Suatu pagi pada awal Maret lalu, suhu udara Budapest, Hongaria, sekitar 1 derajat Celsius. Hawa dingin menembus kamar hotel. Pukul 05.00, ketika orang-orang masih tertidur, Eko Purwanto sudah mandi dan berpakaian rapi. Dari Budapest, pagi itu ia memperkenalkan Hongaria kepada 12 sekolah di Indonesia secara langsung melalui konferensi video menggunakan teknologi Skype.
Eko bukan sarjana teknologi informasi. Dia adalah guru sekolah dasar di salah satu desa di Jawa Tengah. Acara pagi itu merupakan inisiatifnya di sela-sela pertemuan 300 pendidik di seluruh dunia yang dikumpulkan Microsoft dalam acara Educator Exchange 2016 di Budapest. Eko bersama dengan empat guru lain turut aktif sebagai peserta dalam ajang tukar pengalaman pendidikan itu.
Selama lebih kurang satu jam, Eko asyik menerangkan kota yang dilewati Sungai Danube itu. Ternyata, banyak pertanyaan di luar dugaan dari anak-anak yang mengikuti video streaming. Generasi anak-anak SD dan SMP yang masuk dalam kategori apa yang disebut dengan Generasi Z mempunyai daya kritis yang merata berkat sentuhan teknologi komunikasi sejak dini. Seorang peserta guru di Budapest, Andri Wahyu Pradhana dari SMPN 6 Ponorogo, Jawa Timur, membantu Eko dengan mencari jawaban lewat selancar di situs-situs internet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Ada siswa yang tanya, berapa jumlah Muslim di Hongaria, warga asli Hongaria itu siapa? Saya browsing,lalu layar monitor laptop saya arahkan ke Pak Eko agar dia bisa menjawab. Yang paling tajam, ada pertanyaan dari siswa di Bekasi, ’terus setelah pulang dari Hongaria, hal apa yang bisa diterapkan di Indonesia’,” kata Andri yang setia membantu Eko.
Eko sudah sering mengajar secara virtual. Beberapa di antaranya tentang Borobudur. Ia berkeliling dan naik ke atas candi ketika mengajar di Sekolah Dasar Wonokerto, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Minim fasilitas
Jauh dari fasilitas komunikasi dan teknologi justru menjadi tantangan tersendiri bagi laki-laki kalem ini. ”Sekolah saya itu di pedesaan, sarana pun tidak ada. Komputer ada untuk bendahara yang mengurusi BOS (bantuan operasional sekolah) dan operator. Untuk siswa, tidak ada. Maka, saya ingin mengenalkan teknologi kepada para siswa. Kalau pembelajaran, saya pakai laptop saya atau pinjam istri,” ujar lulusan pendidikan guru sekolah dasar dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, ini.
Setelah diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 2011, ia mempunyai ”senjata” (berupa surat keputusan) untuk mencari utang. Eko lalu pinjam uang Rp 7 juta untuk membeli proyektor In Focus demi kepentingan pembelajarannya.
”Fasilitas komputer itu, kan, biasanya dimiliki sekolah favorit. Saya, kan, di pinggiran. Siswanya saja sekarang satu sekolah 83 orang, yang terdiri dari enam kelas. Satu desa, ada dua sekolah. Saya beli proyektor dengan uang saya karena tak mungkin mengharapkan dari sekolah yang harus membayar honor guru wiyata bakti,” ungkapnya.
Bagi Eko, teknologi adalah jendela ilmu. Dengan teknologi, kita bisa mengakses semua informasi yang dibutuhkan. Kalau mencari informasi lewat buku, ada keterbatasan. Apalagi, buku juga harus dibeli atau dipinjam di perpustakaan.
”(Kalau) cari buku di mana-mana enggak ketemu, (saya) browsing internet. Materi (di internet) jauh lebih banyak daripada di buku dan lebih murah,” tutur Eko.
Eko tidak punya latar belakang pendidikan formal dalam teknologi. Namun, kemampuan Eko menjalankan program dan aplikasi di komputer tak perlu diragukan. Kemampuan itu hasil belajar dan kursus sendiri. Sebagai guru muda, dia tidak bisa mengharapkan mendapat jatah pelatihan dari sekolah atau dinas pendidikan.
Dia merasa terbantu ketika menemukan situs Microsoft yang mengajarkan pelatihan secara online. Semua materi kursus, percakapan dengan anggota komunitas pendidik internasional, tentu saja dilakukan dalam bahasa asing. ”Terus terang, bahasa Inggris saya itu minim, tetapi kita, kan, punyaGoogle Translate, Bing Translator. Kalau mengalami kesulitan dalam memahami kata-kata asing tersebut, kita pakai teknologi itu,” imbuhnya.
Untuk berselancar di dunia maya dengan laptop, Eko memakai fasilitas tethering (membagi koneksi internet dari telepon seluler ke perangkat yang lain) melalui telepon selulernya. Bagi guru seperti Eko, mengeluarkan dana Rp 50.000 sepekan untuk mengakses tutorial video kursus adalah jumlah yang besar.
Pelajaran tentang Borobudur
Dengan berbagai keterbatasan itu, tetap saja muncul ide genial mengajar secara virtual tentang Candi Borobudur. Awalnya, Eko hanya ingin mengenalkan teknologi konferensi video (menggunakan Skype) kepada siswa dan guru. Supaya menarik, ia membahas topik tentang Borobudur yang lokasinya tak jauh dari sekolah.
Pembelajaran virtual pertama kali tentang Borobudur dilakukan dengan sekolah dasar di Ponorogo, Jawa Timur. Kebetulan, Eko mengenal gurunya karena sesama anggota komunitas pendidik dan sudah punya program Skype.
”Guru dan siswa-siswa bisa langsung melihat situasi secara live tentang Borobudur, saya turun dan naik ke atas candi, menjelaskan sejarah, stupa, dan relief di candi. Anak-anak langsung tanya, jadi interaktif,” ungkap Eko.
Dalam waktu enam bulan terakhir ini, Eko sudah dua kali mengajar tentang Borbudur secara virtual. Pada kesempatan yang kedua, peserta video streaming Borobudur terdiri dari siswa-siswa dari 10 sekolah yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta.
Semua ia lakukan secara gratis. Sebaliknya, ia harus keluar uang untuk membayar tiket masuk Borobudur dan pulsa data internet untuk telepon selulernya. Padahal, semua yang dia lakukan bukan untuk kelas yang selama ini menjadi tanggung jawabnya.
”Awalnya, saat mengajar di Borobudur, saya dikejar dan disemprit petugas satpam karena muter-muter sambil omong sendiri. Mungkin saya dianggap orang gila,” ujar Eko.
Kini, dia melangkah lebih jauh. Di komputernya telah tersedia 10 obyek wisata di Magelang yang menarik, seperti seni pahat batu dan kayu, Ketep Pass, dan Candi Mendut. Semuanya akan dimasukkan ke dalam situs komunitas pendidik internasional.
Melalui cara itu diharapkan obyek wisata di Magelang akan menjadi bahan obrolan, bahkan mungkin ada yang ingin laporan langsung lewat Skype. Pada akhirnya, mereka diharapkan akan mengunjungi Magelang.
”Jadi, bukan memikirkan diri sendiri saja, melainkan juga memikirkan apa yang bisa saya buat untuk Magelang walaupun kecil saja,” ujarnya.
KOMPAS/BAMBANG SIGAP SUMANTRI
EKO PURWANTO
LAHIR: Cilacap, 22 November 1985
ISTRI: Sri Lestari
ANAK:
Muhammad Ayyash Tsaqlif Maulidan
PENDIDIKAN:
Sarjana Pendidikan Guru SD, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
PEKERJAAN:
KEGIATAN DAN PENGHARGAAN:
Mengikuti pelatihan ”free online course” tingkat internasional, seperti di situs Future Learn, EdX, Intel Education Community, Education Microsoft, Microsoft Virtual Academy, Coursera, English Town.
Melatih mahasiswa, dosen, guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di wilayah Jateng dan Jabar dengan jumlah lebih dari 750 orang.
Mengembangkan metode pembelajaran R-Project Method.
Mengembangkan integrasi perangkat pembelajaran menggunakan OneNote.
Mendapat juara dan penghargaan Awards Gamify Category di Budapest, Hongaria, 2016.
BAMBANG SIGAP SUMANTRI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di halaman 16 dengan judul “Pendidik Virtual dari Desa”.