dirinya sendiri dan menjaga alat reproduksinya. Pria pun akan menghormati kesucian perempuan,” kata Lies menegaskan.
Pengajaran ini bisa dilakukan secara berjenjang sejak SD melalui metodologi yang sesuai dengan umur anak. Misalnya, murid SD diajari hal-hal umum terlebih dahulu mengenai pembuahan pada hewan untuk menanamkan pemahaman akan reproduksi.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, menyatakan setuju tentang hal itu. Para guru diminta untuk tidak menganggapnya sebagai beban.
”Jangan sampai guru hanya membahas mengenai apa itu retina atau telinga. Para murid harus memahami segalanya tentang tubuh mereka, termasuk alat reproduksi,” ujar Nihayatul.
Mengenalkan hak tubuh
Menurut Nihayatul, guru juga perlu mengajarkan mengenai hak-hak akan tubuh agar anak terhindar dari praktik perkawinan anak, pelecehan, dan kekerasan.
Selain Nihayatul, hadir sebagai narasumber adalah Ketua Umum Badan Penasihat, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Wahyu Widiana serta Ketua Yayasan Pondok Pesantren Aqidah Usymuni Sumenep Dewi Khalifah.
Sementara itu, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Nusa Tenggara Barat Wismaningsih, saat ditemui di Mataram, mengatakan, pada 2015, ada 34,9 persen Perempuan di NTB menikah pada rentang usia 10-19 tahun. Hal ini tak lepas dari interpretasi adat, agama, faktor kemiskinan, dan ketidaktahuan mengenai penanganan perkembangan hormon remaja.
Maraknya Pernikahan Dini di NTB
Kepala Bidang Pembina Layanan KB dan Kesehatan Reproduksi BP3AKB Nusa Tenggara Barat Dini Haryati menuturkan, maraknya pernikahan diniberdampak tingginya angka kematian ibu (AKI) di daerah tersebut.Tahun 2013 ke atas belum ada data mengenai jumlah AKI di NTB. Namun, data Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012 menunjukkan AKI NTB adalah 370 per 100.000 kelahiran. Jumlah ini lebih tinggi dari AKI nasional, yakni 359 per 100.000 kelahiran.
”Berdasarkan pengamatan, kematian terjadi kepada ibu-ibu usia muda yang hamil di kala kandungannya belum siap karena belum berkembang sempurna. Selain itu, juga pada perempuan yang terlalu sering hamil dan melahirkan.
Rentan manipulasi
Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Persatuan Keluarga Berencana Indonesia NTB Satyawanti memaparkan, anak-anak yang lahir di keluarga berekonomi lemah umumnya tidak memiliki akta kelahiran. Ketika anak perempuan menginjak usia remaja awal, orangtua merasa terbebani membiayai kehidupan dia. Akibatnya, anak perempuan dinikahkan untuk meringankan beban ekonomi keluarga karena kini ia adalah tanggung jawab suami.
”Orangtua memanfaatkan Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan batas usia minimal untuk menikah ialah 16 tahun. Mereka juga memanipulasi usia anak dan mengatakan kalau dia sudah 16 tahun. Tidak ada yang bisa membuktikan usia anak yang sebenarnya karena tidak ada akta kelahiran,” kata Satyawanti.
Selain anak perempuan, anak laki-laki juga menjadi korban pernikahan dini. Orangtua ketakutan ketika anak-anak menginjak masa puber dan mulai tertarik dengan lawan jenis. Ketika kedua anak mulai berpacaran, orangtua menikahkan mereka agar tidak terjadi hubungan seksual di luar nikah. Akibatnya, baik anak laki-laki maupun perempuan putus sekolah.
Presiden ucapkan selamat
Presiden Joko Widodo di sela kunjungan kenegaraan di Brussels, Belgia, Kamis (21/4) pagi waktu setempat, menyampaikan selamat Hari Kartini kepada seluruh perempuan Indonesia di mana pun berada.
”Masa depan bangsa ada di tangan para Kartini, tiang negeri dan motor kemajuan. Habis gelap terbitlah terang. Selamat Hari Kartini,” ujar Presiden Jokowi. Presiden juga menuliskan pernyataan ini pada akun Twitter- nya yang memiliki 4,8 juta pengikut. (C04/DNE/HAM)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 April 2016, di halaman 12 dengan judul “Pemahaman Seksualitas Cegah Pernikahan Dini”.