Tidak bisa disangkal, kegiatan e-commerce alias e-dagang di negeri ini berkembang cepat. Nilainya bisnis di e-dagang ini tumbuh seiring dengan peningkatan penggunaan telepon pintar dan juga infrastruktur telekomunikasi internet. Sekalipun demikian, potensi besar e-dagang di Indonesia ini masih diganduli dengan catatan yang perlu segera dibenahi.
Dalam diskusi Forum Ekonomi Nusantara (FEN) yang diadakan Kompas dan BNI di Hotel Santika, Slipi, Jakarta, hari Kamis (19/11), terungkap bahwa nilai bisnis e-dagang di Indonesia tahun 2015 ini sekitar Rp 120 triliun sampai Rp 140 triliun. Naik tajam dari 96 triliun tahun 2013. Nilai ini seakan melonjak tajam menjadi 130 miliar dollar AS pada tahun 2020.
Pada diskusi dengan tema “E-Dagang & Sumbangsihnya terhadap Ekonomi Indonesia” disebutkan bahwa potensi bisnis e-dagang ini masih akan terus bertumbuh seiring dengan penetrasi dan penggunaan telepon pintar di negeri ini. Pengguna telepon pintar di Indonesia sudah 95,8 juta seiring dengan itu pengguna internet mencapai 88,1 juta. Penetrasi penggunaan internet ini sebesar 34,9 persen per tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi penggunaan internet ini kian mendorong tumbuhnya e-dagang. Kini banyak usaha mikro kecil menengah (UMM) mendapatkan manfaat dari kehadiran e-dagang. Penjualan mereka tumbuh dan juga bisa menampung lebih banyak tenaga kerja. Di sisi lain, e-dagang ini juga menumbuhkan kegiatan logistik barang ataupun jasa.
Pelaku e-dagang mengaku, aktivitas bisnis mereka meningkat seiring bertumbuhnya masyarakat kelas menengah dengan berbagai gaya hidupnya. Kelas menengah yang mencapai ratusan juta orang dengan usia yang relatif masih muda dan sangat akrab dengan telepon pintar serta internet, kini gemar melakukan transaksi bisnis jual dan beli menggunakan e-dagang. Akan tetapi, muncul pertanyaan, berapa besar sumbangsihnya bagi perekonomian Indonesia?
Pertumbuhan ekonomi bertumbuh karena UMKM juga bertumbuh. Kegiatan logistik juga berkembang karena terjadi transaksi jual-beli barang lewat e-dagang. Hanya penerimaan pajak sejauh ini praktis terabaikan. Karena semua transaksi praktis belum menjadi target pajak. Yang juga memprihatinkan, banyak transaksi dagang menggunakan pelaku e-dagang yang berpusat di luar negeri. Semua jasa transaksi pengiriman uang masuk ke pihak luar yang, antara lain, menjadi penyumbang defisit pada neraca pembayaran Indonesia.
Ini berbeda dengan transaksi bukan e-dagang (offline) yang dikejar petugas pajak. Petugas pajak memburu mereka dengan menghitung jumlah kursi, pegawai, barang yang dipajang menjadi bahan penghitungan pajak. Belum lagi kalau menjual barang palsu yang bisa langsung disita atau diwajibkan membayar hak cipta intelektual. Ini tidak berlaku untuk e-dagang.
Sekalipun e-dagang terus tumbuh, tetapi pelaku bukan e-dagang tak perlu takut bakal terpukul. Karena e-dagang di negara yang maju, seperti Amerika Serikat, saja hanya tumbuh paling tinggi 18 persen. Berarti, belanja di pusat pembelanjaan tetap menjadi pilihan. Apalagi, sejauh ini, transaksi uang kas juga masih mendominasi sistem pembayaran yang ada.
Melihat potensi e-dagang yang begitu besar tentu saja tidak tertutup potensi kecurangan, penipuan yang merugikan konsumen juga tetap besar. Sejauh ini terjadi uang sudah dibayarkan, tetapi barang tidak diterima. Juga pengiriman barang yang memerlukan waktu yang sangat lama. Tak jarang juga barang yang dipesan tidak sesuai bentuk, warna, kualitas sebagaimana yang terlihat dalam brosur yang ditawarkan.
Karena e-dagang terus berkembang seiring populasi telepon pintar dan internet, sepertinya pemerintah, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perlu mulai menata pelaku e-dagang. Ini demi konsumen yang rentan.(PIETER P GERO)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 November 2015, di halaman 17 dengan judul “Potensi dengan Catatan”.