Buku Konvensional Tetap Digunakan untuk Pendalaman Materi
Mengadaptasi perkembangan teknologi digital yang berdampak pada perilaku membaca siswa, sejumlah sekolah membebaskan siswa untuk menggunakan media digital sebagai sumber belajar dalam mengerjakan tugas. Cara ini pun relevan dengan kurikulum.
Namun, demi kemandirian mencari data dan informasi, siswa tetap diharuskan memperkaya materi yang terdapat di buku pelajaran tercetak.
Cara kreatif tersebut terpantau di sejumlah sekolah di Jakarta dan sekitarnya, Senin (1/2). Di SMA Negeri 21 Jakarta Timur, misalnya, siswa menggunakan portal berita daring untuk mengikuti perkembangan isu-isu nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alasannya, selain mendapatkan informasi berupa teks, beberapa portal berita juga menyajikan video dan ruang diskusi antar-pembaca.
“Dari media digital saya bisa dapat gambaran visual bergerak. Lalu, melalui diskusi pertukaran informasi makin interaktif. Kedua hal itu tidak saya dapat dari media cetak,” kata Prita Sekar, siswi kelas XII SMA tersebut.
Model pembelajaran serupa ditemukan di SMAN 2 Bekasi. Budiarso, salah seorang guru di sekolah tersebut, menyatakan, cara ini menangkal kecenderungan siswa belajar secara instan, tanpa terbiasa berpikir terstruktur dan sistematis. Contohnya, saat siswa ditugasi mencari referensi untuk tugas sekolah melalui media daring.
“Kebanyakan mereka hanya meng-copy dan paste tanpa kembali membaca tugas yang mereka kerjakan,” kata Budiarso.
Hal tersebut diakui Safa Salsabilah, siswi kelas X-Bahasa. Ia tidak mampu menceritakan kembali tugas penulisan prosa lama mengenai Botol Ajaib. “Belum sempat dibaca, kemarin baru ngumpulin bahan,” kata Safa.
Tetap baca buku
Di sejumlah sekolah lain, siswa memperkaya pemahaman materi dengan mengombinasikan medium konvensional (analog) dengan medium digital. Perubahan perilaku di era digital disesuaikan dengan pola ajar di sekolah.
Di SMAN 29 Jakarta, siswi XII-IPS, Alifia (17), merasa nyaman membaca melalui gawai ketimbang buku cetak. Melalui gawai, ia mendapatkan berbagai informasi terkini dengan cepat dan mudah. Tampilan visual yang dinamis pada gawai menjadi daya tarik tersendiri untuk melahap muatan informasinya.
“Media digital lebih atraktif dan informatif sehingga menarik untuk dibaca, beda dengan buku fisik yang visualnya cenderung kurang menarik, membuat lebih cepat bosan,” kata Alifia.
Mengimbangi perilaku siswa, para guru akhirnya mengizinkan siswa untuk menggunakan gawai saat mengerjakan tugas sekolah.
Tsany (16), Ketua OSIS SMAN 87 Jakarta, mengatakan, pola pembelajaran seperti ini juga relevan dengan Kurikulum 2013 yang berbasis pemanfaatan teknologi.
Di SMAN 4 Tangerang Selatan, siswa hanya intens membaca buku cetak saat pelajaran Bahasa Indonesia. Aksanu (16), siswa XI-IPS, mengatakan, ia dan teman-temannya diminta membaca biografi, resensi, puisi, dan membuat kliping dari koran.
Berdasarkan pantauan, pelajaran Bahasa Indonesia adalah satu dari sekian pelajaran yang masih mempertahankan budaya membaca buku fisik.
“Sayangnya, pelajaran Bahasa Indonesia hanya dua kali sepekan. Itu pun 90-135 menit per pertemuan,” ujar Aksanu yang diiyakan Hanif, rekannya. (C05/C06)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Februari 2016, di halaman 12 dengan judul “Digital-Cetak Melengkapi”.