Musim Hujan yang Setengah Hati

- Editor

Selasa, 1 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hujan saat puncak musim tak lagi turun selebat dan sesering tahun sebelumnya. Hujan lebat lebih dari sehari berturut-turut, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, baru dirasakan sepekan terakhir. Fenomena El Nino, “Si Bocah Laki-laki”, masih berpengaruh ke cuaca Tanah Air.

Iya, aneh banget sekarang, musim hujannya telat,” kata Stella Tanasa, Sabtu (27/2), di Jakarta, yang sejak lahir 25 tahun lalu tinggal di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tahun-tahun sebelumnya, hujan lebat mengguyur Jakarta sejak Oktober hingga Februari. Kali ini, musim hujan baru terasa Februari, itu pun lebih banyak mendung dan hujan ringan.

Rumah Stella kurang dari 1 kilometer dari Sungai Ciliwung. Tahun 2014, luapan air sungai masuk ke rumahnya hingga 1-1,5 meter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sama bingungnya dengan Stella adalah Nancy Natalia (25), warga Sunter Jaya, Jakarta Utara. Ia merasakan hal berbeda dengan musim hujan periode ini. Biasanya, hujan turun beruntun dalam beberapa hari sejak Januari. Namun, tahun ini, ia baru merasakan hujan signifikan pada Kamis-Jumat lalu.

“Kawasan rumah gue sering kebanjiran,” ujar Nancy. Tahun lalu, rumahnya tergenang banjir dengan ketinggian semata kaki.

Tahun 2015, Jakarta didera banjir parah pada awal Februari atau saat masih puncak musim hujan. Kompas (10/2/2015) memberitakan, Jakarta kembali dilanda banjir hari Senin (9/2/2015), yang menimbulkan 107 lokasi genangan, lebih dari 3.700 orang mengungsi, 1 orang tewas terseret arus Kali Sentiong, dan 1 orang meninggal di Kabupaten Bekasi akibat tersengat listrik. Bahkan, banjir melanda kawasan Istana Kepresidenan, Monumen Nasional, dan Balai Kota Jakarta.

Lebat sementara
Tahun ini, hujan lebat mengguyur sejumlah lokasi di Jakarta dan sekitarnya sejak Rabu (24/2). Ribuan rumah terendam di Bekasi, lokasi-lokasi genangan serta banjir bermunculan di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Padahal, puncak musim hujan bagi Jakarta dan sekitarnya bisa dikatakan sudah lewat.

Apakah puncak musim hujan bergeser? “Tidak. Hujan lebat seperti kemarin hanya bersifat sementara,” kata Kepala Pusat Iklim, Agroklimat, dan Iklim Maritim pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Nurhayati, Jumat lalu, di kantornya.

Hujan beberapa hari terakhir di Jakarta dan sekitarnya dipengaruhi “gangguan” berupa kemunculan pusat tekanan rendah di pesisir utara Australia. Massa udara basah dari Asia yang bertekanan udara lebih tinggi bergerak melalui Laut Tiongkok Selatan, berbelok ke timur, lalu tersedot ke selatan menuju pusat tekanan rendah itu.

Di daerah belokan angin, termasuk Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), potensi pembentukan dan pertumbuhan awan hujan meningkat. Pada sisi lain, embusan angin muson Asia yang memicu angin baratan nan basah juga sedang dominan, memperkuat potensi hujan.

Namun, Nurhayati memprediksi kondisi itu hanya beberapa hari. Pekan depan, cuaca kemungkinan kembali berawan atau jika hujan berintensitas ringan. Artinya, kondisi musim hujan yang dirasa Stella aneh masih akan berlanjut.

Jadi, musim hujan kali ini tidaklah normal. Nurhayati menuturkan, curah hujan selama musim hujan ini terdistribusi ke dalam periode yang lebih panjang di Indonesia bagian selatan khatulistiwa. Akibatnya, potensi hujan lebat dalam waktu singkat berkurang. Jumlah curah hujan dalam bulan-bulan yang biasanya termasuk musim hujan pun di bawah normal.

Dengan demikian, curah hujan tidak terkonsentrasi di masa puncak musim hujan, terutama di Pulau Jawa. Potensi cuaca ekstrem di periode puncak musim hujan pun berkurang. Hujan lebat tak sesering tahun-tahun sebelumnya. Jika ada banjir, tidak separah tahun lalu.

Awal musim mundur
Sebagai pembanding, kondisi awal musim hujan periode 2014/2015 umumnya normal atau sama dengan rata-ratanya. Sebagian besar wilayah Indonesia dalam periode itu masuk musim hujan pertengahan Oktober hingga akhir November. Sementara itu, awal musim hujan 2015/2016 mundur rata-rata lebih dari satu bulan, sebagian besar wilayah masuk musim hujan November-Desember.

Penyebab kondisi itu karena perebutan pengaruh antara El Nino dan sistem muson Asia. El Nino adalah fenomena menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di sekitar garis khatulistiwa, yang membuat jumlah curah hujan wilayah Indonesia tertekan sehingga kekeringan melanda dan awal musim hujan terlambat. Angin muson Asia adalah angin yang bertiup setiap enam bulan, membawa massa udara basah dari Asia ke Australia saat matahari sedang di belahan bumi selatan, dan menjadi penanda musim hujan di sebagian besar Indonesia.

El Nino berintensitas kuat (ditandai nilai indeks NINO3.4 yang melebihi 2 derajat celsius) bertahan lama, sejak Oktober 2015 hingga awal Februari 2016. Badan Meteorologi Australia (BOM) mencatat, indeks NINO3.4 pada pekan pertama Februari 2,09 derajat celsius, lalu meluruh menjadi 1,99 derajat celsius pada pekan kedua, dan 1,79 derajat celsius pada pekan ketiga. Saat sistem muson Asia sedang melemah, pengaruh El Nino bakal lebih besar sehingga mengurangi potensi hujan di Indonesia selatan khatulistiwa.

Karakter El Nino 2015/2016 yang menguat dan melemah secara perlahan juga berkontribusi pada panjangnya periode distribusi curah hujan, tidak seperti El Nino 1997/1998 yang cukup drastis. Januari 2015, El Nino sudah terdeteksi pada intensitas lemah, sedangkan Januari 1997 sama sekali belum ada El Nino dan baru muncul sekitar April 1997. Padahal, puncak El Nino di kedua masa itu mirip, yakni November.

“Hilangnya hujan di tengah musim hujan juga pernah terjadi,” ujar Nurhayati. Secara historis, pada tahun-tahun pasca El Nino, seperti tahun 1997/1998, 2004/2005, 2006/2007, dan 2009/2010, Indonesia sering mengalami kekeringan 1-2 minggu pada periode musim hujan karena transisi El Nino ke kondisi netral.

Usai kondisi kering, masyarakat perlu bersiap dengan hari-hari basah, termasuk sejak musim kemarau 2016. Istilahnya musim kemarau basah karena curah hujan selama periode itu bakal di atas normal.

Salah satu pemicunya adalah La Nina yang mungkin terjadi mulai Juli, Agustus, atau September. Berkebalikan dengan El Nino, La Nina yang berarti “Anak Perempuan” adalah fenomena mendinginnya suhu muka laut di Samudra Pasifik area khatulistiwa. Kondisi itu membuat suplai uap air bagi Indonesia, terutama di selatan khatulistiwa, bertambah. Jika itu terjadi, curah hujan bakal sering lebat.–J GALUH BIMANTARA
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2016, di halaman 9 dengan judul “Musim Hujan yang Setengah Hati”.
——
Hujan Lebat Hanya Sementara

Area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek, terutama di barat dan utara, diguyur hujan berintensitas sedang hingga lebat, setidaknya Rabu (24/2) hingga Kamis (25/2). Namun, situasi tersebut kemungkinan hanya berlangsung sementara. Potensi hujan dengan intensitas serupa diprediksi hanya hingga tiga hari mendatang.

“Intensitas akan meluruh. Hujan akan ringan saja mendatang,” kata Kepala Pusat Iklim, Agroklimat, dan Iklim Maritim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Nurhayati, Jumat (26/2), di Jakarta. Hujan lebat di Jabodetabek merupakan dampak keberadaan pusat tekanan rendah di utara Australia.

Pusat tekanan rendah itu menarik massa udara dari Asia sehingga menimbulkan pertemuan atau konvergensi massa udara di sekitar Jawa dan memicu pembentukan serta pertumbuhan awan hujan, termasuk di Jabodetabek. Selain itu, intensitas angin muson Asia sedang kuat sehingga angin baratan yang bersifat basah dominan.

Setelah sekitar tiga hari, kata Nurhayati, intensitas curah hujan kemungkinan akan kembali seperti hari-hari sebelumnya di Jabodetabek, yakni hanya berintensitas ringan. Itu karena curah hujan terdistribusi dalam periode lebih panjang sehingga potensi hujan lebat berkurang, khususnya pada wilayah Indonesia di selatan khatulistiwa.

Kondisi itu disebabkan perebutan pengaruh antara fenomena El Nino dan monsun Asia. El Nino adalah fenomena menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di sekitar garis khatulistiwa. Itu menekan jumlah curah hujan wilayah Indonesia sehingga awal musim hujan terlambat dan curah hujan selama musim hujan menurun dibandingkan dengan kondisi normal.

Terkait hujan lebat yang lalu di Jakarta, Kepala Bidang Informasi Meteorologi Publik BMKG A Fachri Radjab menjelaskan, tidak ada kontribusi air kiriman dari Bogor, daerah hulu sungai, terhadap genangan di sejumlah titik. “Hujan di Puncak, Bogor, tidak terlalu deras,” ujarnya.

Fachri menambahkan, hujan berintensitas sedang-lebat banyak terkonsentrasi di Jabodetabek wilayah barat dan utara. Area Cengkareng menerima curah hujan tertinggi, yaitu 148 milimeter per hari (Kamis, 25/2 pukul 07.00-Jumat, 26/2 pukul 07.00). Sementara curah hujan di daerah Puncak sekitar 8-10 milimeter per hari pada periode sama.

Hary Tirto Djatmiko, Kepala Subbidang Informasi Meteorologi BMKG, menerangkan, terdapat aliran massa udara dingin yang kuat bernama seruakan dingin (cold surge) dari Benua Asia ke wilayah Indonesia. Tandanya, kecepatan pergerakan massa udara di Laut Tiongkok Selatan 45 kilometer per jam atau lebih.

Seruakan dingin itu membentuk belokan dan pertemuan angin di Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Kaltim, Kalteng, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua bagian barat. Itu membuat potensi hujan berintensitas sedang-lebat masih ada satu-tiga hari ke depan, termasuk untuk Jabodetabek.

Namun, kata Hary, faktor-faktor lain juga berperan penting terhadap peningkatan intensitas curah hujan. Faktor itu di antaranya suhu muka laut hangat di wilayah Indonesia dan masuknya aliran massa udara dari perairan di barat Australia. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Hujan Lebat Hanya Sementara”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB