Pemerintah Indonesia bersikukuh ingin membangun pembangkit listrik tenaga nuklir meskipun harus menggunakan reaktor PLTN bekas. Inisiatif itu dinilai berbahaya dan mengabaikan keselamatan.
”Waktu itu ada anggota rombongan pejabat Indonesia yang studi banding pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ke Perancis, dan menanyakan kemungkinan
membeli reaktor PLTN second (bekas),” kata peneliti senior Lingkar Madani Suryo AB, Selasa (5/4), ketika menjadi moderator diskusi ”Menuju Peradaban Indonesia Madani: Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Nuklir di Indonesia, antara Aspek Kemanfaatan dan Risiko” di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suryo masih menyimpan daftar rombongan studi banding PLTN tahun 2007 tersebut. Waktu itu, ia bagian dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis yang turut membantu rombongan studi banding para pejabat Indonesia untuk mengetahui PLTN di Perancis.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi, Zaki Su’ud (ahli nuklir Institut Teknologi Bandung), Dedi Sunaryadi (Direktorat Inspeksi Instalasi dan Bahan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir), Teuku Abdullah Sanny (Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Adi Wardoyo (Badan Tenaga Nuklir Nasional), dan Dian Abraham (Masyarakat Antinuklir Indonesia).
”Pernyataan saya tersebut tidak disangkal para pembicara maupun para peserta diskusi,” ujar Suryo, ketika ditemui usai diskusi.
Optimalkan potensi
Zaki Su’ud berpendapat, saat ini seluruh potensi energi terbarukan harus dimaksimalkan. Di dalam perencanaan energi memang harus ada cadangan (back up) untuk jangka panjang dan itu terbuka pula untuk pemanfaatan tenaga nuklir.
”Bisa mengembangkan teknologi PLTN setelah ada teknologi yang makin meminimalkan risiko. Seperti pada 2015 mendatang, Rusia ingin mengembangkan reaktor PLTN generasi keempat yang sekaligus bisa membakar limbahnya,” kata Zaki Su’ud.
Teuku Abdullah Sanny mengatakan, hendaknya jangan terlalu berlebihan mengkhawatirkan bahaya PLTN. Namun, terlebih dulu harus benar-benar diupayakan pengembangan energi baru dan terbarukan lainnya.
”Misalnya, di lantai dasar laut di Kalimantan Timur terdapat potensi gas metana batu bara (coal bed methane) yang cukup besar. Itu haruslah dapat dikembangkan terlebih dulu,” kata Sanny.
Sementara itu, menurut Dian Abraham, yang dibutuhkan dalam perencanaan energi jangka panjang adalah bermuara pada independensi atau kemandirian bangsa.
Pembangunan PLTN dinilainya tidak termasuk dalam perencanaan energi berbasis independensi tersebut. (NAW)
Sumber: Kompas, 6 April 2011