Nama Netflix sebagai penyedia layanan pengaliran video (video streaming) sudah lazim dikenal di negara seperti Amerika Serikat. Pengguna bermodalkan perangkat elektronik, seperti gawai dan televisi, yang terhubung dengan perangkat seperti set up box bisa menikmati konten seperti serial atau film yang dinikmati sesuai kehendak mereka. Saat akhir pekan, mereka bisa menghabiskan waktu menonton satu season seri tanpa harus menunggu. Semua dinikmati hanya dengan biaya berlangganan bulanan.
Budaya yang dibawa oleh Netflix dan layanan serupa seperti Hulu sudah menjadi bagian dari gaya hidup anak muda di Amerika Serikat seiring dengan tren mengonsumsi konten dari televisi terestrial menuju video daring.
Menurut data dari Nielsen untuk kuartal II tahun 2015, durasi menonton televisi untuk anak muda usia 12-24 tahun di Amerika Serikat menduduki porsi paling sedikit, yakni 16 jam per minggu. Sementara generasi berusia 25-34 bisa mencapai 22 jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa keunggulan yang bisa dinikmati adalah akses untuk menonton koleksi konten yang dimiliki penyedia layanan sesuai permintaan (on demand). Namun, pembeda dengan para kompetitor adalah keberadaan konten asli yang diproduksi sendiri, tentunya tidak digarap asal-asalan karena merekalah penentu keberhasilan sebuah layanan.
Salah satu contohnya adalah serial House of Cards yang mulai ditayangkan Netflix pada 2013 berupa drama politik yang didasarkan dari novel karangan Michael Dobbs, mengisahkan pergulatan kekuasaan di Gedung Putih dengan menempatkan tokoh Frank Underwood yang diperankan Kevin Spacey. Serial ini mendapat sembilan nominasi untuk penghargaan Emmy, mendapat penghargaan Golde Globe, dan pemeran perempuan Robin Wright mendapatkan penghargaan sebagai aktris drama televisi terbaik. Saat ini, House of Cards sudah mencapai season keempat yang akan ditayangkan pada 2016.
Tidak hanya itu, beberapa judul lain yang dikembangkan secara mandiri untuk disiarkan secara eksklusif seperti Sense8, Orange is the New Black, dan Lilyhammer. Netflix juga berkolaborasi dengan Marvel untuk merilis serial Daredevil dan Jessica Jones yang didasarkan tokoh pahlawan super dari komik.
Selain konten asli, beberapa penyedia layanan juga menggandeng beberapa studio film untuk mendapatkan hak menayangkan film tidak lama setelah muncul di bioskop. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk sebuah film setelah ditayangkan untuk bisa ditonton di rumah makin singkat.
Mengawali bisnis sebagai penyewaan video dalam bentuk fisik di tahun 1997, Netflix memulai ekspansi untuk layanan pengaliran video ke pasar internasional pada 2010 di Kanada dan terus menyebar ke Amerika Latin, mencapai 43 negara tahun 2011, memasuki Eropa tahun 2012, dan kemudian sampai di Australia dan Selandia Baru tahun 2015. Hingga akhir 2015, terdapat setidaknya 60 negara yang terlayani Netflix.
Ekspansi
Di tengah perhelatan Consumer Electronic Show 2016 di Las Vegas, Amerika Serikat, pendiri Netflix, Reed Hastings, mengumumkan inisiatif untuk ekspansi global menjadi 130 negara sekaligus, termasuk Indonesia. Ini adalah rencana yang ambisius, senada dengan pernyataannya yang penuh rasa percaya diri, “Hari ini Anda tengah menyaksikan lahirnya jaringan televisi global,” di tengah sambutannya.
Dengan bantuan internet, lanjutnya, konsumen bisa menonton siaran televisi dan film secara bersama-sama dan tanpa harus menunggu. Kekuatan ada di tangan konsumen untuk menonton apa pun, kapan pun, di mana pun, dan dengan peralatan mana pun.
Di tengah perhelatan Singapore Media Festival akhir 2015, Ed Barton dari Ovum, layanan analisis industri televisi, menuturkan, terdapat peluang yang besar untuk menumbuhkan pasar televisi dari rumah tangga di Asia Pasifik. Penetrasi televisi di rumah tangga yang mencapai 80 persen pada 2015 diperkirakan terus meningkat secara perlahan. Barton menyebut pergeseran tren penonton yang makin menggemari konten on demand.
“Layanan seperti Netflix berhasil memenuhi kebutuhan penonton yang selama ini sulit dipenuhi oleh industri televisi tradisional,” ujarnya.
Kehadiran layanan ini tidak untuk dimaknai sebagai ancaman bagi industri tradisional karena justru membuka peluang kolaborasi baru setidaknya bagi layanan televisi berbayar yang juga menyediakan layanan internet. Dengan demikian, mereka bisa menawarkan paket internet untuk mengakses konten Netflix sekaligus layanan televisi berbayar mereka.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ovum di beberapa negara, 70 persen pelanggan Netflix juga berlangganan televisi berbayar dan penyedia jasa televisi berbayar bisa memiliki keunggulan dibandingkan dengan kompetitor mereka. Strategi terburuknya, apabila konsumen hanya memanfaatkan koneksi internet untuk mengakses Netflix, setidaknya dilakukan dengan perangkat yang mereka miliki.
Hamzah Ramadhan adalah satu dari pengguna yang langsung memutuskan menjadi pelanggan begitu mendengar kabar ekspansi Netflix ke Indonesia. Hanya dengan proses pendaftaran yang singkat, dia sudah kebingungan di tengah katalog konten yang bisa ditonton saat itu juga, tanpa harus menunggu. Kini dia bisa menikmati konten video saat berada di kantor atau rumah.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–“Spartacus” adalah satu dari konten serial televisi yang bisa dinikmati secara langsung melalui layanan pengaliran video (video streaming) dari Netflix yang bisa dinikmati di Indonesia mulai Kamis (7/12) ini. Netflix mengumumkan inisiatif untuk ekspansi ke 130 negara sekaligus setelah sebelumnya beroperasi di 60 negara.
Tantangan
Dengan jumlah pengguna 70 juta orang, jelas saja bahwa mereka berambisi mendongkrak angkanya dari 130 negara. Dari sudut pandang Indonesia belum bisa diartikan bakal merobohkan industri pertelevisian yang sudah mapan berdiri karena beberapa keterbatasan yang harus ditaklukkan.
Tantangan paling utama adalah infrastruktur internet cepat yang belum merata di Indonesia. Berdasarkan situs resmi Netflix, konsumsi data untuk menonton konten selama 1 jam dengan resolusi paling rendah adalah 300 megabita, diikuti kualitas medium, yaitu resolusi 720×576 piksel sebesar 700 megabita. Kualitas tinggi atau 1280×720 piksel bisa mencapai 3 gigabita per jam dan resolusi 3840×2160 piksel bisa menyedot 7 gigabita per jam.
Untuk menikmati aliran video dari layanan seperti itu dibutuhkan koneksi internet yang stabil dan kencang sementara hal tersebut belum terjamin di beberapa daerah di Indonesia, terutama bagi mereka yang mengandalkan koneksi dari jaringan seluler. Layanan seluler generasi keempat sebetulnya bisa jadi solusi meski hal itu berarti konsumsi data pengguna bakal melejit.
Begitu pula dengan jaringan internet fisik atau fixed broadband yang jumlah ataupun wilayah yang terlayani belum sebanyak pengguna ponsel pintar. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memang menyebut bahwa fokus pemerintah tahun ini adalah membenahi infrastruktur fisik agar makin banyak rumah yang dilalui jaringan pita lebar.
Tantangan berikutnya adalah mekanisme pembayaran karena Netflix untuk sementara ini masih mengharuskan transaksi melalui kartu kredit sementara penetrasi kartu kredit bergerak lamban di Indonesia. Setidaknya dua hal tersebut yang harus dipecahkan sebelum bisa menguasai pasar Tanah Air.
Tantangan berikutnya adalah mekanisme pembayaran karena Netflix untuk sementara ini masih mengharuskan transaksi melalui kartu kredit sementara penetrasi kartu kredit bergerak lamban di Indonesia. Hal ini juga sebetulnya peluang bagi penyedia layanan internet untuk menjalin kerja sama terkait penagihan ke pelanggan.
Untuk konten, ternyata ada beberapa pembatasan distribusi sehingga ada beberapa judul yang tersedia bagi pelanggan di Amerika Serikat tapi tidak bisa ditonton di Indonesia, salah satu contohnya adalah serial House of Cards. Kendala ini disebabkan oleh kesepakatan untuk distribusi konten ke wilayah tertentu dan belum meliputi negara yang baru terlayani.
Netflix sudah hadir, boleh dianggap ancaman atau peluang. Selamat datang ke era baru televisi.
DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas Siang | 7 Januari 2016