Lautan. Lebih dari 70 persen permukaan Bumi berupa lautan dengan rata-rata kedalaman lebih dari 3 kilometer. Kita abai terhadap pemahaman tentang laut.
Demikian luas dan dalamnya lautan. Kita tak hirau bahwa di perut laut ada jutaan jenis makhluk hidup. Menurut ilmuwan, mungkin terdapat 10 juta—bahkan bisa jadi 100 juta—makhluk hidup yang ada di lantai dasar samudra belum ditemukan!
Sementara asumsi yang ada di benak banyak orang adalah lautan mampu ”menelan segala”. Bagi kita, laut adalah bak sampah raksasa yang takkan pernah penuh. Kita tak mengindahkan lautan sebagai sebuah ekosistem, sebagai kumpulan habitat bagi berbagai jenis makhluk hidup. Padahal, kehidupan ada. Bahkan, pada kedalaman 3 kilometer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari time.com, mengutip laporan Ocean Conservancy, bekerja sama dengan McKinsey Center for Business and Environment, hingga tahun 2025, sampah plastik di laut akan mencapai 1 ton per 3 ton ikan tuna. Di lautan, di seluruh dunia, terdapat 5,25 triliun potong sampah plastik! Berbagai ukuran.
Dari yang berukuran mikron—satu per miliar meter (0,000001 meter)—hingga kantong plastik ukuran besar. Dari jenis plastik lembut tipis hingga kaku. Bukan hanya mencemari, plastik pun meracuni. Melalui rantai makanan di lautan, racun itu bisa tersaji di atas meja makan melalui hidangan masakan laut.
Belum lagi, plastik-plastik itu akan membunuh hewan. Plastik yang terpotong-potong kecil dan transparan akan tampak seperti plankton, yang sering disebut grass of the sea—seperti rumput makanan sapi—bagi paus dan beberapa hewan lain. Maka, satwa-satwa itu terancam teracuni. Kantong plastik pun bisa ”membungkus” kepala hewan, seperti penyu atau lumba- lumba, yang bisa mengakibatkan kematian.
Laut pun memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penunjang utama kehidupan—yang ini nyaris tak kita kenali. Laut secara tidak langsung adalah sumber kehidupan.
Dengan membakar bahan bakar fosil sejak zaman industri 150 tahun lalu, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) meningkat. Gas yang disetarakan dengan gas karbon dioksida itu mengakibatkan pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim. Penguapan air laut pun berubah yang mengakibatkan musim juga berubah. Meningkatnya temperatur air laut langsung mengancam keberlangsungan hidup terumbu karang—yang di antaranya berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan.
Sementara akibat konsentrasi tinggi GRK, terjadi pengasaman air laut. Ketika air laut semakin asam, turun 0,1—sejak setengah juta tahun lalu—tingkat keasaman air laut ajek pada angka 8,2, maka kehidupan biota laut pun terancam.
Kita tak sepenuhnya menyadari bahwa samudra adalah mesin iklim yang memutar siklus iklim bumi. Rotasi bumi, variasi posisi relatif bumi terhadap matahari akibat revolusi matahari (putaran matahari), serta banyaknya energi atau panas matahari yang diserap bumi memengaruhi pergerakan air laut.
Perputaran bumi, pemanasan udara yang menyebabkan perbedaan tekanan udara, menyebabkan terjadinya angin dan pada akhirnya melahirkan arus laut. Sementara, pergerakan vertikal massa air laut terjadi akibat perbedaan salinitas dan temperatur pada massa air laut. Pola perputaran massa air laut, juga menciptakan pola gudang makanan bagi makhluk hidup atau ikan-ikan di laut yang bakal menjadi makanan kita.
Itulah cerita tentang laut, tentang kelangsungan kehidupan yang nyaris tak pernah kita simak.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Menyimak Cerita Laut”.