Demam berdarah dengue bisa cepat menyebar karena meningkatnya populasi nyamuk sebagai vektor, tingginya mobilitas manusia, dan berubahnya lingkungan. Namun, kini penyebaran bisa lebih cepat. Nyamuk tak butuh lagi darah manusia yang mengandung virus dengue karena sejak lahir mereka sudah membawa virus dengue.
Umum diketahui, penularan virus dengue terjadi saat nyamuk Aedes aegypti menggigit orang yang terinfeksi virus dengue. Kemudian, nyamuk yang sama menggigit orang lain dan menularkan virus melalui liurnya.
Dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (2011) dijelaskan, saat nyamuk Aedes aegypti menelan darah yang terinfeksi, virus bereplikasi di lapisan sel epitel usus tengah, lolos ke hemocoel (rongga berisi darah pada artropoda), dan menginfeksi kelenjar ludah. Virus lalu masuk air liur dan ditularkan saat nyamuk menggigit manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ternyata tak hanya itu. Sebagian populasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor DBD mengalami transovarial, yakni penularan virus dengue dari induk nyamuk ke nyamuk generasi berikutnya melalui telur yang dihasilkan.
Dalam kondisi tertentu, virus memasuki organ reproduksi dan ikut masuk saat pembentukan telur. Akibatnya, telur-telur yang dihasilkan nyamuk terinfeksi virus dengue. Jumlahnya mencapai 150 butir.
Entomolog dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga, Widiarti, Senin (22/2), di Kota Salatiga, Jawa Tengah, menjelaskan, tak ada yang berubah pada tubuh nyamuk. Transovarial dimungkinkan terjadi. Kini, kasusnya kian banyak ditemukan karena populasi nyamuk makin banyak.
Pada 2006, Widiarti dan timnya meneliti transovarial pada ribuan larva Aedes aegypti dan Aedes albopictus di lima daerah di Jateng, yaitu Tegal, Kendal, Grobogan, Sukoharjo, dan Kota Semarang. Larva yang tumbuh jadi nyamuk berusia satu minggu ditemukan tak mengandung virus. Namun, saat usia nyamuk 12 hari, mulai ditemukan 0,48 persen hingga 8,77 persen nyamuk positif mengandung antigen virus dengue.
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN–Informasi lengkap seputar nyamuk sebagai pembawa penyakit tersedia di museum nyamuk Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (20/2). Museum itu menjadi sarana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat terkait penyakit karena nyamuk.
“Saat masih usia satu minggu, mungkin virusnya belum aktif. Virus baru terdeteksi saat usia nyamuk 12 hari. Karakteristik transovarial ini bisa diturunkan hingga generasi kelima, bahkan dalam beberapa riset disebutkan bisa diturunkan hingga generasi ketujuh,” ucap Widiarti.
Di sejumlah negara, transovarial pada nyamuk Aedes aegypti juga ditemukan dalam banyak riset. Di Singapura, misalnya, Vincent TK Chow dkk (1998) di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran National University of Singapore, melaporkan, 20 persen nyamuk yang ditangkap dari alam positif mengandung virus dengue.
Riset itu juga mendeteksi virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti jantan. Itu menunjukkan, nyamuk Aedes aegypti jantan menerima virus dari induknya karena nyamuk jantan tak menggigit manusia.
Perkembangbiakan nyamuk juga dipengaruhi perubahan iklim, curah hujan, dan perubahan lingkungan. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto, itu disebut bionomik nyamuk. Awalnya, nyamuk bersifat zoofilik (menggigit hewan), lalu berubah jadi antropofilik (menggigit manusia) karena ada komunitas manusia di dekat tempatnya berkembang biak.
Tekan populasi
Populasi nyamuk yang kian banyak akibat perubahan lingkungan dan kemungkinan terjadi transovarial yang kian tinggi memicu meningkatnya peluang penyebaran virus dengue pada manusia. Cara mengatasinya ialah menekan populasi nyamuk.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang menduga, transovarial ialah bentuk adaptasi virus dengue pada perubahan lingkungan.
Fakta transovarial itu memperkuat pentingnya pemberantasan sarang nyamuk yang dilakukan serentak dan terus-menerus. Widiarti menjelaskan, langkah 3M, yakni menguras penampungan air, menutup penampungan air, dan mengubur barang bekas, harus ditambah langkah menyikat tempat penampungan air untuk menghilangkan telur nyamuk. Jika itu tidak dilakukan, telur nyamuk yang bisa bertahan enam bulan pada kondisi kering bisa sewaktu-waktu menetas saat kena air.
Maka dari itu, setelah menyikat, penampungan air mesti disiram dengan air panas agar telur-telur itu mati. Pemberantasan sarang nyamuk itu efektif jika serentak dan rutin sebelum masa puncak penularan. Sebab, populasi nyamuk belum sebanyak saat puncak musim hujan. Pertumbuhan populasi nyamuk bisa ditekan.
Pengasapan (fogging) yang selama ini dilakukan, menurut Widiarti, rawan menyebabkan nyamuk jadi kebal jenis insektisida tertentu. Karena kerap terpapar insektisida sama, terjadi mutasi struktur genetika nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan insektisida tak lagi ampuh membunuh nyamuk.
Untuk itu, pengasapan harus dirotasi agar tak terus memakai insektisida jenis sama di satu lokasi. Pengasapan juga seharusnya dilakukan setidaknya tiga bulan sebelum puncak penularan (Januari-Maret) dan minimal pada dua kali siklus hidup nyamuk dengan jeda satu minggu. Jika hanya dilakukan satu kali, telur atau larva masih akan tumbuh jadi nyamuk dewasa yang membawa virus.–AMANDA PUTRI DAN ADHITYA RAMADHAN–(J GALUH BIMANTARA)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Nyamuk “Aedes” Siap “Tempur””.