Meski gerhana matahari terjadi saat posisi Matahari, Bulan, dan Bumi segaris, hal itu tidak memberi pengaruh besar pada gravitasi Bumi. Posisi kesegarisan ketiga benda langit itu adalah posisi yang sama yang selalu terjadi sebulan sekali saat fase Bulan mati. Karena itu, gerhana matahari tidak perlu dikhawatirkan akan memicu gempa atau gelombang besar.
“Gerhana matahari memang memengaruhi gravitasi Bumi, tetapi nilai perubahannya sangat kecil sekali sehingga sering diabaikan,” kaya Agustya Adi Martha dari Subbidang Gravitasi dan Tanda Waktu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jakarta, Jumat (19/2). Nilai gravitasi di permukaan Bumi adalah 9,8 meter per detik kuadrat atau 980 gal.
Penelitian Xin-She Yang dan Qian-Shen Wang (2002) tentang perubahan gravitasi Bumi saat gerhana matahari total (GMT) 9 Maret 1997 di Mohe, Tiongkok timur laut, menunjukkan adanya penurunan gravitasi Bumi 6-7 mikrogal atau 0,0000060,000007 gal saat kontak pertama dan kontak terakhir piringan Bulan dengan piringan Matahari. Namun, selama fase totalitas gerhana, gravitasi Bumi kembali normal. Perubahan yang sangat kecil itu membuat dampak gerhana terhadap perubahan gravitasi Bumi diabaikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski sangat kecil, sejatinya setiap perubahan posisi Matahari dan Bulan terhadap Bumi akan selalu menimbulkan perubahan nilai pasang surut Bumi. Namun, perubahan pasang surut Bumi yang kecil itu sulit diamati dan tak menimbulkan dampak berarti.
Hipotesis para ahli juga menyebut kesegarisan posisi Matahari, Bulan, dan Bumi saat terjadi gerhana matahari akan menimbulkan daya tarik maksimum di titik yang dilalui garis sumbu ketiga benda langit itu. Kondisi itu dikhawatirkan akan memicu terjadinya gempa bumi. Namun, data Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menunjukkan tidak ada korelasi antara gerhana dan terjadinya gempa.
“Pemicu gempa juga sangat bervariasi meski umumnya dipicu pergerakan lempeng bumi,” kata Agustya.
Jika gerhana matahari tidak menimbulkan perubahan pasang-surut bumi, gerhana juga tidak memengaruhi pasang-surut laut. Itu berarti pasang surut air laut saat gerhana matahari tidak akan banyak berbeda dengan pasang surut laut saat fase Bulan mati atau Bulan purnama yang terjadi setiap bulannya.
“Gerhana matahari hanya akan meningkatkan tinggi permukaan air laut sekitar 10 sentimeter (cm) dibandingkan dengan ketinggian rata-rata pasang maksimum setiap bulannya,” kata Kepala Bidang Jaring Kontrol Gaya Berat dan Pasang Surut Badan Informasi Geospasial (BIG) Ibnu Sofian. Kenaikan pasang maksimum itu akan lebih kecil dibandingkan dengan saat terjadi badai di Samudra Pasifik atau Laut Tiongkok Selatan yang akan meningkatkan permukaan laut 20 cm dibandingkan dengan rata-rata pasang maksimum sebelumnya.
Berdasarkan data gerhana matahari sebelumnya, seperti GMT 11 Juni 1983, tidak ada laporan ada kenaikan pasang maksimum yang tinggi hingga menimbulkan banjir di sekitar pantai. Bahkan, ketika itu, para peneliti dan wisatawan yang memadati Pantai Tanjung Kodok, Lamongan, Jawa Timur, juga tidak terganggu kenaikan muka air laut.
Berdasarkan kondisi itu, pengamatan GMT 9 Maret 2016 di sejumlah wilayah pantai, khususnya di barat Indonesia, juga tidak akan mendapat gangguan berarti dari kenaikan pasang air laut.
Pola pasang surut di Belitung dan Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung bersifat diurnal atau puncak pasang surut terjadi sekali dalam satu hari. Pada 9 Maret mendatang, pasang tertinggi di daerah itu diperkirakan sekitar 1 meter di atas permukaan air laut rata-rata dan terjadi pukul 09.00. Sejak pukul 06.00, saat proses gerhana mulai berlangsung, pasang air laut setinggi 80 cm.
Adapun surut terdalam di kedua daerah itu juga hanya 1 meter di bawah tinggi rata-rata permukaan air laut dan terjadi sekitar pukul 12.00 atau sesudah proses gerhana selesai. Hal itu berarti pengamatan GMT di Belitung dan Bangka Tengah nantinya bersamaan dengan pasang maksimum.
“Masyarakat yang mengamati GMT di daerah pantai tidak perlu khawatir karena tidak akan ada kenaikan air pasang yang membahayakan. Hanya pasang seperti biasanya,” kata Ibnu.
Sementara itu, di Palu, Sulawesi Tengah, pola pasang surut di daerah itu semidiurnal atau puncaknya terjadi dua kali dalam sehari. Pasang maskimum terjadi pukul 18.00 dan 06.00 pagi, sedangkan surutnya terjadi pukul 12.00 dan tengah malam. (MZW)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Gravitasi Bumi Terpengaruh, tetapi Tak Signifikan”.