Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terpapar berbagai virus. Selain penemuan virus Zika di Jambi pada 2015, beberapa jenis virus lain, seperti West Nile, masuk ke Indonesia, tetapi belum terpetakan sebarannya. Namun, sistem surveilans sebagai bagian dari proteksi terhadap penyakit menular, terutama disebabkan virus, dinilai masih lemah.
Menurut Deputi Direktur Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo di Jakarta, Minggu (31/1), dengan banyaknya pelabuhan dan titik masuk ke Kepulauan Nusantara, Indonesia yang ada di daerah tropis berpotensi mengalami ledakan kasus zoonosis atau penyakit bersumber binatang.
Herawati menambahkan, penemuan virus Zika dan sejumlah virus lain di Indonesia bukan merupakan surveilans yang sistematis untuk memetakan sebaran penyakit zoonosis atau penyakit ditularkan lewat hewan ke manusia atau sebaliknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami menemukan ini dalam riset ilmiah, untuk melihat secara komprehensif sumber penyakit yang tak diketahui dan kerap dikira virus dengue atau malaria,” kata Herawati. Eijkman ialah lembaga riset biologi molekuler di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Selama ini, laporan kasus kematian dengan gejala demam tinggi, tetapi belum diketahui penyebab dan sumbernya, kerap ditemui. Misalnya, kasus itu dilaporkan terjadi pada Oktober hingga akhir November 2006 di RS Sint Carolus, seperti disampaikan Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan melalui laman resmi mereka.
“Karena kasus-kasus itu, Eijkman membentuk panel. Jadi, begitu ada kasus demam akut dan negatif dengue atau malaria, langsung masuk panel yang kami buat untuk meneliti virus yang baru muncul (emerging). Selain itu, ada kasus yang semula negatif dengue, dengan platform yang lebih sensitif, ditemukan ada dengue positif,” ujarnya.
Seperti temuan virus Zika, Eijkman menemukan virus West Nile (WNV) saat meneliti sampel pasien yang demam, tetapi setelah negatif dengue. “Karena samplingnya tak mudah, awalnya kami pakai materi arsip lebih dahulu. Ternyata, pada 2014 ditemukan WNV,” kata Herawati.
Virus Zika jadi perhatian dunia setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan waspada, terutama setelah dugaan kuat virus itu memicu melonjaknya kasus bayi dengan mikrosefalus.
Namun, WNV pun perlu diwaspadai. Seperti demam berdarah dengue dan Zika, WNV juga disebarkan lewat gigitan nyamuk. Kasus WNV pertama kali ditemukan di Uganda, lalu menyebar ke sejumlah negara lain. Penderitanya biasanya demam, sakit kepala, nyeri otot, muntah, diare, dan ruam. Sekitar 10 persen kasus WNV disertai gejala neurologi dan mematikan.
Adanya WNV dilaporkan Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC) Universitas Airlangga, Surabaya, 2014. Saat itu, TDDC melaporkan ada pasien positif terinfeksi WNV dan sembuh.
Menurut peneliti Emerging Virus Research Unit Lembaga Eijkman, Frilasita Yudhaputri, kemungkinan WNV telah lama ada di Indonesia. Sebab, sampel pasien yang diteliti Eijkman dan positif WNV ialah material lama, didapat dari dua rumah sakit di Kota Bandung pada 2004-2005.
Surveilans sistematis
Kepala Unit Dengue Lembaga Eijkman Tedjo Susmono mengatakan, belum ada data sebaran virus Zika ataupun WNV. Idealnya, ada surveilans sistematis untuk memetakan berbagai virus. Minimnya laporan sebaran virus Zika atau WNV tak menjamin tak ada virus itu karena surveilans komprehensif belum dilakukan.
Pemerintah Kolombia, Sabtu (30/1), mengumumkan, lebih dari 2.000 perempuan hamil terinfeksi Zika. Lembaga Kesehatan Nasional Kolombia melaporkan, 20.297 orang terinfeksi Zika, 2.116 di antaranya perempuan hamil. Kolombia di urutan kedua negara paling terdampak di kawasan itu setelah Brasil.
Meski gejala infeksi ringan, Zika diduga terkait melonjaknya kasus mikrosefalus, kondisi bayi lahir dengan kepala dan otak kecil. Tak ada laporan kasus mikrosefalus atau kematian karena virus itu di Kolombia.
Kasus Zika dikonfirmasi di 23 negara dan wilayah di Benua Amerika. WHO memperingatkan, virus itu menyebar amat cepat di Benua Amerika. Jumlah korban terinfeksi tahun ini diprediksi 4 juta orang.(AIK/AFP/REUTERS/DI)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul “Indonesia Rentan Masuknya Berbagai Virus”.
—————
VIRUS ZIKA
Cakupan Sebaran di Indonesia Belum Diketahui
Belum ada bukti virus Zika berefek fatal jika dibandingkan dengan virus dengue yang menyebabkan banyak kematian. Namun, peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai kaitan virus Zika dengan kelahiran bayi dan kelainan perkembangan otak atau mikrosefalus wajib diwaspadai.
Faktanya, Indonesia belum punya data komprehensif sebaran dan dampak virus Zika. “Penemuan virus di Jambi pada 2015 sebenarnya kebetulan. Bukan tidak mungkin virus ini ada di daerah lain, tetapi kami belum punya datanya. Idealnya memang dilakukan surveilans untuk mengetahui magnitudo dan sebaran virus,” kata Deputi Direktur Lembaga Eijkman-Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Herawati Sudoyo, di Jakarta, Sabtu (30/1).
Menurut Kepala Unit Dengue Lembaga Eijkman Tedjo Sasmono, temuan virus Zika di Jambi kebetulan karena saat itu Eijkman memang tidak sedang surveilans terhadap virus Zika.
“Kami di Jambi untuk kasus demam berdarah setelah ada laporan tingginya jumlah pasien yang diduga mengalami serangan infeksi ini. Dari ratusan sampel, ternyata ada satu yang negatif dengue. Saat dites ternyata positif virus Zika,” kata Tedjo.
Kecurigaan sebaran Zika di Indonesia, kata dia, sudah lama. Pada 1981, tim peneliti JG Olson, Ksiazek, Suhandiman, dan Triwibowo menulis dalam jurnal Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene tentang satu pasien di Rumah Sakit Tegalyoso, Klaten, Jawa Tengah, yang terinfeksi Zika didasarkan ciri-ciri klinis seperti peradangan selaput mata. Namun, temuan saat itu hanya serulogi atau netralisasi antibodi terhadap virus Zika, bukan virusnya sendiri.
“Saat itu belum ada teknologi PCR,” kata Tedjo. Polymerase chain reaction (PCR) atau reaksi polimerase berantai merupakan metode analisis genetik yang bisa digunakan memetakan identitas virus lebih rinci.
Pada 2012, perempuan Australia sepulang dari Jakarta dilaporkan terinfeksi virus Zika. Virus yang ditemukan memiliki kekerabatan strain virus Zika di Mikronesia pada 2007 sehingga belum bisa dipastikan terinfeksi di Jakarta atau tempat lain. “Penemuan virus di Jambi mengonfirmasi keberadaannya di Indonesia,” kata Tedjo.
Di Jambi, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi Andi Pada mengatakan, pihaknya baru mengetahui temuan virus Zika di Jambi dari media massa.
Ahli patologi klinik dari RS Siloam Jambi, Dr dr Sotianingsih SpPK, yang ikut dalam pengambilan 200 sampel penderita DBD di Jambi pada Januari 2015, mengatakan, ada satu pasien negatif DBD ternyata positif terjangkit virus Zika. “Saat saya hubungi, pasien itu mengatakan sudah sehat,” ujarnya.
Menurut Tedjo, Lembaga Eijkman sukses mengisolasi dan mensekuen genom virus Zika dari Jambi. Ternyata mirip strain virus Zika di Thailand dan warga Australia yang diduga terinfeksi di Jakarta. “Strain virusnya beda dengan yang mewabah di Brasil,” ujarnya.
Dampaknya
Menurut Tedjo, dibandingkan virus DBD, dampak serangan virus Zika ke pasien tak terlalu fatal. “Belum ada laporan kematian karena infeksi Zika. Beda dengan dengue yang menyebabkan korban jiwa,” ujarnya.
Namun, sejak ada peringatan WHO agar waspada terhadap wabah Zika, dituntut kehati-hatian. Apalagi, di Brasil ada dugaan kuat wabah Zika menyebabkan lonjakan angka kelahiran bayi dengan mikrosefalus. “Kalau tidak ada laporan WHO, mungkin tidak peduli karena sejauh ini seolah-olah juga tidak ada masalah,” kata Tedjo. (AIK/ITA)
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2016, di halaman 10 dengan judul “Cakupan Sebaran di Indonesia Belum Diketahui”.
————————–
ARBOVIRUS
Serangan Zika yang Penuh Misteri
Sejak muncul di Brasil pada Mei 2015 hingga kini, infeksi virus Zika meluas hingga ke sejumlah negara di Amerika. Negara-negara di dunia patut waspada, terlebih ada El Nino sejak tahun lalu sehingga memungkinkan populasi nyamuk sebagai vektor virus tersebut berkembang pesat.
REUTERS/JAIME SALDARRIAGA—Clara Ocampo, pemimpin dan koordinator riset bidang biologi dan pengendalian vektor Pusat Riset Medis dan Pelatihan Internasional (CIDEIM), sedang mengambil sampel nyamuk Aedes aegypti, di Cali, Kolombia, Kamis (28/1). Nyamuk itu merupakan vektor penularan virus Zika yang tengah mewabah di sejumlah negara di dunia.
Pada sidang Dewan Eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Geneva, Swiss, Kamis (28/1), Direktur Jenderal WHO Margaret Chan menyatakan, kemunculan virus Zika dikaitkan dengan banyak bayi yang dilahirkan dengan tak normal, ukuran kepala kecil (microcephalus) dan sindrom Guillain-Barre, yakni saat sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf yang kadang menyebabkan kelumpuhan.
Memang, lanjut Chan, kaitan banyaknya kelahiran bayi cacat dan sindrom neurologis dengan infeksi Zika belum terbukti secara pasti. Infeksi virus itu tetap diduga kuat jadi penyebabnya. “Kewaspadaan kita harus pada tingkat tinggi,” ucapnya.
Selama beberapa dekade, virus Zika yang disebarkan nyamuk Aedes terutama pada monyet. Pada manusia, Zika kadang menyebabkan penyakit ringan sehingga tak menarik perhatian.
Tahun 2007, virus Zika meluas dan memicu wabah di Mikronesia, Pasifik. Selama 2013-2014, zika mewabah di empat negara kepulauan di Pasifik.
Pada Mei 2015, Brasil melaporkan ada kasus infeksi virus Zika. Sejak itu, penyakit tersebut menyebar di Brasil dan 23 negara lain di Amerika.
WHO juga telah mengingatkan kemungkinan dampak berat infeksi Zika, yakni malformasi kongenital dan sindrom neurologis menyusul adanya laporan tiga anak yang lahir setelah kejadian luar biasa (KLB) Zika di Brasil. Ibu dari salah satu pasien dilaporkan menderita ruam dan nyeri pada satu atau lebih sendi pada trimester pertama kehamilan dengan hasil pemeriksaan toksoplasma, rubella, cytomegalovirus, dan herpes (TORCH) negatif.
Masa inkubasi
Sejauh ini, masa inkubasi Zika belum jelas. Gejala yang muncul mirip dengan penyakit arbovirus lain seperti demam berdarah dengue, yakni demam, ruam kulit, peradangan selaput mata, nyeri otot dan sendi, badan terasa tak nyaman, dan sakit kepala. Gejala itu biasanya ringan dan berlangsung 2-7 hari.
Selama KLB di French Polinesia pada 2013 dan Brasil pada 2015 dilaporkan bahwa ZIKV berpotensi menyebabkan komplikasi neurologis dan autoimun. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami virus Zika. Dampak lain Zika masih diteliti.
Peneliti dari Balai Besar penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Kementerian Kesehatan, Tri Wibowo, dalam paparan tertulisnya menyatakan, virus Zika (ZIKV) adalah virus asam ribonukleat (RNA) dari famili Flaviviridae.
Virus itu diisolasi pertama kali dari monyet Macaca mulatta pada 1947 dan nyamuk Aedes africanus pada 1948 yang berasal dari Hutan Zika, dekat Kampala, Uganda. Pada 1952, virus yang dideskripsikan sebagai virus Zika teridentifikasi pada manusia di Uganda dan Tanzania. Wabah ZIKV tercatat pernah terjadi di Afrika, Amerika, dan Asia Pasifik. Penyakit akibat virus itu juga dilaporkan pernah terjadi di Uganda, Tanzania, Mesir, Republik Afrika Tengah, Sierra Leone, dan Gabon.
Secara alami, penularan ZIKV terjadi pada primata nonmanusia yang ditularkan melalui gigitan nyamuk genus Aedes sebagai vektor, sama seperti demam berdarah dengue (DBD) chikungunya, dan yellow fever. Manusia diduga jadi inang utama di wilayah yang tak ada primata nonmanusia.
Dalam sejumlah studi, ZIKV telah diisolasi dari nyamuk Aedes aegypti, Aedes africanus, Aedes luteocephalus, Aedes (fredwardsius) vittatus,Aedes (Stegomyia) apicoargenteus, Aedes (Diceromyia) furcifer di Senegal dan Aedes albopictus di Gabon.
Aedes aegypti dan Aedes albopictus diduga kuat jadi vektor utama ZIKV di banyak negara karena peran keduanya sebagai vektor arbovirus lain dan kemampuan adaptasinya tinggi di berbagai wilayah di dunia. Aedes aegypti umumnya ada di daerah tropis dan subtropis, sedangkan Aedes albopictus bisa berhibernasi dan bertahan di daerah dingin. Di luar genus Aedes, ZIKV berhasil diisolasi pada nyamuk Mansonia uniformis, Culex perfuscus, dan Anopheles coustani.
Daya terbang Aedes temasuk rendah. Nyamuk itu tak bisa terbang lebih dari radius 400 meter. Namun, ZIKV bisa menyebar lintas negara karena dibawa manusia yang terinfeksi.
Perempuan hamil
Menurut WHO, negara yang mengalami wabah ZIKV menginvestigasi apakah ada kaitan ZIKV terhadap perempuan hamil dan bayi yang lahir dengan kepala kecil. Sambil menanti hasil investigasi, WHO menyarankan agar perempuan hamil atau perempuan yang berencana punya anak menghindari gigitan nyamuk. Perempuan hamil yang diduga terinfeksi ZIKV dianjurkan berkonsultasi ke dokter.
Chan menyatakan, WHO amat menaruh perhatian pada meluasnya ZIKV. Sebab, ada kemungkinan terkait kelainan bentuk dan sindrom neurologis pada bayi lahir, penyebaran lintas negara, dan rendahnya imunitas masyarakat. Padahal, belum ada vaksin, pengobatan spesifik, dan diagnosis cepat penyakit itu.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Kemenkes Vivi Lisdawati, Jumat (29/1), di Jakarta, menambahkan, umumnya virus ada dalam darah sekitar 3 hari, tetapi masa inkubasi (sejak nyamuk menggigit sampai timbul gejala) 5-15 hari. Lama gejala bertahan pada tubuh tergantung kondisi setiap individu, termasuk daya tahan tubuh.
Kehamilan diperbolehkan asal virus itu tak ditemukan lagi dalam darah dan selama kehamilan didampingi serta dipantau dokter. Jika penularan saat hamil dari ibu ke janin terjadi, kelanjutan kehamilan harus didiskusikan dengan dokter.
Sejauh ini belum ada publikasi riset sifat virus setelah pasien sembuh apakah virus tak ada lagi atau bertahan di tubuh sehingga bisa terjangkit lagi.
ADHITYA RAMADHAN DAN GALUH BIMANTARA
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Serangan Zika yang Penuh Misteri”.
———
Pastikan Segera Keterkaitan Zika dengan Mikrosefalus
Kementerian Kesehatan diharapkan segera menggerakkan semua unit kerja yang memiliki fasilitas biologi molekuler untuk melacak jenis vektor penyebar virus Zika di Indonesia sekaligus memastikan kaitan antara virus itu dengan mikrosefalus atau gangguan perkembangan otak pada bayi baru lahir. Itu dinilai penting untuk memberi kepastian informasi bagi masyarakat.
Demikian disampaikan Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Surabaya, Chairul Anwar Nidom ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (30/1). Nidom menilai, Kemenkes memiliki unit kerja dengan fasilitas yang sangat bagus untuk menunjang pemeriksaan vektor dan pengujian tingkat keganasan virus Zika (ZIKV).
Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes dinilai memiliki fasilitas sangat canggih. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Reservoir Penyakit (B2V2VRP) di Salatiga juga memiliki kemampuan untuk mencari lebih banyak informasi tentang vektor ZIKV.
“Uji ZIKV kepada hewan coba untuk membuktikan apakah ZIKV bisa menyebabkan mikrosefalus atau tidak, misalnya, perlu segera dilakukan. Memastikan strain nyamuk apa yang menjadi vektor juga penting untuk menentukan tindakan intervensi,” kata Nidom.
Nidom menilai, tingkat keganasan virus Zika sebenarnya tidaklah luar biasa, tidak seperti virus dengue. Banyaknya bayi yang lahir dengan ukuran kepala kecil (mikrosefalus) seperti saat ini diberitakan di Brasil juga belum tentu disebabkan virus Zika. Masih perlu uji serologis lebih lanjut untuk mengetahuinya.
Adapun virus dengue sangat dinamis sehingga mudah bermutasi. Itu sebabnya klinisi lebih fokus pada virus dengue daripada virus Zika meski virus itu sudah ditemukan di Indonesia sejak lama.
Seperti diberitakan BBC, pembela hak-hak perempuan di Brasil mengajukan hukum perkecualian kepada Mahkamah Agung agar para ibu hamil yang terinfeksi virus Zika dibolehkan melakukan aborsi. Selama ini, ketentuan hukum di Brasil hanya mengizinkan aborsi pada kehamilan karena pemerkosaan dan gangguan kesehatan yang bisa berakibat fatal.
Di tingkat global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan pentingnya kewaspadaan global terhadap sebaran virus Zika. “Kewaspadaan kita harus pada level tinggi,” kata Direktur Jenderal WHO Margaret Chan. Melalui laman resminya, ( www.who.int), pada Senin (1/2), lembaga ini akan menggelar pertemuan darurat di Geneva, Swiss, untuk membahas penyebaran virus Zika dan dampaknya terhadap kelainan perkembangan otak bayi.
Orang dengan virus Zika akan mengalami gejala seperti DBD, yakni demam, nyeri otot dan sendi, peradangan selaput mata, dan sakit kepala. (ADH/ODY/AIK)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2016, di halaman 10 dengan judul “Pastikan Segera Keterkaitan Zika dengan Mikrosefalus”.