Resistensi Anti Mikroba
Pasien dan dokter berkontribusi pada terjadinya resistensi anti mikroba atau kekebalan bakteri terhadap antibiotik. Ketika pemakaian tidak tepat, antibiotik tak ampuh membunuh bakteri, tetapi malah menyebabkan bakteri kebal terhadap antibiotik.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Arifin Nawas, Kamis (21/1), di Jakarta, menyatakan, saat diresepkan antibiotik oleh dokter, pasien mesti kritis menanyakan apakah pemberian antibiotik diperlukan. Penggunaan antibiotik tak perlu atau tidak tepat bisa memicu resistensi antibiotik.
Ketika hasil pemeriksaan menunjukkan pemberian antibiotik diperlukan, pasien harus menghabiskan antibiotik itu sesuai dengan anjuran dokter. Sebab, jika pasien tidak menghabiskan antibiotik atau putus obat, itu juga memicu resistensi antibiotik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, sebanyak 28 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik di rumah. Itu berarti kemungkinan pasien tak menghabiskan antibiotik ataupun mengonsumsi secara tak tepat.
Di sisi lain, dokter turut berkontribusi pada terjadinya resistensi antibiotik. “Dokter jangan hanya memberikan resep tanpa menjelaskan kepada pasien dan tidak suka kalau pasien banyak bertanya,” ujarnya.
Arifin memaparkan, antibiotik merupakan sekelompok molekul yang dihasilkan mikroba atau jamur, baik alami maupun sintetik. Itu menimbulkan efek menekan dan menghentikan proses biokimia dalam organ tubuh manusia, khususnya infeksi bakteri.
Pemakaian antibiotik sesuai peruntukannya akan ampuh untuk mengatasi infeksi bakteri. Namun, pemberian antibiotik harus sesuai kebutuhan dan peruntukannya. Jika tak digunakan secara tepat, bakteri akan kebal terhadap antibiotik sehingga jenis antibiotik yang masih efektif akan makin terbatas.
Jika pilihan antibiotik yang efektif jauh berkurang, itu berbahaya bagi keselamatan pasien. Sebab, kenyataannya, tak ada lagi penemuan antibiotik yang baru sejak tahun 2000 karena riset antibiotik membutuhkan dana besar dan waktu lama.
Menurut Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan Harry Parathon, tidak semua penyakit perlu antibiotik. Infeksi virus, misalnya, tidak perlu antibiotik. Dengan demikian, masyarakat perlu diedukasi tentang hal tersebut karena banyak pasien mengonsumsi antibiotik sendiri saat sakit. Selain itu, dokter juga perlu diingatkan agar memberikan antibiotik secara rasional.
Kurang efektif
Harry menambahkan, kini banyak antibiotik yang berkurang efektivitasnya karena bakterinya kebal sehingga pengobatan lebih sulit dilakukan. Misalnya, radang paru atau pneumonia, infeksi kandung kemih, diare, gonore, tuberkulosis, dan malaria. Resistensi paling ditakutkan saat ini ialah resistensi bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
Dalam pertemuan Komite Regional ke-68 di Dili, Timor Leste, September lalu, Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia untuk Asia Tenggara (WHO-SEARO) Poonam Khetrapal Singh mengingatkan menteri dan pejabat kementerian kesehatan dari 11 negara anggota WHO-SEARO agar serius mengatasi resistensi anti mikroba.
Jika resistensi anti mikroba tak dikendalikan, hal itu diperkirakan menyebabkan 10 juta kematian di dunia setiap tahun dan kehilangan produk domestik bruto (PDB) 2-3,5 persen secara global pada 2050. Itu belum termasuk menurunnya produktivitas karena sakit dan ongkos pengobatan makin mahal.
Terkait hal itu, rencana aksi nasional komprehensif dan terintegrasi perlu disusun guna mengendalikan resistensi anti mikroba. Itu disertai pembenahan sistem secara menyeluruh, mencakup pemantauan penyebab resistensi antibiotik, pengendalian infeksi di rumah sakit, serta pengaturan dan promosi pemakaian obat yang tepat. (ADH)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Januari 2016, di halaman 13 dengan judul “Pasien dan Dokter Berkontribusi”.