Gerhana Matahari Total 2016, Ajang Pembuktian Teori Relativitas Einstein

- Editor

Rabu, 17 Februari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Teori relativitas umum yang dikemukakan fisikawan besar Albert Einstein tahun 1915 telah mengubah cara pandang manusia tentang diri dan semestanya. Keberhasilan sejumlah uji yang dilakukan sesudahnya oleh ilmuwan dari seluruh dunia makin mengukuhkan ketepatan teori itu dan melambungkan kegeniusan Einstein.

Salah satu implikasi yang diprediksi teori relativitas umum Einstein adalah pembelokan cahaya bintang oleh benda bermassa besar. Gravitasi benda bermassa besar itu juga akan melengkungkan ruang dan waktu di sekitarnya. Cahaya yang melintasi ruang dan waktu yang melengkung itu juga akan berbelok mengikuti kelengkungan ruang dan waktu yang dilaluinya. Konsekuensinya, pembelokan cahaya di dekat benda bermassa besar akan kian lebar.

Sejak dikemukakan Einstein, teori relativitas umum tersebut menarik banyak ahli membuktikannya. Meskipun demikian, proses pembuktian pembelokan cahaya bintang oleh gravitasi itu sudah dilakukan jauh sebelum Einstein menyampaikan teorinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Peneliti astronomi dan astrofisika pada Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Rhorom Priyatikanto, Selasa (16/2), mengatakan, pembelokan cahaya bintang oleh gravitasi suatu benda sebenarnya sudah diprediksi berdasar teori Newton yang dikemukakan Isaac Newton sejak akhir abad ke-17.

Salah satu penghitungan pembelokan cahaya bintang menggunakan teori Newton dilakukan Johann Georg von Soldner pada 1801. Hasilnya, cahaya bintang di dekat piringan Matahari mengalami pembelokan sebesar 0,87 detik busur. Pembelokan sekecil itu setara lebar uang logam Rp 500 yang dilihat dari jarak 6 kilometer. Dengan teknologi saat itu, pembelokan sekecil itu sulit dibuktikan.

Perhitungan Einstein pada 1915 menggunakan teori relativitas umum menghasilkan pembelokan cahaya bintang di sekitar Matahari 1,74 detik busur atau dua kali perhitungan Soldner. Pembelokan lebih besar itu memudahkan mengukurnya sehingga bisa dibuktikan teori siapa yang lebih tepat memprediksi pembelokan cahaya bintang: Newton atau Einstein.

Perhitungan Einstein itu memancing sejumlah ahli untuk membuktikannya. Salah satunya fisikawan asal Cambridge, Inggris, Arthur Eddington. Sejak 1916, ia merancang proses pembuktian dengan menghitung pembelokan bintang di sekitar Matahari saat gerhana matahari total (GMT) pada 29 Mei 1919.

Tim peneliti asal Amerika Serikat dengan peralatan sangat modern seberat 6 ton bersiap mengamati gerhana matahari total di Pantai Tanjung Kodok, Lamongan, Jawa Timur, awal Juni 1983. Di saat ada larangan pemerintah bagi warga beraktivitas di luar rumah saat gerhana matahari total 11 Juni 1983, peneliti-peneliti asing justru berbondong-bondong datang ke Pulau Jawa untuk mengamati fenomena alam tersebut. Kompas/Ninok Leksono (NIN) 11-06-1983
Tim peneliti asal Amerika Serikat dengan peralatan sangat modern seberat 6 ton bersiap mengamati gerhana matahari total di Pantai Tanjung Kodok, Lamongan, Jawa Timur, awal Juni 1983. Di saat ada larangan pemerintah bagi warga beraktivitas di luar rumah saat gerhana matahari total 11 Juni 1983, peneliti-peneliti asing justru berbondong-bondong datang ke Pulau Jawa untuk mengamati fenomena alam tersebut.
Kompas/Ninok Leksono (NIN)
11-06-1983

 

“Matahari dipilih sebagai benda yang membelokkan cahaya bintang karena Matahari benda terbesar dan termasif di tata surya,” kata peneliti astronomi dan astrofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Rukman Nugraha.

GMT dipilih sebagai momentum penghitungan karena saat tak terjadi gerhana, cahaya bintang di belakang Matahari tidak bisa dilihat, terkalahkan terangnya sinar Matahari. Karena itu, GMT satu-satunya cara melihat pembelokan cahaya bintang di sekitar Matahari karena selama GMT, sesaat siang berubah jadi malam sehingga bintang-bintang di sekitar Matahari terlihat.

Citra langit di belakang Matahari yang dipotret saat GMT berlangsung akan dibandingkan dengan citra langit di areal yang sama saat tidak ada Matahari. Biasanya, citra langit di lokasi yang sama itu dipotret dengan jeda enam bulan sebelum atau sesudah GMT terjadi.

GMT pada 29 Mei 1919 yang dijadikan obyek penelitian Eddington melihat pembelokan cahaya bintang itu melintasi Brasil, Samudra Atlantik, dan berakhir di Afrika Barat. Eddington bersama rekannya, Frank Dyson, mengamati GMT di Pulau Principe, Afrika Barat.

Saat gerhana, Matahari tepat di depan gugus bintang Hyades di bagian kepala rasi Taurus.

Meski sempat terkendala akibat Perang Dunia I, Eddington dan Dyson berhasil mengambil citra langit saat GMT. Dengan membandingkan citra langit di arah yang sama beberapa waktu kemudian, Eddington mengukur pembelokan bintang-bintang di gugus Hyades sebesar 1,61 detik busur. Hasil yang mendekati perhitungan Einstein itu membuktikan teori Einstein-lah yang lebih tepat menjelaskan fenomena pembelokan cahaya bintang oleh benda bermassa besar.

Relevansi
Pembuktian pembelokan cahaya bintang berdasar teori relativitas umum itu tidak hanya dilakukan Eddinton dan Dyson. Sejumlah penelitian dilakukan setelah itu. Salah satunya, pembuktian astronom Jerman, Erwin F Freundlich, saat mengamati GMT 9 Mei 1929 di Takengon, Aceh.

Karena beberapa kali dibuktikan, Rhorom menilai pengukuran pembelokan cahaya bintang saat GMT 9 Maret 2016 kurang punya arti istimewa secara saintifik. “Namun, secara historis tetap menarik,” katanya.

Tim peneliti Lapan akan menghitung pembelokan cahaya bintang saat GMT di Ternate, Maluku Utara. Rukman menilai, pengukuran pembelokan cahaya bintang saat GMT masih relevan. Bukan semata mengukuhkan teori relativitas umum, melainkan juga wadah edukasi. (MZW)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Ajang Pembuktian Teori Relativitas Einstein”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB