Tantangan Baru Jurnalisme

- Editor

Rabu, 20 Januari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Produk Jurnalistik Berkualitas Jadi Harapan
Kian kuatnya tren media daring semakin menggeser dominasi media cetak. Penutupan koran Sinar Harapan pada awal tahun ini memperkuat fenomena itu. Memudarnya era media cetak itu menuntut inovasi baru jurnalisme, mengingat media daring memiliki tradisi berbeda.

“Selain persoalan internal, secara bisnis (media cetak) memang sulit. Biaya cetak sangat tinggi. Biaya redaksional untuk berita yang memenuhi standar tinggi juga mahal. Secara bisnis tidak berkelanjutan sehingga harus ditutup,” kata Aristides Katoppo, salah satu pendiri koran Sinar Harapan, dalam diskusi di Jakarta, Selasa (19/1).

Sinar Harapan merupakan salah satu koran nasional yang terbit sejak 1961. Koran sore itu pernah beroplah hingga 250.000 per hari. Media lain yang tutup mulai tahun ini ialah harian berbahasa inggris, Jakarta Globe. Sebelumnya, harian Jurnal Nasional lebih dulu tutup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saat ini, Sinar Harapan hanya terbit dalam bentuk digital. “Apakah ada harapan? Saya serahkan generasi baru,” kata Aristides.

Berbeda dengan Aristides, wartawan senior Kompas, Bre Redana, beranggapan, media cetak akan bertahan. “Jika berpikir linier, media cetak memang akan tutup. Namun, peradaban ini kenyataannya tidak hanya dilihat secara linier, bisa bersifat siklus juga. Saya percaya koran masih akan dibutuhkan oleh peradaban yang turut dibesarkan oleh tradisi media cetak,” kata Bre.

Perubahan
Peneliti dan pengajar jurnalisme, Ignatius Haryanto, mengatakan, penurunan media cetak bersifat global, bukan khas Indonesia. Media cetak besar dunia, seperti The Guardian dari Inggris, pun menghentikan edisi cetaknya dan hanya menerbitkan edisi daring. “Ada yang bilang, media cetak terakhir tahun 2043. Tetapi, saya yakin di Indonesia hingga tahun itu masih ada media cetak walaupun mungkin formatnya berubah,” katanya.

Menurut Aristides, tantangan ke depan sebenarnya bukan hanya perubahan media cetak menuju media digital. Namun, tantangan terbesar juga dihadapi dunia jurnalisme. “Apakah tradisi jurnalisme kita bisa bertahan di tengah perubahan ini?” ujarnya.

Aristides mengatakan, kebiasaan mencari informasi dan berpikir generasi muda saat ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Tradisi membaca buku cetak dan berpikir serius digantikan dengan kebiasaan membaca informasi pendek dan sepenggal-penggal, selain juga ketertarikan pada visual ketimbang tulisan. “Untuk bertahan di dunia yang penuh ketidakpastian, jurnalisme harus bertransformasi dan berinovasi,” katanya.

Bre mencontohkan pendangkalan dalam tradisi jurnalistik dengan pemberitaan kasus terorisme baru-baru ini. Media- media yang mengandalkan kecepatan, seperti televisi dan daring, memberitakan adanya ledakan bom di beberapa lokasi tanpa verifikasi. Belakangan terbukti, informasi itu keliru. Tak hanya itu, media justru memberitakan tentang sepatu polisi dan hal kecil lain ketimbang mengupas terorisme secara mendalam.

Ignatius mengatakan, secara bisnis, media daring menyisakan banyak masalah. Belum ditemukan strategi iklan untuk media daring. Secara substansi, media daring di Indonesia identik dengan kecepatan dan cenderung dangkal. “Di luar negeri, beberapa media daring sudah menunjukkan produk berkualitas dan mendalam. Ini tantangan bagi media daring,” ucapnya. (AIK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2016, di halaman 11 dengan judul “Tantangan Baru Jurnalisme”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB