Catatan Bidang Iptek, Kesehatan, dan Lingkungan
Menjelang tahun berakhir, Kamis (10/12), kabar datang dari teknologi penerbangan: PT Dirgantara Indonesia memamerkan kepada publik wujud pesawat N-219 yang siap diuji terbang tahun 2016. Sebelumnya, satelit Lapan A2/Orari sukses diluncurkan dari India, 28 September 2015. Keduanya buah kerja keras ilmuwan Tanah Air: desain, rancang bangun, hingga produksi. Sejauh mana daya saing Indonesia?
Pencapaian itu patut dibanggakan meski belum semua komponen buatan dalam negeri. Kehadiran N-219 adalah karya kedua setelah karya anak bangsa N-250 yang dikenalkan pada 1997. Hampir 20 tahun berlalu, kebanggaan serupa membuncah.
Satelit Lapan A2/Orari merupakan generasi berikutnya dari satelit Lapan A1/TUBsat yang diluncurkan pada 2007 dan mengorbit di ketinggian 630 kilometer di atas permukaan Bumi. Lapan A2/Orari mengorbit 650 km di atas Bumi. Para insinyur muda Lapan memantau pergerakannya dari stasiun Bumi di Bogor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baik N-219 maupun Lapan A2/Orari menarik perhatian banyak pihak, dalam dan luar negeri. Mereka berminat membeli pesawat atau memakai hasil pantauan satelit Lapan A2 yang mengorbit secara ekuatorial berkecepatan 7,5 km per detik atau 98 menit sekali keliling Bumi.
Dalam kunjungan ke Lapan, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi. Presiden menegaskan pentingnya riset dengan hasil jelas dan berguna bagi bangsa demi mendorong daya saing.
Apresiasi patut disampaikan, tak hanya atas pencapaian itu. Banyak pencapaian lain, tetapi tak semua siap dipasarkan. Ada rantai dan proses sebelum produk akhir, seperti riset ilmu dasar yang tak kalah penting.
Soal kesabaran itulah yang belum melekat sehingga hampir tak ada cetak biru riset. Peneliti berkreasi dengan riset yang hasilnya tak sepenuhnya jelas. Belum lagi soal dana minim, sedangkan lahan riset amat luas.
Lihat saja bagaimana peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memangkas lama Ekspedisi Eksplorasi Bioresources Indonesia 2015 di Pulau Enggano. Ekspedisi itu tahap identifikasi dan koleksi spesimen. Dari proses semacam itulah aneka obat, kosmetika, dan energi dihasilkan, yang sebagian dinikmati perusahaan multinasional.
Dari sisi anggaran, dana riset nasional masih 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB). Persentase itu tak berubah, sementara negara lain memperbesar. Tahun 2009, persentasenya 0,08 dari PDB, setara Rp 5 triliun.
Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), anggaran riset ideal setidaknya 2 persen dari PDB, di Indonesia setara Rp 200 triliun (Kompas, 9/10).
Sebagai perbandingan, pada 2015, perusahaan multinasional DuPont mengalokasikan 10 miliar dollar AS atau Rp 130 triliun untuk riset bioteknologi tanaman pangan. “Kami menaruh masa depan bisnis pada riset,” kata Presiden DuPont Paul Schickler.
Monsanto, raksasa bisnis benih tanaman pangan transgenik, mengalokasikan 1,5 juta dollar AS bagi riset 2015.
Penggabungan Kementerian Riset dengan Pendidikan Tinggi diharapkan mengoptimalkan dana riset. Namun, belum jelas perubahan yang dihasilkan.
Sebelum menjadi negara maju, sebuah bangsa berinvestasi besar pada iptek yang berujung inovasi. Korea Selatan, misalnya, yang pada 1940-an sejajar Indonesia, kini telah menjadi pusat industri otomotif dan teknologi informasi.
Realitas generasi
Kekayaan sumber daya alam Indonesia tersohor. Itu pula yang membuat kuku kolonialisme menancap dalam di Tanah Air. Kini, Indonesia masih jadi surga peneliti asing, terutama dari Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Inggris, Jerman, dan Tiongkok. Daya tarik utamanya adalah riset keanekaragaman hayati.
Mereka datang dengan visi bioekonomi, dengan masa depan ekonomi dunia berbasis inovasi produk hayati, di antaranya berbasis mikroba dan senyawa aktif flora dan fauna berkhasiat. Para ilmuwan Indonesia di LIPI serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sebenarnya mampu, tetapi kalah dari sisi anggaran dan alat.
Kekhawatiran justru ada pada generasi penerus. Tahun 2010, jumlah penduduk lulus SMP masih besar, mencapai 82 juta jiwa. Butuh kerja keras pemerintah. Dari sisi kesehatan, pada 2013 ada 37,3 persen anak balita Indonesia bertubuh pendek (stunting) akibat kurang gizi kronis atau gagal tumbuh (Riset Kesehatan Dasar 2013). Itu terkait kemampuan bernalar dan risiko penyakit tak menular di usia produktif.
Laporan Gizi Global 2014 memosisikan Indonesia di antara 31 negara yang tidak akan mencapai target global menekan angka kurang gizi pada 2025. Kegagalan menanggapi hal itu berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa.
Laporan Indeks Daya Saing Global 2015-2016 memosisikan Indonesia pada peringkat ke-37, turun 3 poin dari 2014. Posisi itu di bawah Singapura (2), Malaysia (18), dan Thailand (32). Ada 140 negara yang dinilai, antara lain dari unsur inovasi dan ilmu pengetahuan.
Merespons kondisi riset Tanah Air, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Mei 2015, membentuk Indonesian Science Fund, badan otonom penyedia dana riset kelas dunia bagi ilmuwan Indonesia. Keberadaannya, kata Ketua AIPI Sangkot Marzuki, bisa menjadi solusi kenaikan dana riset, mendorong riset kelas dunia, dan membuat hasil riset lebih terarah.
Melihat tahun 2015, sebenarnya ada secercah harapan. Ada momentum meningkatkan daya saing Indonesia. Buktinya, kemampuan insinyur Indonesia membangun N-219 atau satelit Lapan A2/Orari. Namun, tantangan juga tak ringan. Tahun 2016 waktunya menancapkan daya saing bangsa lebih dalam lagi, demi kesejahteraan bersama.(GESIT ARIYANTO/EVY RACHMAWATI)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2015, di halaman 1 dengan judul “Daya Saing, Daya Saing, dan Daya Saing”.