Selalu ada langkah pertama yang ditapaki oleh perusahaan internet, seperti Facebook, Google, dan Twitter, yang menjadi nama besar yang diakrabi generasi muda dari seluruh belahan negara. Sebelum menjadi perusahaan yang mencatatkan pemasukan 12,4 miliar dollar AS atau setara Rp 182,35 triliun sepanjang tahun 2014 dan 1,18 miliar pengguna dari seluruh dunia, Facebook juga melakukan hal itu.
Lahir dari kalangan kampus pada 2003, Facebook saat itu mendapatkan pendanaan 200.000 dollar AS dari investor untuk memulai operasinya di Palo Alto, California, di tahun 2004. Sisa ceritanya adalah sejarah.
Munculnya perusahaan-perusahaan internet pada 2000 juga memunculkan istilah lain, yakni “startup” atau perusahaan rintisan. Mereka diisi anak muda yang membawa mimpi untuk bersinar dengan waktu singkat sembari membawa ide-ide liar di kepalanya. Sejarah pula yang lantas mencatat nama-nama, seperti Uber, Airbnb, atau Whatsapp, sebagai perusahaan yang membuat pencapaian yang sama dengan apa yang dilakukan perusahaan konvensional selama puluhan tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidaklah mengherankan jika kemudian startup seolah menjadi kata ajaib dan mimpi yang mewabah di benak anak muda. Menjadi kaya, terkenal, dan berpengaruh dalam hitungan tahun seolah menjadi hal yang bisa diraih.
Namun, tidak banyak yang memahami bahwa ide mengenai inovasi takkan bisa diwujudkan tanpa ada pendanaan. Mereka yang datang dari latar belakang teknik umumnya buta mengenai bisnis, cara menjual ide cemerlang menjadi produk yang bisa menghasilkan uang, hingga bagaimana mengelola perusahaan agar tumbuh dan berkembang.
Dan, pertanyaan paling utama ialah dari mana mendapatkan modal untuk memulai cita-cita mereka.
Menakutkan
Indonesia, menurut riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (2014), memiliki jumlah pengguna internet 88,1 juta orang atau penetrasinya sebesar 34,9 persen. Angka ini menyesuaikan dengan jumlah penduduk sesuai Badan Pusat Statistik, yakni 252 juta orang.
Kondisi tersebut membuat Indonesia menjadi pasar besar bagi tumbuh kembang perekonomian berbasis internet. Menurut riset yang dilakukan Growth from Knowledge (GfK) tahun 2015, industri internet berkontribusi rata-rata 16,6 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia selama kurun waktu 2010 hingga awal 2016.
Di banyak daerah, pelaku usaha berbasis teknologi atau technopreneur kian bermunculan. Mereka mendirikan perusahaan rintisan berbasis teknologi (startup) dengan berbagai sektor, seperti e-dagang, kesehatan, pendidikan, dan aplikasi mobile. Penggalangan dana menjadi sumber kehidupan bagi startup.
Ini bukan perkara mudah. Terutama di Indonesia, kesulitan mencari suntikan dana masih menjadi hal yang menakutkan. Perbankan sebagai lembaga keuangan stabil, hingga kini, belum memiliki skema pendanaan untuk startup.
Otoritas Jasa Keuangan sempat mengeluarkan wacana mendorong para pemilik modal ventura untuk turut serta menyalurkan kredit, tetapi substansi regulasi baru dimulai disusun. Opsi pendanaan melalui APBN, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, akan sulit dilakukan. Inkubasi tumbuh alamiah dari sejumlah perusahaan milik negara dan swasta yang memang memiliki kepedulian kepada startup.
Raksasa teknologi informasi komunikasi global, seperti Baidu, baru-baru ini malah mengeluarkan program Go Local Go Global. Program ini bertujuan mengembangkan ekosistem aplikasi buatan startup Indonesia. Baidu menjanjikan aplikasi terbaik akan dipasarkan di Tiongkok.
Di tengah kondisi tersebut, 15 pelaku usaha Indonesia membentuk Angel-eQ, sebuah grup para investor (angel investor). Nama-nama mereka tidak asing bagi masyarakat, antara lain Tony Fernandes (Co-Founder dan Group CEO AirAsia), Sandiaga Uno (Co-Founder Saratoga Investama), Budi G Sadikin (Direktur Utama Bank Mandiri), Adriani Onie (Managing Partner Investments and Business Development, Kilara Group), Shinta W Dhanuwardoyo (Founder Bubu.com), Erick Thohir (pengusaha dan Presiden Klub Inter Milan), dan Erik Meijer (Strategic Brand Advisor at Ooredoo).
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Shinta Dhanuwardoyo, Ketua Id Byte (kiri), bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pada pembukaan konferensi Id Byte yang berlangsung di Jakarta, Jumat (2/10). Konferensi ini mempertemukan para pelaku perniagaan elektronik untuk merumuskan sekaligus memetakan potensi dari ekonomi digital Indonesia.
Menurut Adriani, di sela-sela acara IDByte, Kamis (1/10), di Jakarta, Angel-eQ bertujuan membantu ekosistem technopreneur di Indonesia. “Kami tidak mewakili perusahaan di mana kami bekerja. Ini murni pendanaan individu. Independen,” ujar Adriani.
Tiap-tiap pendiri, kata dia, memiliki kepedulian terhadap perkembangan startup. Konsep pendanaan Angel-eQ berasal dari kantong setiap pendiri. Dengan bekal jaringan nasional ataupun internasional, para pendiri tersebut yakin mampu membantu startup tumbuh dan menghasilkan.
“Early investment! Untuk pendaftaran, pelaku usaha dapat mengajukan proposal proyek ke laman atau kantor Angel-eQ. Kami terbuka kepada beragam sektor industri berbasis teknologi, mulai dari kesehatan hingga e-dagang,” ungkap Adriani.
Kelima belas pendiri Angel-eQ akan melakukan seleksi terhadap seluruh proposal proyek yang masuk. Tidak semua proposal akan mendapatkan pendanaan. Hanya pelaku usaha yang memiliki kematangan perencanaan keuangan ataupun visi perusahaan.
Dia enggan menyebutkan, berapa target jumlah proposal masuk ataupun yang akan diterima. “Dari 100 unit pengajuan, kami mungkin bisa menerima tiga proposal saja. Besar kucuran dana bergantung pada tahapan perkembangan startup, misalnya seed atau awal,” ujar Adriani.
Ada empat tahapan perkembangan startup, yaitu seed, awal, advance, dan exit. Tahap seed adalah tahapan di mana pengusaha sedang menyiapkan ide, keahlian, dan strategi produk. Kemudian, awal merupakan saat pengembangan produk selesai dan perusahaan mulai tumbuh. Advance ialahtahap saat startup sudah mencapai jumlah pengguna yang bisa diukur dan mulai melebarkan sayap. Sementara itu, exit terjadi ketika startup memperkenalkan atau mempersiapkan diri untuk membuka penawaran saham perdana ataupun mempersiapkan merger dan akuisisi.
Sandiaga menjelaskan, nama “eQ” bisa dimaknai sebagai equal access atau kesetaraan akses pendanaan bagi para startup. Dia menceritakan bagaimana peran “angel investor” ini pernah ia alami ketika awal berbinis. “Melalui sebuah grup kecil, saya merencanakan bisnis bersama ‘angel investor’. Saya berharap, Angel-eQ juga menerapkan konsep serupa yang memungkinkan para wirausaha dari berbagai latar belakang bergabung,” kata Sandiaga.
Hal senada diungkapkan Shinta. Angel-eQ menyalurkan pendanaan langsung kepada startup, terutama bagi para startup yang tidak bisa memperoleh suntikan dana dari lembaga keuangan lain, seperti inkubator dan perusahaan investasi (venture capital).
Membantu
Tugce Ergul yang datang dari Angel Labs, sebuah perusahaan investasi yang berkantor di Silicon Valley, menuturkan, pendanaan adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari setiap perjalanan perusahaan rintisan. Sumbernya pun beragam.
Tahap paling awal adalah bootstrap, yakni menggunakan dana pribadi, entah dari tabungan atau menggunakan aset pribadi. Tahap berikutnya adalah menggalang dana dari lingkaran sosial terdekat seperti teman atau keluarga.
Barulah tahap selanjutnya berupa investasi dari perseorangan, kerap diberi istilah dengan “angel investor” karena mengucurkan dana pribadi untuk satu perusahaan meski tahu bahwa risikonya sangat tinggi. Umumnya tidak hanya dana yang diberi, tetapi juga pengalaman dan jejaring bisnis.
Tahap selanjutnya, lanjut Tugce, adalah perusahaan investasi yang mengelola uang orang lain untuk ditanamkan ke perusahaan. Tahap paling akhir biasanya berupa penawaran saham terbuka.
Sebagai imbalan dari investasi di fase awal ini, umumnya para investor meminta bagian saham. Untuk perusahaan investasi, kadang juga berupa penempatan seorang di jajaran direksi.
“Investasi jangan dilihat sebagai orang yang mengincar saham, tetapi adalah pihak yang ingin sama-sama maju. Investor melihat potensi sementara perusahaan rintisan membutuhkan bimbingan atau koneksi agar produknya diterima,” kata Tugce.
Dan, kegagalan tidak perlu dilihat sebagai akhir dari segalanya, seperti dikatakan Pieter Kemps, Vice President Sequioa Capital, yang memastikan bahwa sebagian dari perusahaan yang mereka beri investasi selalu berakhir dengan kegagalan. Yang dibutuhkan adalah mereka yang bisa bangun kembali dan mencoba lagi.
“Kalau tidak pernah gagal, jangan-jangan mereka tidak pernah berusaha,” ujarnya.
Dan, sebelum perusahaan-perusahaan ini meraksasa, jatuh bangun adalah hal yang biasa.
CAECILIA MEDIANA DAN DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas Siang | 3 Oktober 2015