Kita hidup dalam dunia yang bergantung satu sama lain. Maka, pemahaman atas keterkaitan itu menentukan keberhasilan menghadapi AIDS. Ini bukan masalah orang lain, ini masalah kita bersama. (Bill Clinton, Presiden AS 1993-2001)
Dalam sejarah kesehatan modern, tidak ada penyakit yang membuat dunia begitu cemas dan para ahli jungkir balik mencari solusinya seperti HIV/AIDS. Dari sejak ditemukan tahun 1980-an, sekitar 35 tahun lalu, upaya mengatasi AIDS berlangsung intensif dan masif.
Meski di awal, dana penelitian HIV/AIDS ini sangat terbatas karena Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat (AS) kala itu (1981-1989), tengah memotong semua anggaran kecuali untuk militer, akhirnya—meski relatif terlambat—kondisi kedaruratan memaksa semua pihak bersatu padu menanggulanginya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berawal dari pasien di klinik swasta Dr Michael Gottlieb dari Universitas California di Los Angeles, AS, yang begitu kurus, mulut penuh jamur, dan terkena pneumocystis cariniipneumonia (PCP), Gottlieb menyadari ada masalah kesehatan baru yang serius (Laurie Garrett dalam The Coming Plague, 1995).
Temuan ini disusul dengan temuan serupa di sejumlah klinik di seluruh Amerika. Menyadari urgensinya, Direktur Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) diam-diam menyediakan dana 200.000 dollar AS untuk membentuk satuan tugas yang mengenali, mencegah, dan mengobati masalah kesehatan baru ini.
Secara paralel, HIV/AIDS juga ditemukan di Eropa, Asia, Afrika, dan seluruh dunia. Dari semula merebak di kalangan homoseksual hingga akhirnya perempuan dan anak-anak. Namun, salah persepsi masyarakat dan stigmatisasi mempersulit penanggulangan HIV/AIDS, bahkan hingga hari ini. Salah satu penyebab adalah di awal munculnya sindroma penurunan kekebalan tubuh ini, dunia kedokteran terlalu fokus pada cara pengobatannya.
Dalam Konferensi AIDS Internasional pertama yang berlangsung April 1985 di Atlanta, AS, misalnya, 2.000 peserta yang hadir sibuk membahas aspek biomedik dan riset epidemiologi daripada aspek sosial, politik, dan perilaku yang bisa mencegah stigmatisasi dan penularan. Baru pada Konferensi AIDS di Washington DC, 1987, riset perilaku dan sosiologi mulai mendapat perhatian (International AIDS Society, 2015).
Kenyataannya, angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS terus meningkat. Setelah lebih dari tiga dekade, masih lebih dari 1 juta orang meninggal akibat HIV/AIDS dan 37 juta orang hidup dengan HIV/AIDS di seluruh dunia. Meski demikian, harapan mampu mengatasi AIDS mulai benderang setelah bertahun-tahun menghadapi masa suram.
Sejak ditemukannya terapi antiretroviral—mulai dikenal di Konferensi AIDS XI di Vancouver, Kanada—yaitu obat kombinasi untuk menekan perkembangan virus human immunodeficiency virus (HIV), terjadi penurunan kasus infeksi ataupun kematian akibat HIV/AIDS secara signifikan di seluruh dunia.
Menurut International AIDS Society, hingga tahun 2015 sudah 15 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS mendapat terapi ARV ini. Memang baru separuh dari total yang terinfeksi, tetapi bahkan pada tahun 2000, saat Nelson Mandela berpidato di Konferensi AIDS XIII di Durban, Afrika Selatan, kemajuan seperti ini tak pernah terbayangkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pengobatan ARV kepada mereka yang terinfeksi HIV sedini mungkin, tak perlu menggunakan jumlah CD4 sebagai patokan. CD4 adalah penanda di permukaan sel darah putih manusia dan menjadi indikator fungsi kekebalan tubuh.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dari sejak kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia tahun 1987, hingga September 2014 jumlah kumulatif HIV/AIDS di Indonesia mencapai 150.296 kasus. Dari jumlah itu, 45.631 orang menerima terapi ARV.
Maka, di Hari AIDS yang diperingati tiap 1 Desember, kemarin, dunia bisa berharap. Sepanjang AIDS menjadi masalah bersama, Sekjen PBB Ban Ki-moon bisa berkata, ”Mari membangun dunia yang lebih baik dan tak ada satu pun yang ketinggalan.”—-AGNES ARISTIARINI
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “AIDS Setelah Tiga Dekade”.