Peta Jalan Industri Farmasi Sedang Disusun
Ketergantungan Indonesia pada impor bahan obat masih tinggi. Kondisi itu menghambat daya saing industri farmasi dan harga obat menjadi sulit ditekan. Untuk mewujudkan kemandirian produksi obat, peta jalan industri farmasi pun disusun, termasuk riset bahan baku.
Meski riset menjadi kunci penguatan industri farmasi nasional, kenyataannya itu belum jadi prioritas pemerintah. Selain anggaran terbatas, hilirisasi hasil inovasi bahan obat tersebut belum berjalan baik.
Itu terungkap dalam diskusi “Kemandirian Indonesia dalam Penyediaan Bahan Baku Obat” yang diprakarsai Serikat Perusahaan Pers, akhir pekan lalu, di Jakarta. Acara dihadiri, antara lain, Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi serta Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan R Dettie Yuliati, Minggu (24/1), di Jakarta, bersama Jaminan Kesehatan Nasional, kebutuhan alat kesehatan, termasuk obat, naik. Namun, lebih dari 90 persen bahan baku obat diimpor sehingga rentan perkembangan harga bahan baku obat di pasar internasional dan fluktuasi nilai tukar.
“Obat dan bahan baku obat seharusnya diproduksi lokal. Sebab, obat harus terjamin kualitas keamanan dan efikasi, tidak bisa disamakan dengan komoditas lain sehingga perlu diatur standar mutunya,” ujarnya. Untuk produksi dalam negeri, hal itu dikontrol ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Saat ini, sejumlah industri lokal mampu memproduksi beberapa bahan baku obat, tetapi baru memenuhi sekitar 10 persen dari kebutuhan nasional. Produsen bahan baku obat lokal sulit bersaing terhadap produk impor karena material dasar untuk membuat bahan baku diimpor.
Komitmen lemah
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Dorojatun Sanusi menyatakan, peningkatan daya saing industri farmasi butuh komitmen pemerintah. Itu berupa menerbitkan regulasi dan insentif, terutama bagi industri baru, infrastruktur, insentif pajak, dan komitmen pembelian jangka panjang.
Setiadi menambahkan, inovasi dengan sedikit atau tanpa riset menyebabkan daya saing industri swasta lemah dalam persaingan pasar ASEAN (MEA) dan global. Dengan dana riset minim, strategi riset yang realistis ialah penelitian untuk penyempurnaan teknologi industri prioritas guna membangun kebiasaan industri berinovasi dengan riset serta mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku obat.
Untuk itu, arah kebijakan dan prioritas riset kesehatan dan obat antara lain mendorong penerapan bioteknologi. Selain itu, pemanfaatan sumber daya hayati nasional perlu ditingkatkan.
Dimyati menegaskan, industri farmasi mutlak butuh dukungan penelitian dan pengembangan. Namun, jumlah riset obat dan bahan baku obat minim. Pada 2015, hanya ada 11 riset bahan baku obat dengan dana Rp 1,09 miliar dan 178 riset obat dengan dana Rp 14,65 miliar. “Hilirisasi hasil riset obat dan bahan baku obat perlu dilakukan,” ujarnya.
Terkait hal itu, peta jalan industri farmasi disusun para pemangku kepentingan dan dalam tahap legalisasi. “Produksi obat butuh pasokan bahan baku kompetitif dan berkelanjutan. Jadi, perlu penguasaan teknologi terbaru, lebih efisien, efektif, dan ramah lingkungan,” kata Dettie.
Targetnya, pada 2025, industri farmasi jadi industri strategis nasional dengan nilai pasar Rp 700 triliun. Industri itu diharapkan memenuhi kebutuhan pasar obat, terutama bagi Jaminan Kesehatan Nasional. Kini, 943 jenis obat tercantum di Formularium Obat Nasional yang harus tersedia di Indonesia.
Dimyati menambahkan, peta jalan bahan baku obat yang bisa dilakukan dalam jangka pendek, 2-5 tahun, adalah investasi awal tak besar, pasar lokal cukup, bahan mentah tersedia di Indonesia, dan teknologi terjangkau. Dalam jangka panjang, 5-15 tahun, pasar tersedia dan diekspor, produksi tahap lanjut di dalam negeri, dan investasi awal besar.
Bahan baku obat yang bisa dikembangkan antara lain produk derivat darah, seperti albumin. Kini, ada sejumlah konsorsium riset melibatkan institusi pemerintah, lembaga riset, perguruan tinggi, rumah sakit, dan perusahaan farmasi. (EVY)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Riset Obat Terkendala”.