Metode Terapi Kian Maju

- Editor

Jumat, 18 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengobatan Jantung Bebani Ekonomi
Metode penanganan penyakit jantung terus berkembang. Salah satunya penggunaan stent bersalut obat yang larut dalam pembuluh darah. Dengan intervensi minimal invasif tersebut, pasien memiliki peluang kesembuhan lebih tinggi dan efek samping pun jauh berkurang.

Terkait hal itu, Kamis (17/3), pakar kardiologi intervensi asal Indonesia, Prof Dr Teguh Santoso SpPD KKV SpJP, Prof Dr Hanafi B Trisnohadi SpPD SpJP, dan Dr Linda Lison SpJP, mendapat kehormatan memperagakan kemampuan mereka secara langsung kepada para dokter ahli kardiologi dari sejumlah negara. Intervensi kardiologi itu disiarkan langsung dan disaksikan sekitar 6.000 peserta China Interventional Therapeutics (CIT), di Beijing, Tiongkok.

Para panelis ahli dari sejumlah negara itu berinteraksi dengan tim bedah di Indonesia. Tim bedah dari Rumah Sakit Medistra, Jakarta, itu menangani dua pasien penyakit jantung koroner kompleks dengan bioresorbable scaffold (BRS). Demonstrasi penanganan dua pasien jantung itu berlangsung sekitar dua jam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pasien pertama adalah perempuan berusia 52 tahun yang terkena penyakit jantung akibat hipertensi. Ia dianjurkan menjalani bedah jantung, tapi tak mau karena ada risiko terkena serangan jantung. Pasien kedua adalah pria berusia 53 tahun yang kena penyakit jantung akibat diabetes melitus, hipertensi, dan komplikasi penyakit lain serta sebelumnya ditolak bedah oleh dokter RS di luar negeri.

Teguh Santoso menjelaskan, BRS merupakan teknologi baru penanganan jantung jenis stent. Selama ini stent digunakan untuk menahan dan menghilangkan penyempitan pembuluh darah demi memperlancar pasokan darah ke jantung. Metode BRS diterapkan di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.

“Saya tak punya data pastinya, tapi saya pernah berjumpa dengan perusahaan pembuat BRS di Amerika Serikat. Mereka bilang, dari total penjualan, 85 persennya di Indonesia, jumlahnya mendekati ribuan,” ujarnya.

Larut dalam tubuh
Perbedaan BRS dengan stent lainnya adalah kemampuan BRS untuk larut dalam tubuh. Berbeda dengan stent berbahan metal, BRS memakai bahan PLLA (poly leuctic acid) yang lambat laun bisa larut dalam tubuh. “Saat memasang BRS pada pembuluh darah disertakan obat. Bahan PLLA ini bisa larut dalam tubuh seiring berjalannya waktu dan tak beracun,” kata Teguh.

Setelah dipasang di tubuh pasien, BRS larut dalam 3-6 bulan dan hilang sepenuhnya di tubuh dalam 2-5 tahun, bergantung pada kondisi pasien. Selain itu, BRS yang saat ditempel juga bersalut obat itu membuat pembuluh darah kembali mengembang seperti sebelum ada gangguan. “Ini lebih aman dari stent karena metal bisa bergerak, patah, dan mengganggu operasi bypass,” ucapnya.

Namun, Teguh menilai BRS belum sepenuhnya sempurna. “Obatnya ditempel di dinding metal agar meresap di dinding pembuluh darah, tapi polymer-nya kerap tak bisa larut. Dalam jangka panjang, itu bisa bermasalah, menimbulkan reaksi hipersensitifitas, serta peradangan pembuluh darah,” ujarnya.

Saat ini harga BRS sekitar Rp 25 juta per unit atau setara dengan dua stent. Namun, menurut Teguh, sedikit perusahaan asuransi di Indonesia yang mau menanggung biaya pemasangan BRS. “Pasien yang dipasangi BRS tetap harus menjaga pola makan, bergaya hidup sehat, dan tak merokok,” katanya.

Teknologi penanganan jantung di Indonesia diyakini terus berkembang. “Banyak metode baru penanganan jantung, misalnya katup bocor harus dioperasi, lalu ada teknologi tanpa operasi. Ke depan, kian banyak teknologi dan bisa diterapkan untuk menyembuhkan pasien di Indonesia,” ucap Teguh.

Menurut Direktur Rumah Sakit Medistra Susi Bolang, pihaknya berusaha mengikuti perkembangan teknologi dan metode pengobatan terbaru. “Tujuannya agar pasien selalu memiliki alternatif. Selalu ada jalan,” katanya seusai demonstrasi penanganan dua pasien penyakit jantung koroner kompleks di RS Medistra, Jakarta, kemarin.

Penyakit jantung terjadi karena pasokan aliran darah ke jantung terganggu akibat penyempitan pembuluh darah. Penyempitan itu disebabkan, antara lain, kerak di pembuluh darah, penimbunan lemak, atau kelainan pembuluh sempit. Itu dipicu rokok, pola makan tak sehat, kurang berolahraga, dan bawaan.

Menurut penghitungan Forum Ekonomi Dunia, 5 jenis penyakit tak menular di Indonesia, yakni penyakit kardiovaskular, seperti jantung dan stroke, kanker, paru, diabetes, serta gangguan kesehatan jiwa, pada 2012-2030 menimbulkan kerugian 4,47 triliun dollar AS atau Rp 58.000 triliun (Kompas, 20 Mei 2015). (C11)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2016, di halaman 13 dengan judul “Metode Terapi Kian Maju”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB