Dibutuhkan Kerja Sama untuk Pendataan dan Pemetaan Sebaran
Virus Zika diperkirakan telah menyebar di banyak daerah, bukan hanya di Jambi, seperti dilaporkan Lembaga Eijkman sejak 2015. Tahun lalu juga muncul laporan warga Australia positif terinfeksi virus Zika setelah digigit monyet di Bali. Pada 2013, ada kasus serupa.
“Temuan virus Zika pada pasien dari Australia sepulang dari Bali ini perlu dipelajari untuk memetakan sebaran virus Zika di Indonesia,” kata Kepala Unit Malaria Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Tedjo Sasmono, di Jakarta, Senin (1/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia, virus Zika pertama kali ditemukan pada monyet di Hutan Zika, Uganda, pada 1947 sehingga jika benar monyet di Bali yang menularkan virus Zika, maka harus dikaji mendalam. “Virusnya diisolasi dengan metode PCR (polymerase chain reaction) di Australia. Kami belum tahu detailnya” kata Tedjo.
Ditemukannya virus Zika yang menginfeksi warga Australia sepulang dari Bali dilaporkan para peneliti Australia pada jurnal Southeast Asian J Trop Med Public Health edisi Mei 2015. Disebutkan, pelancong dari Australia mengalami gejala demam, ruam, dan radang pada mata lima hari setelah digigit monyet di Bali. Seusai diperiksa, positif ditemukan infeksi virus Zika. Dalam jurnal disebutkan, gigitan monyet itu tidak bisa dipastikan sebagai penyebab penularan virus Zika. Bisa jadi pelancong itu digigit nyamuk selama di Bali.
Laporan ini menambah panjang dugaan penyebaran virus Zika di Indonesia. Pada 2013, perempuan Australia yang baru pulang setelah sembilan hari di Jakarta dilaporkan terinfeksi virus Zika. Seperti kasus warga Australia yang terinfeksi Zika di Bali, proses isolasi virus ini juga dilakukan di Australia serta dilaporkan Jason C Kwong dan timnya dalam American Journal Tropical Medicine and Hygiene tahun 2013.
Bahkan, tahun 1981, tim peneliti yang terdiri dari JG Olson, Ksiazek, Suhandiman, dan Triwibowo melaporkan dalam jurnal Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene tentang adanya satu pasien di Rumah Sakit Tegalyoso, Klaten, yang terinfeksi virus Zika. Saat itu memang yang ditemukan hanya serulogi atau netralisasi antibodi terhadap virus Zika, bukan virusnya sendiri karena metode PCR yang bisa mengisolasi virus belum ditemukan.
Pada 1983, JG Olson dan timnya juga melaporkan keberadaan Zika di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Mereka menemukan 6 dari 71 sampel yang diperiksa memiliki antibodi terhadap virus Zika. “Antibodi adalah respons tubuh untuk mengeliminasi virus yang menginfeksi tubuh. Jadi, kalau ada antibodi Zika, kemungkinan besar memang ada. Hanya saja teknologinya saat itu belum mampu melakukan isolasi terhadap virus,” kata Deputi Direktur Eijkman Herawati Sudoyo.
Menurut dia, isolasi terhadap virus Zika ataupun virus-virus lain memang tidak mudah. “Untuk menemukan virus dibutuhkan teknologi, selain juga anti virus atau kontrol untuk mengetesnya. Setiap virus beda-beda kontrolnya dan untuk virus yang tidak umum atau prevalensinya kecil ini harus diimpor. Proses impor ini yang sering kali tidak mudah dilakukan,” katanya.
Kolaborasi antarlembaga
Herawati menyarankan, untuk memetakan prevalensi virus Zika ini membutuhkan kolaborasi antarlembaga. “Kementerian Kesehatan pasti butuh dukungan karena tidak mungkin bisa melakukan surveilans dan menganalisis sampelnya dari seluruh wilayah Indonesia. Yang penting jejaring dengan kelembagaan lain dan pembagian tugas sesuai kapasitas,” katanya.
Berdasarkan pengalaman Lembaga Eijkman, selama ini tidak mudah untuk memperoleh sampel yang bisa diperiksa. Selain tidak semua kasus wabah demam dengue dilaporkan, bahkan terkadang ada juga rumah sakit yang menolak bekerja sama.
Sebagai contoh, dalam kasus tingginya kasus demam berdarah di wilayah Jambi pada 2013-2014, hanya satu rumah sakit swasta, yaitu Rumah Sakit Siloam, yang mendukung pengambilan sampel untuk dikaji lebih mendalam kemungkinan adanya serangan virus lain.
“Dari 210 sampel pasien demam yang kami terima dari Rumah Sakit Siloam saat itu, sebanyak 107 sampel positif dengue, sementara yang negatif ada 103 sampel. Dari yang negatif inilah yang kemudian setelah diperiksa secara molekuler ditemukan satu yang positif terinfeksi virus Zika,” kata Tedjo. “Kami masih belum tahu, sisa 102 sampel lain yang negatif dengue. Apa yang menyebabkan demam itu. Bisa virus lain atau bakteri. Ini masih tanda tanya,” ujarnya.
Menurut Herawati, dalam kasus maraknya serangan demam berdarah akhir-akhir ini, seperti terjadi di Jombang, Jawa Timur, idealnya dilakukan juga pemetaan untuk virus Zika. Hal ini karena nyamuk yang menularkan demam berdarah juga berpotensi menyebarkan virus Zika dan berbagai virus lainnya. (AIK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Zika Tidak Hanya di Jambi”.
——————–
Agar Tidak Terinfeksi Virus Zika, Warga Harus Perkuat Kekebalan Tubuh
Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Surabaya, Chairul Anwar Nidom, mengatakan, masyarakat perlu memperkuat kekebalan tubuh agar tidak mudah terinfeksi virus Zika yang saat ini sedang menginfeksi ribuan orang di Brasil dan dua negara lain di Benua Amerika.
“Penanganan terhadap virus Zika bisa dengan dua cara. Pertama, dengan cara yang menyasar virusnya, yakni dengan vaksin dan kedua, cara yang menyasar tubuh kita dengan imunomodulator. Karena saat ini belum ada vaksin untuk virus Zika, yang bisa dilakukan adalah memperkuat kekebalan tubuh,” ujar Nidom, Senin (1/2/2016) yang dihubungi dari Jakarta.
Nidom mengatakan, pengembangan vaksin memerlukan waktu lama, sedangkan infeksi Zika saat ini telah menyebar luas, terutama di Amerika. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan masyarakat saat ini adalah menjaga tubuh agar tetap sehat dan bugar sehingga tidak mudah terinfeksi.
Nyamuk “Aedes”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam laman resminya, menyatakan bahwa Zika adalah virus dari golongan Flaviviridae yang ditularkan ke manusia oleh nyamuk Aedes. Orang yang terjangkit virus Zika akan merasakan gejala seperti sakit kepala, ruam di wajah, leher, dan lengan atas. Mungkin juga menyebar ke telapak tangan dan kaki, demam, dan nyeri punggung.
Karena belum ada obat khusus untuk infeksi virus Zika, pengobatan hanya diarahkan pada penguatan imunitas tubuh dan mengatasi gejala yang muncul atau dirasakan. Selain itu, yang terpenting ialah hindari gigitan nyamuk.
Direktur Jenderal WHO Margaret Chan berencana menggelar pertemuan Senin ini di Geneva, Swiss, membahas langkah yang akan diambil WHO selanjutnya terkait merebaknya virus Zika di 23 negara di Amerika.
AP/FELIPE DANA—Dalam foto yang diambil pada 29 Januari 2016 ini, Tainara Lourenco, yang hamil lima bulan, berdiri di luar rumahnya di kawasan kumuh di Recife, Brasil.
Wakil Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB Papdi) Ari Fahrial Syam mengatakan, gejala virus Zika sama dengan infeksi virus pada umumnya, yakni pasien mengalami gejala demam mendadak, lemas, kemerahan di kulit badan, punggung, dan kaki, yang kemudian disertai nyeri otot dan sendi.
Beda gejala virus Zika dengan demam berdarah dengue (DBD) adalah orang yang terinfeksi virus Zika matanya memerah karena mengalami radang konjungtiva. Perbedaan lain dengan DBD ialah infeksi virus Zika tidak menunjukkan penurunan kadar trombosit seperti pada pasien DBD.
Kepala Subdirektorat Surveilans dan Respons Kejadian Luar Biasa Kemenkes Ratna Budi Hapsari mengatakan, seperti halnya dalam mengantisipasi penyakit DBD, masyarakat juga diminta untuk terus menjaga kebersihan agar tidak terinfeksi virus Zika. Gerakan 3M plus, yakni menguras, menutup, dan mengubur tempat yang memungkinkan menampung air, perlu dilakukan terus.
Menurut Ratna, penanganan infeksi virus Zika tidak perlu dibedakan dengan DBD atau chikungunya. “Ini, kan, virus belum ada obatnya, sama dengan DBD, jadi sasarannya tentu vektor penyakitnya,” kata Ratna.
ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas Siang | 1 Februari 2016