Standar Keresek Ramah Lingkungan Belum Ada

- Editor

Sabtu, 5 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia belum memiliki standar kantong plastik ramah lingkungan. Kantong plastik yang disebut mudah hancur belum terjamin aman karena kemungkinan hancur dalam potongan lebih kecil, tetapi bertahan di alam. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu mengkaji ulang standar produk kantong plastik.

Standar dari Kementerian LHK saat ini, Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 7188.7 Tahun 2011, hanya menyebut kriteria ekolabel bagi produk kantong belanja plastik. “Tak disebut ramah lingkungan,” kata peneliti pada Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Edi Iswanto Wiloso, dalam Sosialisasi Hasil Riset LIPI, Kamis (3/3), di Jakarta.

Edi menambahkan, standar dari Kementerian Perindustrian, SNI 7818 Tahun 2014, juga hanya berjudul Kantong Plastik Mudah Terurai. Artinya, belum ada standar yang menyebut jenis plastik tertentu termasuk ramah lingkungan sehingga penggunaan istilah itu mesti hati-hati.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI Agus Haryono menambahkan, perlu kehati-hatian, termasuk pada kantong plastik oxo-degradable. Pada plastik jenis itu, katalis logam ditambahkan agar mengoksidasi plastik. “Ada yang yakin kantong plastik oxo-degradable setelah terurai lebih mudah dipecah mikroba. Itu belum ada bukti ilmiah,” ujarnya.

Plastik oxo-degradable dikhawatirkan hanya hancur dalam ukuran kecil, tetapi menghasilkan mikroplastik dan mengapung di lautan. Mikroplastik bisa dikonsumsi biota laut dan masuk ke rantai makanan. Perilaku buang sampah ke sungai menyebabkan sampah plastik masuk laut dan memperbanyak mikroplastik.

Untuk itu, LIPI mengembangkan plastik berbahan hayati atau bioplastik, yakni dari beragam tanaman, khususnya yang ada di Indonesia. Bahan yang bisa dipakai antara lain minyak sawit, pati, jagung, tebu, dan kentang. Namun, harganya lebih mahal ketimbang kantong plastik biasa karena produksi skala laboratorium. Di Belanda, harga bioplastik murni biodegradable (100 persen berbahan hayati sehingga mudah diurai mikroba) 8 kali lebih tinggi ketimbang plastik biasa. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Standar Keresek Ramah Lingkungan Belum Ada”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB